Sabtu, 13 Desember 2014

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENEGAKAN HUKUM TIDAK ADIL DIINDONESIA DAN SOLUSI

NAMA         : DINA LUKMANA
NPM             : 170110130011 / A
JURUSAN   : ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
TUGAS        : SISTEM ADM. NRGARA INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENEGAKAN HUKUM TIDAK ADIL DIINDONESIA DAN SOLUSI
Indonesia salah satu negara hukum, dimana segala sesuatu diatur berdasarkan hukum. Sehingga semua warga harus patuh dan taat pada hukum. Setiap yang melanggar akan mendapatkan sanksi yang tegas. Misalnya peraturan yang mengatur tentang kedudukan yang sama didepan hukum, yang terdapat dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya “. Selain itu ada pada pasal 28D ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum “. Didalam peratuan tersebut memang benar bahwa dengan adanya hukum maka semua warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dan adil didepan hukum.
Namun didalam implementasinya banyak yang tidak sesuai atau dapat dikatakan melenceng. Sehingga hukum di Indonesia saat ini lebih banyak mendapatkan kritikan daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang  berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan.
Adapun beberapa faktor sebagai penyebab sulitnya penegakan hukum diIndonesia diantarannya sebagai berikut :
1.      Masih adanya transaksi didalam penegakan hukum;
2.      Moral penegak hukum yang jelek;
3.      Adanya intervensi dari para penguasa;
4.      Rakyat yang masih belum sadar hukum;
5.      Ada rakyat yang sudah tahu tentang tentang keberadaan hukum namun mencoba-coba untuk melanggar;
6.      Adanya ketimpangan dari pasal yang satu dengan pasal yang lain.
Selain dari faktor penyebab diatas maka ada beberapa faktor lain sebagai penghambat didalam penegakan hukum diantaranya :
1.      Lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2.      Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3.      Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4.      Minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5.      Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6.      Paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7.      Kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Dari beberapa faktor diatas maka penegakan hukum diIndonesia bisa dikatakan sudah berjalan namun belum optimal, karena masih ada beberapa pihak saja yang merasa diuntungkan. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Filsuf Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Kondisi yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum ( law enforcement ) yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari  bukan tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Kurangnya kesadaran menerapkan sistem peradilan terpadu (an integrated justice system), atau karena ego sektoral antara institusi penegak hukum yang ada, berakibat masyarakat tidak mudah mempercayai adanya peradilan yang berwibawa, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung. Melihat persoalan hukum sangat legal formal, kurang mau menggunakan yurisprudensi, atau karena hanya menggunakan logika berpikir hukum kaca mata kuda merupakan penyebab utama timbulnya peradilan tidak berwibawa. Sehingga kepuasaan masyarakat terhadap penegakan hukum diIndonesia sampai saat ini berada pada titik yang terendah.
Dengan melihat beberapa hambatan dalam penegakan hukum di atas dan realitas kekinian pemimpin bangsa ini, maka prospek penegakan hukum ke depan dapat dikatakan masih suram mengingat persoalan kuncinya justru terletak pada faktor kepemimpinan bangsa yang lemah dan pembusukan dunia peradilan yang sudah parah. Untuk keluar dari lingkaran setan di atas, maka ada beberapa upaya yang perlu dilakukan.

Upaya- Upaya dalam penegakan hukum diantaranya sebagai berikut :
1.      Perubahan ke depan harus dimulai dari atas, yaitu dari adanya pemimpin yang kuat, visioner dan berani memulai perubahan dari dirinya, keluarganya dan para kroninya. Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu sehingga mampu memberikan shock therapy kepada bawahannya dan masyarakat umumnya.
2.      perubahan signifikan berikutnya yang harus dilakukan adalah pembersihan dunia peradilan dari para mafia peradilan yang merusak dan menghambat terwujudnya penegakan hukum di Indonesia. Para pemimpin politik di eksekutif dan legislatif harus memperkuat tekanan kepada aparat penegak hukum melalui proses fit and proper test yang berkualitas dalam memilih dan merekrut aparat penegak hukum seperti hakim-hakim di MA.
3.      harus ada akselerasi kualitas dan pemerataan pendidikan masyarakat sehingga mereka mampu menjadi a critical mass yang mampu mengawal proses penegakan hukum secara partisipatif.
Selain upaya yang dilakukan diatas dalam penegakan hukum namun, langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada.
Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur diantarannya :
1.      Struktur
Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
2.      Substansi
Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
3.      Kultur
Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar