Nama : Mia Sumiati
Kelas : A
NPM : 170110130003
Tema : Kesamaan Kedudukan di Depan Hukum
(Tugas Individu)
“Hukum, Masihkah Aturan Kalian Sama
Untuk Kami? Atau Apakah Sanksi Kalian Hanya Berlaku Untuk Kami, Si Lemah Final
?”
Ironi memang, julukan sebagai
negara hukum yang disandang oleh Indonesia rasanya hanya sebagai sebuah kebohongan
semata. Penjaminan atas kesamaan kedudukan di depan hukum hanya sebuah
kepalsuan yang tercantum dalam sebuah kitab yang katanya berfungsi sebagai
aturan hukum tertinggi di NKRI ini.
Hukum yang seharusnya
menjadi sebuah pelindung dari kebenaran dan sebuah cambukkan keras bagi sebuah
pelanggaran kini hanya menjadi sebuah objek/barang yang dapat
diperjual-belikan, siapapun yang mampu membelinya, seberat apapun pelanggararan
yang telah ia lakuakan, pasti ia takkan terlalu mendapat cambukkan keras dari
hukum atas apa yang telah ia perbuat.
Kini hukum sebagai
sebuah sanksi hanya berlaku untuk sekelompok orang yang tidak memiliki daya
beli/kekuatan finansial tinggi. Siapapun yang tidak memiliki kekuatan
finansial, harus bersiap diri sekecil apapun pelanggaran yang diperbuat,
hukuman yang sedang menanti anda sangat keras, bahkan saat anda tak memiliki
daya beli atas hukum, terkadang kesalahan yang tidak anda perbuat akan
membebani anda.
Pada mulanya, hukum
adalah aturan penyama kedudukan bagi siapapun dalam bertindak, yang mana
siapapun yang bersalah mereka akan dihukum tanpa pandang apapun. Entah dia
seorang pemulung, penguasa, atau bahkan pemilik harta yang tiada tara. Hukum
selalu berkata, “Salah ya salah.. hukumanku akan berlaku untukmu”. Tapi itu
tahap permulaan, kini dunia mulai berkembang, begitupun hukum. tapi apa yang
hari ini kita alami adalah salah satu kesalahan dalam perkembangan hukum. Hari
ini, hukum hanyalah berfungsi sebuah aturan yang memang tak bernyawa, karena
tak memiliki nyawa hukum seolah sesuatu yang sudah tak berdaya jika dihadapkan
pada sekelompok orang yang berkuasa dan kaya akan harta.
Kini sudah saatnya kita
mengembalikan kembali arti hukum yang sesungguhnya. Hukum yang merupakan
seperangkat aturan yang mengikat yang akan dikenakan sanksi bagi para
pelanggarnya tanpa pandang bulu itu harus kita kembalikan. Siapapun yang
melanggar aturan di dalam hukum, dia harus dihukum sesuai dan sebanding dengan apa
yang ia perbuat. Baik pejabat, kolongmerat, atau bahkan orang yang melarat,
semuanya harus memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. hukum harus kembali
netral dari kepentingan sekelompok atau bahkan segelintir orang.
Sebenarnya ada beberapa
faktor yang diduga sebagai alasan mengapa hukum yang merupakan aturan pemberi
sanksi yang sama kepada setiap orang kini tidak berlaku sebagaimana mestinya, alasan-alasan
tersebut diantaranya :
1. Kini
hukum djadikan sebagai sesuatu yang dapat diperjual-belikan (objek transaksi).
Hal
ini ditandai dengan bahwa hukum menjadi sesuatu yang tajam untuk kelompok kecil
yang tidak memiliki kemampuan materi untuk membeli suara para penguasa hukum,
namun menjadi sesuatu yang tumpul untuk seseorang atau sekelompok orang yang
memiliki keuasaan harta/finansial untuk membeli suara para penguasa hukum. Hukum
dapat menjadi seperti ini, karena memang benar sifat alamiah manusia yang tidak
bisa dipungkiri lagi, bahwa manusia memiliki keinginan akan sesuatu yang tinggi
terutama yang menyangkut kedudukan manusia sebagai makhluk ekonomi yang
memiliki keinginan yang sifatnya tidak terbatas sementara kemampuan/daya mereka
yang sifatnya memang terbatas, sehingga terkadang mereka selalu melakukan
berbagai cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, yang mungkin salah satunya
dengan rela mengorbankan tanggung jawab dan wewenang para penegak hukum yang
sebenarnya sangat mulia dengan sejumlah materi yang ditawarkan oleh yang
bersalah. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, sang tikus pajak yang memiliki kekayaan
melimpah, bahkan saat dipenjara dia disodorkan dengan berbagai fasilitas mewah
nan menawan yang seolah-olah meskipun di dalam hotel prodeo, tapi dia seperti
berada di hotel bintang lima, bahkan dengan santainya Gayus dapat
berjalan-jalan ke luar negeri tanpa ada penghalang sedikitpun dari pihak rutan.
Memang aneh negeri ini, para tikus dianggap raja, tapi orang-orang yang
memiliki banyak prestasi terkadang tak dihargai.
Solusi
:
memang sudah menjadi naluri setiap manusia yang terkadang tidak bisa menahan
diri ketika disodorkan dengan banyak materi, namun pada dasarnya manusia pun
memiliki ketakutan akan hukuman yang dapat merugikannya. Sudah saatnya hukum di
Indonesia dikembalikan kembali citranya sebagai aturan yang tegas, aturan yang
tidak bisa ditawar kembali sanksinya oleh apapun dan siapapun. Siapapun yang
melanggar hukum, ia harus dihukum sesuai dengan apa yang telah ia perbuat, ia
harus menerima sanksi yang setimpal dari yang telah ia lakukan, begitupun
termasuk untuk para penegak hukum yang tidak adil, yang malah memanfatkan
posisi kedudukannya sebagai pemberi hukuman kepada yang bersalah, kedudukan
tersebut malah ia manfaatkan untuk mendapatkan materi dari pihak yang ingin
mendapatkan keringan atas hukuman yang ia dapatkan.
Pertegas
kembali aturan hukum, buat sanksi seberat mungkin sehingga akan meminimalkan
berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi. Setelah sanksi yang tegas dibuat,
awasi setiap pelanggarannya, bukan hanya dari pihak pemerintah saja tapi sudah
saat nya masyarakat membuka mata akan hukum, kini sudah saatnya msyarakat ikut
terlibat dalam mengawasi pelaksanaan hukum di Indonesia.
2. Moral
para penegak hukum yang jelek
Solusi
: Moral pada dasarnya memiliki kaitan yang erat dengan perilaku dan kebiasaan
yang seseorang bawa dari semenjak kecil. Moral ini biasanya terbentuk dari apa
yang anak pelajari di lingungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Lingkungan
yang jelek pasti akan menjadikan seseorang berperilaku/memiliki moral yang
jelek. Ketika dari kecil seseorang telah terbiasa dengan kecurangan, maka
jangan salah kan dia secara penuh ketika sudah dewasa orang tersebut memiliki
moral yang kurang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya pemerintah juga
turut andil dalam pembentukkan karakter para generasinya. Misalnya saja, dalam
pelaksanaan ujian nasional, pemerintah menargetkan setiap siswanya yang ingin
lulus harus memiliki nilai rata-rata di atas 6,00. Padahal sebenarnya ujian
bukanlah sebuah tolak ukur kecerdasan seseorang, mengingat berbagai persyaratan
ujian yang meribetkan dengan system kertas yang dibaca computer yang terkadang
hasil jawaban para siswa yang tidak dapat terbaca oleh computer. Hal paling
simple yang terkadang tidak kita sadari adalah demi mendapatkan peringkat lulu
dengan pencapaian nilai rata-rata yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pemerintah, para siswa melakukan berbagai tindak kecurangan, misalnya dengan
mencontek jawaban pada temannya. Hal tersebut sebenarnya telah mengajarkan
sebuah nilai yang akan anak-anak bawa ke depannya, dan di dalamnya sudah
termasuk campur tangan pemerintah bukan ?!. Beri pendidikan moral pada
seseorang sejak dini, jauh lebih baik jika anak belajar nilai-nilai yang baik
lewat ibunya secara intensif karena ibu adalah guru pertama yang dijumpai oleh
anaknya. Namun terkadang orang tua tidak tahu bagaimana mengajarkan nilai-nilai
yang baik untuk anaknya secara efektif, sehingga nilai-nilai tersebut dapat
menjadi keribadian. Dalam hal ini peran tersebut dapat diambil oleh negara
penanaman nilai-nilai yang baik tersebut tidak selalu dalam bentuk pelajaran
resmi, untuk anak-anak yang masih dalam proses pertumbuhan, prosese penanaman
tersebut dapat dilakukan dengan ajak mereka untuk bermain sesuai dengan usia
mereka, sisipkan nilai-nilai yang baik sejak dini kepada anak tersebut.
Setidaknya dengan seperti itu, anak-anak akan terbiasa dengan nilia-nilai yang
baik, dan nilai tersebutlah yang akan menjadi nilai dasar pembentukan moral
yang akan mereka bawa di kemudian hari.
3. Adanya
Interpensi dari penguasa
Terkadang para penegak hukum merasa
takut/cangkung kepada seseorang, karena orang tersebut termasuk orang yang
memiliki kekuasaan tinggi. Padahal sebenarnya seberapa tingginya kekuasaan
seseorang, kedudukan mereka di depan hukum tidak ada perbedaan dengan orang
yang tidak memiliki kekuasaan. Seberapa tinggi kekuasaan dan seberapa banyak
heart seseorang, kedudukan mereka tetap sama di depan hukum. karena memang
fungsi hukum merupakan faktor penyama kedudukan, siapapun yang besalah harus
diadili sesuai dengan kesalahannya.
Solusi : ciptakan
penanaman nilai kepada para penegak hukum, baik itu melalui pelatihan kembali
sebagai penegak hukum, ciptakan nilai-nilai yang harus mereka miliki sebagai
penegak hukum, agar tidak ada keberpihakan dan rasa tidak enak kepada para
penguasa. Kembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai aturan yang
tinggi dan pemberi efek jera, tanpa adanya kasus keberpihakan kepada para
penguasa.
4. Kurang
kesadaran hukum dari pihak masyarakat
Masyarakat Indonesia yang
pluralis/majemuk menjadikan Indonesia dengan masyarakat yang kaya akan
keberagaman. Permasalahan kemsikinan yang sampai saat ini menjadi mimpi para
penguasa untuk dihapuskan ternyata memiliki kaitan yang cukup
Solusi :
ketidaktahuan masyarakat akan hukum merupakan salah satu tanggung jawab
pemerintah. Pemerintah harus dapat memberikan pemahaman hukum bagi semua
golonga masyarakat, entah itu dengan memasukan pengetahuan hukum ke dalam
kurikulum pendisikan dari tingkat pendidikan menengah ataupun dengan pemberian
pemahaman langsung kepada masyarakat akan pentingnya masyarakat tahu tentang
hukum, sehingga lapisan masyarakat manapun dapat mengawal dan mengawasi
jalannya hukum secara bijaksana.
5. Ada
masyarakat yang sudah sadar, tetapi masyarakat tersebut mencoba melakukan
pelanggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu.
Proses biroksasi yang ribet dan
terkesan membingungkan membuat sebagian masyarakat yang telah melakukan
pelanggaran memilih jalan cepat untuk menyogok aparat hulum meskipun mereka
sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Tapi biasanya mereka
berpikir daripada melewati serangkaian proses birokarasi yan panjang, yang
justru akan menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya, biasanya para pelanggar
hukum lebih memilih untuk melakukan jalan damai/ menyuap para aparat hukum yang
bersangkutan dengan masalah mereka. Misalnya : pada saat Mr. A berkendara tanpa
menggunakan helm sebagai pelindung kepala saat berkendara, tiba-tiba di jalan
kena tilang polisi lalu lintas, biasanya daripada melakukan proses persidangan
karena hal yang dianggap sepele seperti ini, Mr.A melakukan proses perdamaian
dengan polisi tersebut dengan cara membayar polisi tersebut dengan sejumlah
uang.
Solusinya
: Rampingkan kembali proses birokrasi Indonesia, proses setiap bentuk
pelanggaran oleh setiap orang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Para birokrat harus mampu menjalankan proses hukum sesuai prosedur yang ada. Ubahlah
takeline kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah, dengan takeline urusan
masyarakat selalu dipermudah, Karena kami para pelayan public !!
6. Ketimpangan
aturan antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya.
Solusinya
: setiap aturan dalam kitab undang-undang harus diperjelas kembali, jangan
sampai antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya berbeda sehingga
menyulitkan para penegak hukum dalam proses pengambilan keputusan yang dapat
berdampak buruk kepada masyaraka/ orang yang yang bersangkutan melakukan
pelanggaran, apalagi kalau dampak buruk tesebut dapat merugikan seseorang/
sekelompok yang tidak bersalah. Hal ini dikarenakan landasan hukum adalah
kebijaksanaan dan keadilan untuk semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar