NAMA : DINA LUKMANA
NPM : 170110130011 / A
JURUSAN : ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
TUGAS : SISTEM ADM. NRGARA INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB PENEGAKAN HUKUM TIDAK ADIL DIINDONESIA DAN SOLUSI
Indonesia
salah satu negara hukum, dimana segala sesuatu diatur berdasarkan hukum.
Sehingga semua warga harus patuh dan taat pada hukum. Setiap yang melanggar
akan mendapatkan sanksi yang tegas. Misalnya peraturan yang mengatur tentang
kedudukan yang sama didepan hukum, yang terdapat dalam pasal 27 ayat 1 yang
berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya “. Selain itu ada pada pasal 28D ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama didepan hukum “. Didalam peratuan tersebut memang
benar bahwa dengan adanya hukum maka semua warga negara mendapatkan perlakuan
yang sama dan adil didepan hukum.
Namun
didalam implementasinya banyak yang tidak sesuai atau dapat dikatakan
melenceng. Sehingga hukum di Indonesia saat ini lebih banyak mendapatkan
kritikan daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan
dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan
berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga
lemahnya penerapan berbagai peraturan.
Adapun
beberapa faktor sebagai penyebab sulitnya penegakan hukum diIndonesia
diantarannya sebagai berikut :
1. Masih
adanya transaksi didalam penegakan hukum;
2. Moral
penegak hukum yang jelek;
3. Adanya
intervensi dari para penguasa;
4. Rakyat
yang masih belum sadar hukum;
5. Ada
rakyat yang sudah tahu tentang tentang keberadaan hukum namun mencoba-coba
untuk melanggar;
6. Adanya
ketimpangan dari pasal yang satu dengan pasal yang lain.
Selain
dari faktor penyebab diatas maka ada beberapa faktor lain sebagai penghambat
didalam penegakan hukum diantaranya :
1. Lemahnya
political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi
hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,
supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang
didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2. Peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan
politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3. Rendahnya
integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat
penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4. Minimnya
sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan
hukum.
5. Tingkat
kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek
terhadap hukum.
6. Paradigma
penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya
keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial
justice).
7. Kebijakan
(policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi
persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak
komprehensif dan tersistematis.
Dari
beberapa faktor diatas maka penegakan hukum diIndonesia bisa dikatakan sudah
berjalan namun belum optimal, karena masih ada beberapa pihak saja yang merasa
diuntungkan. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia
itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan
kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan
negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli
maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan
hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan
sebagai rutinitas belaka tetapi
juga dipermainkan seperti barang dagangan.
Praktik
penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan,
peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas
yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang
diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan
Filsuf Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang
lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs,
they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in
pieces by the rich and powerful).
Kondisi
yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum ( law enforcement )
yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan
kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan
hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak
tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada
kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak mungkin
pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu
berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke
dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap
pembangunan bangsa.
Kurangnya kesadaran menerapkan
sistem peradilan terpadu (an integrated justice system), atau karena ego
sektoral antara institusi penegak hukum yang ada, berakibat masyarakat tidak
mudah mempercayai adanya peradilan yang berwibawa, baik di tingkat Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung. Melihat
persoalan hukum sangat legal formal, kurang mau menggunakan
yurisprudensi, atau karena hanya menggunakan logika berpikir hukum kaca mata
kuda merupakan penyebab utama timbulnya peradilan tidak berwibawa. Sehingga
kepuasaan masyarakat terhadap penegakan hukum diIndonesia sampai saat ini
berada pada titik yang terendah.
Dengan melihat beberapa hambatan
dalam penegakan hukum di atas dan realitas kekinian pemimpin bangsa ini, maka
prospek penegakan hukum ke depan dapat dikatakan masih suram mengingat
persoalan kuncinya justru terletak pada faktor kepemimpinan bangsa yang lemah
dan pembusukan dunia peradilan yang sudah parah. Untuk keluar dari lingkaran
setan di atas, maka ada beberapa upaya yang perlu dilakukan.
Upaya- Upaya
dalam penegakan hukum diantaranya sebagai berikut :
1. Perubahan ke
depan harus dimulai dari atas, yaitu dari adanya pemimpin yang kuat, visioner
dan berani memulai perubahan dari dirinya, keluarganya dan para kroninya.
Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu sehingga mampu memberikan shock therapy
kepada bawahannya dan masyarakat umumnya.
2.
perubahan signifikan berikutnya yang
harus dilakukan adalah pembersihan dunia peradilan dari para mafia peradilan
yang merusak dan menghambat terwujudnya penegakan hukum di Indonesia. Para
pemimpin politik di eksekutif dan legislatif harus memperkuat tekanan kepada
aparat penegak hukum melalui proses fit and proper test yang berkualitas dalam
memilih dan merekrut aparat penegak hukum seperti hakim-hakim di MA.
3. harus ada
akselerasi kualitas dan pemerataan pendidikan masyarakat sehingga mereka mampu
menjadi a critical mass yang mampu mengawal proses penegakan
hukum secara partisipatif.
Selain upaya yang dilakukan diatas
dalam penegakan hukum namun, langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent)
untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah
melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada.
Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem
hukum terdapat tiga unsur diantarannya :
1. Struktur
Terkait
dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum
yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi
advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang
berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat
penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia
adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
2.
Substansi
Dalam hal
substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya,
peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera
diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak
relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
3.
Kultur
Untuk budaya
hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum
yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat
penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi
teladan bagi rakyat.
Sumber :
http://rabdhanpurnama.blogspot.com/2012/07/realita-penegakan-hukum-di-indonesia.htmlhttp://www.tribunnews.com/nasional/2013/04/07/lsi-empat-faktor-publik-tak-percaya-penegakan-hukum-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar