Minggu, 28 September 2014

PROGRAM BPJS

ISU TENTANG BPJS KESEHATAN DALAM RANGKA PROGRAM PEMERINTAH UNTUK MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT


Description: http://blogs.unpad.ac.id/nikk/files/2012/11/logo-unpad1.jpg


Disusun oleh:
Rika Nurjayanti   170110130013
Ayu Yuningsih     170110130015
Arni Herlina         170110130019
Elvin Hoerunnisa 170110130027
Desy Kurniasih    170110130053




UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2013
1.      Penjelasan tentang BPJS Kesehatan

Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN , Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah:
1.     Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1 ayat 6)
2.     Badan hukum nirlaba (Pasal 4 dan Penjelasan Umum)
3.     Pembentukan dengan Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) 

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004, batas waktu paling lambat untuk penyesuaian semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS dengan UU No. 40 Tahun 2004 adalah tanggal 19 Oktober 2009, yaitu 5 tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan. Batas waktu penetapan UU tentang BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan.
DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini melalui Program Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang BPJS. DPR telah menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Pemerintah pada 8 Oktober 2010 untuk dibahas bersama Pemerintah.
DPR RI dan Pemerintah mengakhiri pembahasan RUU tentang BPJS pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2011. RUU tentang BPJS disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Presiden pada tanggal 7 November 2011. Pemerintah mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada tanggal 25 November 2011.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan proggram jaminan kesehatan.
Mulai 1 Januari 2014 program-program jaminan kesehatan sosial yang telah diselenggarakan oleh pemerintah dialihkan kepada BPJS Kesehatan. Perluasan kepesertaan dilakukan dimulai dengan menyatukan pengelolaan peserta Askes Sosial/ PNS (yang kini dikelola oleh PT Askes), pengalihan pengelolaan Jamkesmas dari Kemenkes sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), pengalihan peserta JPK Jamsostek, dan pengalihan jaminan kesehatan dari TNI/POLRI, serta sebagian peserta Jamkesda. Ditargetkan sekitar 121,6 juta jiwa dijamin oleh BPJS Kesehatan di Tahun 2014. Pada prinsipnya seluruh pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Kesehatan.
Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional membawa pemenuhan kebutuhan akan pelayanan medis komprehensif, meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Prinsip komprehensif artinya adalah bahwa semua pengobatan untuk penyakit yang terjadi secara alamiah akan dijamin, sedangkan penyakit yang ditimbulkan akibat kesengajaan seperti akibat penggunaan NAPZA atau yang bersifat kosmetika tidak dijamin. Jaminan juga mencakup alat sampai besaran tertentu seperti kaca mata atau alat bantu gerak. Agar lebih berkeadilan, mereka yang iurannya dibayarkan Pemerintah (PBI) berhak mendapatan perrawatan di kelas III. Sedangkan mereka yang membayar iuran akan mendapat perawatan di kelas II atau kelas I, tergantung besarnya iuran. Paket manfaat tersebut di atas juga untuk memenuhi prinsip perlindungan rakyat agar tidak jatuh miskin jika terkena musibah penyakit berat dengan biaya yang besar. Smentara untuk pekerja sektor informal akan diberlakukan iuran untuk setiap orang dan manfaat yang diberikan akan disesuikan dengan besaran premi tiap bulannya.
Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Peserta BPJS Kesehatan  digolongkan dalam 2 kelompok, yaitu :
1.      PBI jaminan kesehatan
2.      Bukan PBI jaminan kesehatan

2.      Permasalahan Mengenai BPJS Kesehatan
BPJS Watch menilai, masih banyak kekurangan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, ‎masih banyak permasalahan dalam perjalan BPJS Kesehatan selama 50 hari. Menurutnya, keuntungan yang diterima peserta dan permasalahan layanan, menjadi keluhan yang dominan dari peserta kepada   pihak BPJS Kesehatan. Walaupun sudah dikeluarkan surat edaran Nomor 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan (Menkes) guna memperkuat Permenkes Nomor 69, ternyata belum dapat mengurangi permasalahan di lapangan. Dari sisi regulasi,‎ pemerintah seharusnya dapat menanggung gelandangan, anak jalanan, anak panti asuhan, orang jompo dan penghuni lapas. Rencananya, pemerintah menambah anggaran sebesar Rp400 miliar.
"Ini terhalang karena Perpres 111 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI. Padahal menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011, orang miskin ada 96,7 juta," kata Timboel dari rilis yang diterima KORAN SINDO, Jumat 21 Februari 2014.
Untuk itu, BPJS Watch mendesak pemerintah merevisi Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 dan SE Nomor 31 dan 32 Tahun 2014, dengan menaikan biaya INA CBGs dan kapitasi. Dengan berbincang kepada faskes, dan pemerintah cepat menganggarkan Rp400 miliar untuk 1,7 juta orang. Sehingga BPJS Kesehatan bisa mengatasi 96,7 juta.
Masalah lainnya terletak pada pelaksanaan di lapangan. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas dan klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit)‎.  Masih ditemukan pasien yang harus mencari kamar karena banyak RS yang bilang penuh. Selain itu, banyak pasien yang sudah sekarat harus mencari ruang ICU/ICCU. Seperti kasus seperti yang dialami Pak Nur dipaksa oleh sebuah RS di Jambi untuk mencari darah sendiri sebelum besoknya dioperasi.
"BPJS Kesehatan seharusnya lebih sensitif dan peduli untuk masalah-masalah teknis. Harusnya ada desk khusus BPJS Kesehatan di tiap RS yang memiliki data atau informasi ter-update terkait masalah ketersediaan ruang rawat atau ruang ICU/ICCU di RS lain," ungkapnya.
"Desk khusus tersebut online dengan desk khusus BPJS di RS-RS lain sehingga BPJS kesehatan akan menginformasikan lebih pasti mana RS yang memiliki ruang rawat atau ICU/ICCU kosong," imbuhnya.
Nantinya, desk khusus ini beroperasi 24 jam dan terus memantau ketersediaan ruang perawatan atau ICU/ICCU di masing-masing RS. Selain itu, permasalahan darah BPJS Kesehatan harus mempunyai kerja sama khusus dengan PMI atau RS lain yang mempunyai stok darah, sehingga ketika pasien membutuhkan‎ hal tersebut dapat terpenuhi.
Sementara itu, Menurut Ketua DJSN Chazali Situmorang‎ mengatakan, ‎hingga kini masih banyak puskesmas atau rumah sakit yang masih menggunakan sistem manual dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini mengakibatkan risiko klaim ganda dan double kepesertaan pun tak bisa dihindarkan, ditakutkan akan membuat BPJS Kesehatan bangkrut.
Menurut dia, risiko klaim ganda dan double data peserta hanya dapat dikontrol dengan sistem online di seluruh lapisan BPJS Kesehatan, baik di pelayanan kesehatan tingkat primer hingga tersier. Sehingga data peserta bisa dapat segera diakses jika yang bersangkutan sedang berobat. "Hal itu kemudian dapat mencegah adanya double kepesertaan. Namun diakuinya, hingga kini sistem online dalam BPJS kesehatan masih sangat minim," kata dia.
Dari sekira 9.600 Puskesmas yang tersebar di Indonesia misalnya, baru puskesmas di DKI Jakarta yang dikatakannya telah menggunakan sistem online yang baik. Risiko lainnya ialah, penyalahgunaan kartu anggota oleh orang lain.
Risiko ini, sangat banyak terjadi dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang diterapkan sebelumnya. "Banyak terjadi pinjam meminjam dalam penggunaan kartu sehat tersebut. Cukup dengan usia yang sepantaran, gender sama. Tidak jarang rumah sakit yang juga tutup mata,” ujar Chazali.
Permasalahan-permasalahan tersebut muncul di Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dengan tingkat utilisasi yang rendah akibat kondisi geografis dan tidak memadainya fasilitas kesehatan pada daerah tersebut, permasalahan yang lain yaitu, Jumlah tenaga kesehatan yang ada masih kurang dari jumlah yang dibutuhkan, Untuk pekerja sektor informal nantinya akan mengalami kesulitan dalam penarikan iurannya setiap bulan karena pada sektor tersebut belum ada badan atau lembaga yang menaungi sehingga akan memyulitkan dalam penarikan iuran di sektor tersebut,  Permasalahan akan timbul pada penerima PBI karena data banyak yang tidak sesuai antara pemerintah pusat dan daerah sehingga data penduduk tidak mampu tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Untuk mengatasi permasalahan akan kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan dapat diatasi dengan meningkatkan jumlah persebaran fasilitas kesehatan di berbagai daerah yang disesuaikan dengan karakteristrik daerah tersebut. Sementara pemenuhan tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan sampai pada tingkat pertama karena pada pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang mulai tahun 2014 akan fokus pada pelayanan kesehatan primer dengan dukungan pemerintah sepenuhnya baik pemerintah pusat maupun pemerinttah daerah. Sementara untuk mengatasi permasalahan penarikan iuran pada pekerja sektor informal dapat diatasi dengan melibatkan lembaga pemerintah atau non-pemerintah di tingkat desa seperti LSM lembaga keuangan mikro. Untuk mencapai tujuan cakupan universal, sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi (peraturan pemerintah), baik terhadap sisi pembiayaan (yakni, revenue collection dan pooling), maupun sisi penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan (yakni, purchasing). Pada permasalahan ketidaksesuian jumlah penduduk miskin dapat diatasi dengan dilakukan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mengenai kriteria atau standar yang akan diberikan dalam penentuan penerima bantuan iuran. Selain itu pemerintah pusat menyerahkan mengenai data penduduk miskin sesuai dengan hasil koordinasi yang telah disepekati.
3.      Strategi yang Digunakan untuk Mengatasi Permasalahan BPJS Kesehatan
Untuk mengatasi permasalahan pokok dalam transformasi BPJS Kesehatan, ada 4 strategi yang dapat dilakukan diantaranya:
Pertama, Jaminan Kesehatan harus disepakati sebagai sarana untuk mencapai tujuan pemenuhan hak setriap orang atas pelayanan kesehatan sebagai salah satu program jaminan sosial nasional.
Kedua, gunakan pendekatan multi dimensi dalam pelaksanaan transformasi, mengingat konsep dan metode yang relevan sangat luas. Analisa yang sempit dengan mengabaikan isu pokok dapat mengundang kesalahan yang berdampak signifikan terhadap kelanjutan transformasi. Arus uang dan insentif sangat penting dalam memahami penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Karena itu analisa ekonomi perlu dikombinasikan dengan pendekatan teori organisasi, teori sosial dan psikologi untuk memperkuat dukungan dari fasilitas kesehatan, peserta, pemberi kerja, asosiasi dan aktor-aktor lainnya.
Ketiga, menggalang dukungan yang luas dari penguasa dan elit politik untuk menghasilkan kebijakan politik strategis yang membuat transformasi bergerak maju. Dengan demikian resistensi terhadap transformasi dapat dipersempit ruang geraknya, dan diyakinkan tentang manfaat transformasi untuk perbaikan sistem.
Keempat, buktikan secara rasional bahwa transformasi akan meningkatkan manfaat dan kualitas pelayanan kesehatan yang nyata dapat dinikmati oleh peserta.
Perhatian pada isu teknis saja, tidak cukup memadai untuk memahami kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Transformasi BPJS Kesehatan bukan sekedar soal teknis penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan, tetapi masalah struktur kelembagaan, prosedur kerja dan perubahan kultur yang harus dilakukan secara simultan.
Berdasarkan strategi tersebut Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) menyusun road map transformasi yang memuat secara rinci siapa melakukan apa, kapan, bagaimana caranya dan apa yang dihasilkan. Sudah tentu secara berkala perlu dilakukan evaluasi untuk menilai hasil yang dicapai dan melakukan penyesuaian agenda yang diperlukan untuk memastikan bahwa transformasi berjalan pada jalurnya yang benar.
Transformasi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Pemangku kepentingan dijamin mudah memperoleh akses informasi mengenai perkembangan transformasi, sehingga dapat melakukan fungsi sosial kontrol dengan efektif.


Sumber :
http://nasional.sindonews.com/read/838128/15/pelaksanaan-bpjs-kesehatan-dinilai-masih-minus














Tidak ada komentar:

Posting Komentar