ISU TENTANG BPJS KESEHATAN DALAM
RANGKA PROGRAM PEMERINTAH UNTUK MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT

Disusun
oleh:
Rika Nurjayanti 170110130013
Ayu Yuningsih 170110130015
Arni Herlina 170110130019
Elvin Hoerunnisa 170110130027
Desy Kurniasih 170110130053
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU
ADMINISTRASI NEGARA
2013
1.
Penjelasan
tentang BPJS Kesehatan
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004
tentang SJSN , Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
adalah:
1. Badan
hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1 ayat
6)
2. Badan
hukum nirlaba (Pasal 4 dan Penjelasan Umum)
3. Pembentukan
dengan Undang-undang (Pasal 5 ayat (1)
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004, batas waktu paling lambat untuk penyesuaian semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS dengan UU No. 40 Tahun 2004 adalah tanggal 19 Oktober 2009, yaitu 5 tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan. Batas waktu penetapan UU tentang BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan.
DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini melalui Program
Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang BPJS. DPR telah
menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Pemerintah pada 8 Oktober 2010 untuk
dibahas bersama Pemerintah.
DPR RI dan Pemerintah mengakhiri pembahasan RUU tentang BPJS pada Sidang
Paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2011. RUU tentang BPJS disetujui untuk
disahkan menjadi Undang-undang. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada
Presiden pada tanggal 7 November 2011. Pemerintah mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada tanggal 25
November 2011.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program sosial. BPJS terdiri dari BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial(BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
proggram jaminan kesehatan.
Mulai 1 Januari 2014 program-program jaminan kesehatan sosial yang telah
diselenggarakan oleh pemerintah dialihkan kepada BPJS Kesehatan. Perluasan
kepesertaan dilakukan dimulai dengan menyatukan pengelolaan peserta Askes
Sosial/ PNS (yang kini dikelola oleh PT Askes), pengalihan pengelolaan
Jamkesmas dari Kemenkes sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI),
pengalihan peserta JPK Jamsostek, dan pengalihan jaminan kesehatan dari
TNI/POLRI, serta sebagian peserta Jamkesda. Ditargetkan sekitar 121,6 juta jiwa
dijamin oleh BPJS Kesehatan di Tahun 2014. Pada prinsipnya seluruh pemberi
kerja wajib mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Kesehatan.
Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional membawa pemenuhan kebutuhan akan
pelayanan medis komprehensif, meliputi promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Prinsip komprehensif artinya adalah bahwa semua pengobatan untuk
penyakit yang terjadi secara alamiah akan dijamin, sedangkan penyakit yang
ditimbulkan akibat kesengajaan seperti akibat penggunaan NAPZA atau yang
bersifat kosmetika tidak dijamin. Jaminan juga mencakup alat sampai besaran
tertentu seperti kaca mata atau alat bantu gerak. Agar lebih berkeadilan,
mereka yang iurannya dibayarkan Pemerintah (PBI) berhak mendapatan perrawatan
di kelas III. Sedangkan mereka yang membayar iuran akan mendapat perawatan di
kelas II atau kelas I, tergantung besarnya iuran. Paket manfaat tersebut di
atas juga untuk memenuhi prinsip perlindungan rakyat agar tidak jatuh miskin
jika terkena musibah penyakit berat dengan biaya yang besar. Smentara untuk
pekerja sektor informal akan diberlakukan iuran untuk setiap orang dan manfaat
yang diberikan akan disesuikan dengan besaran premi tiap bulannya.
Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang
dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam
bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Peserta BPJS Kesehatan digolongkan dalam 2 kelompok, yaitu :
1. PBI
jaminan kesehatan
2. Bukan
PBI jaminan kesehatan
2. Permasalahan
Mengenai BPJS Kesehatan
BPJS
Watch menilai, masih banyak kekurangan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Koordinator
Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, masih banyak permasalahan dalam
perjalan BPJS Kesehatan selama 50 hari. Menurutnya, keuntungan yang diterima
peserta dan permasalahan layanan, menjadi keluhan yang dominan dari peserta
kepada pihak BPJS Kesehatan. Walaupun
sudah dikeluarkan surat edaran Nomor 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri
Kesehatan (Menkes) guna memperkuat Permenkes Nomor 69, ternyata belum dapat
mengurangi permasalahan di lapangan. Dari sisi regulasi, pemerintah seharusnya
dapat menanggung gelandangan, anak jalanan, anak panti asuhan, orang jompo dan
penghuni lapas. Rencananya, pemerintah menambah anggaran sebesar Rp400 miliar.
"Ini
terhalang karena Perpres 111 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan hanya
mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI. Padahal menurut BPS (Badan
Pusat Statistik) tahun 2011, orang miskin ada 96,7 juta," kata Timboel
dari rilis yang diterima KORAN
SINDO, Jumat 21 Februari 2014.
Untuk
itu, BPJS Watch mendesak pemerintah merevisi Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 dan
SE Nomor 31 dan 32 Tahun 2014, dengan menaikan biaya INA CBGs dan kapitasi.
Dengan berbincang kepada faskes, dan pemerintah cepat menganggarkan Rp400
miliar untuk 1,7 juta orang. Sehingga BPJS Kesehatan bisa mengatasi 96,7 juta.
Masalah
lainnya terletak pada pelaksanaan di lapangan. Pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas dan klinik) maupun PPK II (Rumah
Sakit). Masih ditemukan pasien yang harus mencari kamar karena banyak RS
yang bilang penuh. Selain itu, banyak pasien yang sudah sekarat harus mencari
ruang ICU/ICCU. Seperti kasus seperti yang dialami Pak Nur dipaksa oleh sebuah
RS di Jambi untuk mencari darah sendiri sebelum besoknya dioperasi.
"BPJS
Kesehatan seharusnya lebih sensitif dan peduli untuk masalah-masalah teknis.
Harusnya ada desk khusus BPJS Kesehatan di tiap RS yang
memiliki data atau informasi ter-update terkait masalah ketersediaan ruang
rawat atau ruang ICU/ICCU di RS lain," ungkapnya.
"Desk
khusus tersebut online dengan desk khusus BPJS di RS-RS lain
sehingga BPJS kesehatan akan menginformasikan lebih pasti mana RS yang memiliki
ruang rawat atau ICU/ICCU kosong," imbuhnya.
Nantinya,
desk khusus ini beroperasi 24 jam dan terus memantau ketersediaan ruang perawatan
atau ICU/ICCU di masing-masing RS. Selain itu, permasalahan darah BPJS
Kesehatan harus mempunyai kerja sama khusus dengan PMI atau RS lain yang
mempunyai stok darah, sehingga ketika pasien membutuhkan hal tersebut dapat
terpenuhi.
Sementara
itu, Menurut Ketua DJSN Chazali Situmorang mengatakan, hingga kini masih
banyak puskesmas atau rumah sakit yang masih menggunakan sistem manual dalam
pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini
mengakibatkan risiko klaim ganda dan double kepesertaan pun tak bisa dihindarkan,
ditakutkan akan membuat BPJS Kesehatan bangkrut.
Menurut
dia, risiko klaim ganda dan double data peserta hanya dapat dikontrol
dengan sistem online di
seluruh lapisan BPJS Kesehatan, baik di pelayanan kesehatan tingkat primer
hingga tersier. Sehingga data peserta bisa dapat segera diakses jika yang
bersangkutan sedang berobat. "Hal itu kemudian dapat mencegah adanya double kepesertaan. Namun diakuinya, hingga
kini sistem online dalam BPJS kesehatan masih sangat minim," kata dia.
Dari
sekira 9.600 Puskesmas yang tersebar di Indonesia misalnya, baru puskesmas di
DKI Jakarta yang dikatakannya telah menggunakan sistem online yang baik. Risiko lainnya ialah,
penyalahgunaan kartu anggota oleh orang lain.
Risiko
ini, sangat banyak terjadi dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang
diterapkan sebelumnya. "Banyak terjadi pinjam meminjam dalam penggunaan
kartu sehat tersebut. Cukup dengan usia yang sepantaran, gender sama. Tidak
jarang rumah sakit yang juga tutup mata,” ujar Chazali.
Permasalahan-permasalahan
tersebut muncul di Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dengan
tingkat utilisasi yang rendah akibat kondisi geografis dan tidak memadainya
fasilitas kesehatan pada daerah tersebut, permasalahan yang lain yaitu, Jumlah
tenaga kesehatan yang ada masih kurang dari jumlah yang dibutuhkan, Untuk
pekerja sektor informal nantinya akan mengalami kesulitan dalam penarikan
iurannya setiap bulan karena pada sektor tersebut belum ada badan atau lembaga
yang menaungi sehingga akan memyulitkan dalam penarikan iuran di sektor
tersebut, Permasalahan akan timbul pada
penerima PBI karena data banyak yang tidak sesuai antara pemerintah pusat dan
daerah sehingga data penduduk tidak mampu tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan.
Untuk
mengatasi permasalahan akan kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan dapat
diatasi dengan meningkatkan jumlah persebaran fasilitas kesehatan di berbagai
daerah yang disesuaikan dengan karakteristrik daerah tersebut. Sementara
pemenuhan tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan sampai pada tingkat pertama
karena pada pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang mulai tahun 2014 akan
fokus pada pelayanan kesehatan primer dengan dukungan pemerintah sepenuhnya
baik pemerintah pusat maupun pemerinttah daerah. Sementara untuk mengatasi permasalahan
penarikan iuran pada pekerja sektor informal dapat diatasi dengan melibatkan
lembaga pemerintah atau non-pemerintah di tingkat desa seperti LSM lembaga
keuangan mikro. Untuk mencapai tujuan cakupan universal, sangat penting bagi
pemerintah untuk memperkuat regulasi (peraturan pemerintah), baik terhadap sisi
pembiayaan (yakni, revenue collection dan pooling), maupun sisi penyediaan dan
penggunaan pelayanan kesehatan (yakni, purchasing). Pada permasalahan
ketidaksesuian jumlah penduduk miskin dapat diatasi dengan dilakukan koordinasi
antara pemerintah pusat dan daerah mengenai kriteria atau standar yang akan
diberikan dalam penentuan penerima bantuan iuran. Selain itu pemerintah pusat
menyerahkan mengenai data penduduk miskin sesuai dengan hasil koordinasi yang
telah disepekati.
3.
Strategi
yang Digunakan untuk Mengatasi Permasalahan BPJS Kesehatan
Untuk mengatasi permasalahan pokok dalam transformasi BPJS
Kesehatan, ada 4 strategi yang dapat dilakukan diantaranya:
Pertama, Jaminan Kesehatan harus disepakati sebagai
sarana untuk mencapai tujuan pemenuhan hak setriap orang atas pelayanan
kesehatan sebagai salah satu program jaminan sosial nasional.
Kedua, gunakan pendekatan multi dimensi dalam pelaksanaan
transformasi, mengingat konsep dan metode yang relevan sangat luas. Analisa
yang sempit dengan mengabaikan isu pokok dapat mengundang kesalahan yang
berdampak signifikan terhadap kelanjutan transformasi. Arus uang dan insentif sangat penting dalam memahami
penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Karena itu
analisa ekonomi perlu dikombinasikan dengan pendekatan teori organisasi, teori
sosial dan psikologi untuk memperkuat dukungan dari fasilitas kesehatan,
peserta, pemberi kerja, asosiasi dan aktor-aktor lainnya.
Ketiga, menggalang dukungan yang luas dari penguasa dan
elit politik untuk menghasilkan kebijakan politik strategis yang membuat
transformasi bergerak maju. Dengan demikian resistensi terhadap transformasi
dapat dipersempit ruang geraknya, dan diyakinkan tentang manfaat transformasi
untuk perbaikan sistem.
Keempat, buktikan secara rasional bahwa transformasi akan
meningkatkan manfaat dan kualitas pelayanan kesehatan yang nyata dapat
dinikmati oleh peserta.
Perhatian pada isu teknis saja, tidak cukup memadai untuk
memahami kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Transformasi BPJS Kesehatan
bukan sekedar soal teknis penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan, tetapi
masalah struktur kelembagaan, prosedur kerja dan perubahan kultur yang harus
dilakukan secara simultan.
Berdasarkan strategi tersebut Dewan Komisaris dan Direksi PT
Askes (Persero) menyusun road
map transformasi yang
memuat secara rinci siapa melakukan apa, kapan, bagaimana caranya dan apa yang
dihasilkan. Sudah tentu secara berkala perlu dilakukan evaluasi untuk menilai hasil
yang dicapai dan melakukan penyesuaian agenda yang diperlukan untuk memastikan
bahwa transformasi berjalan pada jalurnya yang benar.
Transformasi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Pemangku kepentingan dijamin mudah memperoleh akses informasi mengenai
perkembangan transformasi, sehingga dapat melakukan fungsi sosial kontrol
dengan efektif.
Sumber :
http://nasional.sindonews.com/read/838128/15/pelaksanaan-bpjs-kesehatan-dinilai-masih-minus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar