Sabtu, 13 Desember 2014

Kesamaan Kedudukan di Depan Hukum (Tugas Individu)

Nama              : Mia Sumiati
Kelas               : A
NPM               : 170110130003
Tema              : Kesamaan Kedudukan di Depan Hukum (Tugas Individu)
Hukum, Masihkah Aturan Kalian Sama Untuk Kami? Atau Apakah Sanksi Kalian Hanya Berlaku Untuk Kami, Si Lemah Final ?”
Ironi memang, julukan sebagai negara hukum yang disandang oleh Indonesia rasanya hanya sebagai sebuah kebohongan semata. Penjaminan atas kesamaan kedudukan di depan hukum hanya sebuah kepalsuan yang tercantum dalam sebuah kitab yang katanya berfungsi sebagai aturan hukum tertinggi di NKRI ini.
Hukum yang seharusnya menjadi sebuah pelindung dari kebenaran dan sebuah cambukkan keras bagi sebuah pelanggaran kini hanya menjadi sebuah objek/barang yang dapat diperjual-belikan, siapapun yang mampu membelinya, seberat apapun pelanggararan yang telah ia lakuakan, pasti ia takkan terlalu mendapat cambukkan keras dari hukum atas apa yang telah ia perbuat.
Kini hukum sebagai sebuah sanksi hanya berlaku untuk sekelompok orang yang tidak memiliki daya beli/kekuatan finansial tinggi. Siapapun yang tidak memiliki kekuatan finansial, harus bersiap diri sekecil apapun pelanggaran yang diperbuat, hukuman yang sedang menanti anda sangat keras, bahkan saat anda tak memiliki daya beli atas hukum, terkadang kesalahan yang tidak anda perbuat akan membebani anda.
Pada mulanya, hukum adalah aturan penyama kedudukan bagi siapapun dalam bertindak, yang mana siapapun yang bersalah mereka akan dihukum tanpa pandang apapun. Entah dia seorang pemulung, penguasa, atau bahkan pemilik harta yang tiada tara. Hukum selalu berkata, “Salah ya salah.. hukumanku akan berlaku untukmu”. Tapi itu tahap permulaan, kini dunia mulai berkembang, begitupun hukum. tapi apa yang hari ini kita alami adalah salah satu kesalahan dalam perkembangan hukum. Hari ini, hukum hanyalah berfungsi sebuah aturan yang memang tak bernyawa, karena tak memiliki nyawa hukum seolah sesuatu yang sudah tak berdaya jika dihadapkan pada sekelompok orang yang berkuasa dan kaya akan harta.

Kini sudah saatnya kita mengembalikan kembali arti hukum yang sesungguhnya. Hukum yang merupakan seperangkat aturan yang mengikat yang akan dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya tanpa pandang bulu itu harus kita kembalikan. Siapapun yang melanggar aturan di dalam hukum, dia harus dihukum sesuai dan sebanding dengan apa yang ia perbuat. Baik pejabat, kolongmerat, atau bahkan orang yang melarat, semuanya harus memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. hukum harus kembali netral dari kepentingan sekelompok atau bahkan segelintir orang.
Sebenarnya ada beberapa faktor yang diduga sebagai alasan mengapa hukum yang merupakan aturan pemberi sanksi yang sama kepada setiap orang kini tidak berlaku sebagaimana mestinya, alasan-alasan tersebut diantaranya :
1.      Kini hukum djadikan sebagai sesuatu yang dapat diperjual-belikan (objek transaksi).
Hal ini ditandai dengan bahwa hukum menjadi sesuatu yang tajam untuk kelompok kecil yang tidak memiliki kemampuan materi untuk membeli suara para penguasa hukum, namun menjadi sesuatu yang tumpul untuk seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keuasaan harta/finansial untuk membeli suara para penguasa hukum. Hukum dapat menjadi seperti ini, karena memang benar sifat alamiah manusia yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa manusia memiliki keinginan akan sesuatu yang tinggi terutama yang menyangkut kedudukan manusia sebagai makhluk ekonomi yang memiliki keinginan yang sifatnya tidak terbatas sementara kemampuan/daya mereka yang sifatnya memang terbatas, sehingga terkadang mereka selalu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, yang mungkin salah satunya dengan rela mengorbankan tanggung jawab dan wewenang para penegak hukum yang sebenarnya sangat mulia dengan sejumlah materi yang ditawarkan oleh yang bersalah. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, sang tikus pajak yang memiliki kekayaan melimpah, bahkan saat dipenjara dia disodorkan dengan berbagai fasilitas mewah nan menawan yang seolah-olah meskipun di dalam hotel prodeo, tapi dia seperti berada di hotel bintang lima, bahkan dengan santainya Gayus dapat berjalan-jalan ke luar negeri tanpa ada penghalang sedikitpun dari pihak rutan. Memang aneh negeri ini, para tikus dianggap raja, tapi orang-orang yang memiliki banyak prestasi terkadang tak dihargai.
Solusi : memang sudah menjadi naluri setiap manusia yang terkadang tidak bisa menahan diri ketika disodorkan dengan banyak materi, namun pada dasarnya manusia pun memiliki ketakutan akan hukuman yang dapat merugikannya. Sudah saatnya hukum di Indonesia dikembalikan kembali citranya sebagai aturan yang tegas, aturan yang tidak bisa ditawar kembali sanksinya oleh apapun dan siapapun. Siapapun yang melanggar hukum, ia harus dihukum sesuai dengan apa yang telah ia perbuat, ia harus menerima sanksi yang setimpal dari yang telah ia lakukan, begitupun termasuk untuk para penegak hukum yang tidak adil, yang malah memanfatkan posisi kedudukannya sebagai pemberi hukuman kepada yang bersalah, kedudukan tersebut malah ia manfaatkan untuk mendapatkan materi dari pihak yang ingin mendapatkan keringan atas hukuman yang ia dapatkan.
Pertegas kembali aturan hukum, buat sanksi seberat mungkin sehingga akan meminimalkan berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi. Setelah sanksi yang tegas dibuat, awasi setiap pelanggarannya, bukan hanya dari pihak pemerintah saja tapi sudah saat nya masyarakat membuka mata akan hukum, kini sudah saatnya msyarakat ikut terlibat dalam mengawasi pelaksanaan hukum di Indonesia.
2.      Moral para penegak hukum yang jelek
Solusi : Moral pada dasarnya memiliki kaitan yang erat dengan perilaku dan kebiasaan yang seseorang bawa dari semenjak kecil. Moral ini biasanya terbentuk dari apa yang anak pelajari di lingungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang jelek pasti akan menjadikan seseorang berperilaku/memiliki moral yang jelek. Ketika dari kecil seseorang telah terbiasa dengan kecurangan, maka jangan salah kan dia secara penuh ketika sudah dewasa orang tersebut memiliki moral yang kurang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya pemerintah juga turut andil dalam pembentukkan karakter para generasinya. Misalnya saja, dalam pelaksanaan ujian nasional, pemerintah menargetkan setiap siswanya yang ingin lulus harus memiliki nilai rata-rata di atas 6,00. Padahal sebenarnya ujian bukanlah sebuah tolak ukur kecerdasan seseorang, mengingat berbagai persyaratan ujian yang meribetkan dengan system kertas yang dibaca computer yang terkadang hasil jawaban para siswa yang tidak dapat terbaca oleh computer. Hal paling simple yang terkadang tidak kita sadari adalah demi mendapatkan peringkat lulu dengan pencapaian nilai rata-rata yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, para siswa melakukan berbagai tindak kecurangan, misalnya dengan mencontek jawaban pada temannya. Hal tersebut sebenarnya telah mengajarkan sebuah nilai yang akan anak-anak bawa ke depannya, dan di dalamnya sudah termasuk campur tangan pemerintah bukan ?!. Beri pendidikan moral pada seseorang sejak dini, jauh lebih baik jika anak belajar nilai-nilai yang baik lewat ibunya secara intensif karena ibu adalah guru pertama yang dijumpai oleh anaknya. Namun terkadang orang tua tidak tahu bagaimana mengajarkan nilai-nilai yang baik untuk anaknya secara efektif, sehingga nilai-nilai tersebut dapat menjadi keribadian. Dalam hal ini peran tersebut dapat diambil oleh negara penanaman nilai-nilai yang baik tersebut tidak selalu dalam bentuk pelajaran resmi, untuk anak-anak yang masih dalam proses pertumbuhan, prosese penanaman tersebut dapat dilakukan dengan ajak mereka untuk bermain sesuai dengan usia mereka, sisipkan nilai-nilai yang baik sejak dini kepada anak tersebut. Setidaknya dengan seperti itu, anak-anak akan terbiasa dengan nilia-nilai yang baik, dan nilai tersebutlah yang akan menjadi nilai dasar pembentukan moral yang akan mereka bawa di kemudian hari.
3.   Adanya Interpensi dari penguasa
Terkadang para penegak hukum merasa takut/cangkung kepada seseorang, karena orang tersebut termasuk orang yang memiliki kekuasaan tinggi. Padahal sebenarnya seberapa tingginya kekuasaan seseorang, kedudukan mereka di depan hukum tidak ada perbedaan dengan orang yang tidak memiliki kekuasaan. Seberapa tinggi kekuasaan dan seberapa banyak heart seseorang, kedudukan mereka tetap sama di depan hukum. karena memang fungsi hukum merupakan faktor penyama kedudukan, siapapun yang besalah harus diadili sesuai dengan kesalahannya.
Solusi : ciptakan penanaman nilai kepada para penegak hukum, baik itu melalui pelatihan kembali sebagai penegak hukum, ciptakan nilai-nilai yang harus mereka miliki sebagai penegak hukum, agar tidak ada keberpihakan dan rasa tidak enak kepada para penguasa. Kembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai aturan yang tinggi dan pemberi efek jera, tanpa adanya kasus keberpihakan kepada para penguasa.
4.   Kurang kesadaran hukum dari pihak masyarakat
Masyarakat Indonesia yang pluralis/majemuk menjadikan Indonesia dengan masyarakat yang kaya akan keberagaman. Permasalahan kemsikinan yang sampai saat ini menjadi mimpi para penguasa untuk dihapuskan ternyata memiliki kaitan yang cukup
Solusi : ketidaktahuan masyarakat akan hukum merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus dapat memberikan pemahaman hukum bagi semua golonga masyarakat, entah itu dengan memasukan pengetahuan hukum ke dalam kurikulum pendisikan dari tingkat pendidikan menengah ataupun dengan pemberian pemahaman langsung kepada masyarakat akan pentingnya masyarakat tahu tentang hukum, sehingga lapisan masyarakat manapun dapat mengawal dan mengawasi jalannya hukum secara bijaksana.
5.   Ada masyarakat yang sudah sadar, tetapi masyarakat tersebut mencoba melakukan pelanggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu.
Proses biroksasi yang ribet dan terkesan membingungkan membuat sebagian masyarakat yang telah melakukan pelanggaran memilih jalan cepat untuk menyogok aparat hulum meskipun mereka sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Tapi biasanya mereka berpikir daripada melewati serangkaian proses birokarasi yan panjang, yang justru akan menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya, biasanya para pelanggar hukum lebih memilih untuk melakukan jalan damai/ menyuap para aparat hukum yang bersangkutan dengan masalah mereka. Misalnya : pada saat Mr. A berkendara tanpa menggunakan helm sebagai pelindung kepala saat berkendara, tiba-tiba di jalan kena tilang polisi lalu lintas, biasanya daripada melakukan proses persidangan karena hal yang dianggap sepele seperti ini, Mr.A melakukan proses perdamaian dengan polisi tersebut dengan cara membayar polisi tersebut dengan sejumlah uang.
Solusinya : Rampingkan kembali proses birokrasi Indonesia, proses setiap bentuk pelanggaran oleh setiap orang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Para birokrat harus mampu menjalankan proses hukum sesuai prosedur yang ada. Ubahlah takeline kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah, dengan takeline urusan masyarakat selalu dipermudah, Karena kami para pelayan public !!
6.   Ketimpangan aturan antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya.
Solusinya : setiap aturan dalam kitab undang-undang harus diperjelas kembali, jangan sampai antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya berbeda sehingga menyulitkan para penegak hukum dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berdampak buruk kepada masyaraka/ orang yang yang bersangkutan melakukan pelanggaran, apalagi kalau dampak buruk tesebut dapat merugikan seseorang/ sekelompok yang tidak bersalah. Hal ini dikarenakan landasan hukum adalah kebijaksanaan dan keadilan untuk semua pihak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar