IDENTIFIKASI ISU UTAMA YANG DIHADAPI BPJS KETENAGAKERJAAN SEBAGAI BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem
Administrasi Negara Indonesia

Disusun
oleh :
Firas
Muhammad H (170110130057)
Dimas
Setiawan (170110130067)
Felix
Ezekiel Sinaga (170110130073)
UNIVERSITAS
PADDJAJARAN
FAKUULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2014
Penjelasan tentang BPJS Ketenagakerjaan
Penyelenggaraan program jaminan
sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan
perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan
keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya,
mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh
peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
BPJS Ketenagakerjaan (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) merupakan program publik yang
memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi
tertentu dan penyelenggaraan nya menggunakan mekanisme asuransi sosial.
Sebagai Lembaga Negara yang
bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan yang dahulu bernama
PT Jamsostek (Persero) merupakan pelaksana undang-undang jaminan sosial tenaga
kerja.
BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya
bernama Jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja), yang dikelola oleh PT.
Jamsostek (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT.
Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Januari 2014.
BPJS Kesehatan dahulu bernama
Askes bersama BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013.
Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan
BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. Direktur utama saat
ini adalah Elvyn G. Masassya.
Sebagai program publik,
Jamsostek memberikan hak dan membebani kewajiban secara pasti (compulsory) bagi pengusaha dan tenaga
kerja berdasarkan Undang-undang No.3 tahun 1992 mengatur Jenis Program Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK),sedangkan kewajiban peserta adalah tertib
administrasi dan membayar iuran.
Dalam meningkatkan pelayanan
jamsostek tak hentinya melakukan terobosan melalui sistem online guna menyederhanakan sistem layanan dan kecepatan
pembayaran.
Visi BPJS Ketengakerjaan
adalah menjadi Badan penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) berkelas dunia, terpercaya, bersahabat dan unggul dalam
Operasional dan Pelayanan.
Sebagai badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang memenuhi perlindungan dasar bagi tenaga kerja
serta menjadi mitra terpercaya bagi:
·
Tenaga Kerja: Memberikan perlindungan yang layak
bagi tenaga kerja dan keluarga
·
Pengusaha: Menjadi mitra terpercaya untuk
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas
·
Negara: Berperan serta dalam pembangunan
Prorgam jaminan sosial tenaga
kerja bagi tenaga kerja meliputi : (a). Jaminan Kecelakaan Kerja ; (b). Jaminan
Kematian; (c). Jaminan Hari Tua; (d). Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Agar
tidak bias, penulis paparkan penjelasan mengenai program tersebut yang
termaktub dalam penjelesan umum UU 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja:
(a). Jaminan
Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja maupun penyakit
akibat kerja merupakan risiko yang
dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi
hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian
atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya
Jaminan Kecelakaan Kerja, mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja
sifatnya relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacatnya maka Jaminan atau
santunan hanya diberikan dalam hal terjadi cacat mental tetap yang
mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi.
(b). Jaminan
Kematian
Tenaga kerja yang meninggal
dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan,
dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang
ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya
meringankan beban keluarga dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa
uang
(c). Jaminan
Hari Tua
Hari tua dapat mengakibatkan
terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah
tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi
ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang
penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan
penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja
mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tersebut.
(d). Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan
dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang
penyembuhan (kuratif).
Oleh karena, upaya penyembuhan
memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada
perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan
masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya.
Sebelum tahun 2014,
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dilakukan oleh Badan
Penyelenggara, Badan Usaha Milik Negara yakni PT. Jamsostek (Persero) melalui
Peraturan Pemerintah No.36/1995 .
Pada tanggal 1 Januari 2014
berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. PT Jamsostek (Persero) akan berubah menjadi Badan
Hukum Publik, dan berubah nama menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan . BPJS Ketenagakerjaan diharapkan dapat beroperasi paling
lambat tanggal 1 Juli 2015 (pasal 64 UU 24/2011). Berdasarkan pasal 62, BPJS
Ketenagakerjaan tetap menjalankan fungsi dan operasionalnya untuk program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian serta memiliki asset dan liablitas serta hak dan kewajiban
PT.Jamsostek (Persero). Untuk memperdalam tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, pembaca diharapkan membaca mandiri Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011
karena pada tulisan ini, Penulis hanya memaparkan secara singkat mengenai
peranan BPJS Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja di industri minyak dan gas bumi
Indonesia.
BPJS Ketenagakerjaan memiliki
hak dan kewajiban sebagaimana termaktub dalam UU 24/2011 pasal 12 dan pasal 13,
yakni;
hak daripada
BPJS ialah :
(a).
memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari
Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
(b).
memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaran program Jaminan Sosia
dari DJSN, (Dewan Jaminan Sosial Nasional-pen) setiap 6 (enam) bulan.
sedangkan
kewajiban BPJS, beberapa diantaranya yakni:
(a).
memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta
(b). memberikan
informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan
kewajibannya
(c).
memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja,
kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya
(d).
melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keungan, secara berkala
6(enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN, Dewan Jaminan
Sosial Nasional.
Salah satu Peserta BPJS ialah
pemberi kerja berikut pekerjanya. Definisi yang diberikan Undang-Undang tentang
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri
dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya, sedangkan definisi daripada Pekerja
adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
Undang-Undang ini mengamanatkan
kalau pemberi kerja secara bertahap ‘wajib’ mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya
serta anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program
jaminan sosial yang diikuti. Menurut Pasal 17 UU 24/2011, Pemberi Kerja yang
tidak mendaftarkan pekerja berikut anggota keluarganya, maka pemberi kerja
tersebut akan dikenakan sanksi administratif berupa: (a). teguran tertulis;
(b). denda; (c). tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu. Untuk pembayaran
iuran bagi pekerja, pemberi kerja ‘wajib’ memungut iuran yang menjadi beban
pekerja dan menyetorkannya kepada BPJS. Jika pemberi kerja tidak
melaksanakannya, maka ia dapat diancam pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tata cara pemberian sanksi lebih
lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara
dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran
dalam Penyelenggara Jaminan Sosial, selanjutnya disebut PP 86/2013. Salah satu
sanksi dalam PP 86/2013 yang sangat tegas ialah sanksi tidak mendapat pelayanan
public milsanya:
(a).
perizinan terkait usaha;
(b). izin
yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek;
(c). izin
memperkerjakan tenaga kerja asing;
(d). izin
perusahan penyedia jasa pekerja/buruh;
(e). izin
mendirian bangunan (IMB)
Menyadari besar dan mulianya
tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi
di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat
yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.
Kini dengan system
penyelenggaraan yang semakin maju, program BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya
memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha saja, tetapi juga memberikan
kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Isu
Utama berkenaan dengan BPJS Ketenagakerjaan serta Upaya Menghadapinya
Jika kita cermati penjelasan
diatas, peran pemerintah sudah sangat baik dalam memberikan dan memfasiltasi tenaga
kerja di seluruh Indonesia, apabila BPJS Ketenagakerjaan tersebut benar-benar
dapat diaplikasikan dengan baik. Tetapi fakta di lapangan ada masalah utama
yakni:
Sampai detik ini pemerintah
belum mengeluarkan peraturan tambahan berupa petunjuk teknis pelaksanaan BPJS.
Padahal peraturan tentang petunjuk teknis ini sangat penting. Bahkan menurut
saya bagi para pelaksana dan pengguna layanan, fungsi peraturan ini lebih
krusial daripada fungsi undang-undangnya. Para pelaksana dan pengguna layanan
sangat membutuhkan petunjuk teknis untuk mengimplemntasikan apa yang telah
diperintahkan dalam undang-undang. Untuk hal ini seharusnya pemerintah cepat
menjelaskan bagaimana teknis pelaksanaan BPJS ini.
Dengan keterlambatan pembuatan
peraturan tentang petunjuk teknis pelaksanaan ini, akhirnya berimbas pada
keterlambatan pihak penyedia layanan dalam melaksanakan sosialisasi tentang
petunjuk teknis pelaksanaan BPJS ini. pihak perusahaan mengalami kesulitan
dalam melakukan pendaftaran peserta. Form yang harus diisi banyak dan
berbelit-belit (seperti semua form di Indonesia pada umumnya), berkas syarat
juga bermacam-macam (seperti persyaratan berkas kelengkapan di Indonesia pada
umumnya), ditambah dengan waktu pengumpulan yang sangat sempit. Kalau
perusahaan yang jumlah karyawannya hanya puluhan mungkin tidak ada kendala
berarti. Bayangkan perusahaan yang karyawannya ribuan. Seharusnya pemerintah
membenahi dulu sektor ini karena ide pemerintah yang sebenarnya sangat brilian,
menggabungkan beberapa asuransi bentukan pemerintah menjadi satu wadah yaitu
BPJS agar makin efektif pelaksanaannya. Sayangnya ide brilian ini tidak
didukung dengan kesiapan para pihak pelaksananya.
Ada pula lima tren global yang
harus dipersiapkan untuk membuat regulasi terkait pelaksanaan penyelenggaraan
jaminan sosial. Ada banyak perubahan yang terjadi dan harus disesuaikan sesuai
konteks zaman. Serta ada juga tantangan diluar lima tren global tersebut.
Pertama, faktor perubahan
demografis. Kekinian, usia hidup orang semakin panjang. Jika hal ini tidak
disikapi dengan baik maka keberlangsungan angkatan kerja semakin lama semakin
menurun. Ini juga berdampak pada keberlangsungan
pembayaran pensiun. Upaya menghadiapi masalah ini dengan mengatur agar usia
pensiun pekerja diundur kira-kira sebesar lima tahun.
Kedua, faktor perubahan iklim.
Cuaca akhir-akhir ini sulit diramalkan. Bencana alam seperti badai dan topan
kerap terjadi di luar prediksi manusia. Kejadian ini akan berdampak pada
besaran klaim. Klaim kecelakaan dan lainnya harus diantisipasi.
Ketiga, faktor migrasi
antar-negara. Era kini ditandai dengan globalisasi yang membuka sekat batas
antar wilayah negara. Banyak pekerja datang dari belahan bumi lain di
Indonesia. Bahkan, pemain sepakbola pun harus didatangkan dari luar negeri. Hal
ini harus dicermati bagaimana tenagakerja yang melimpah dapat diperhatikan oleh
penyedia layanan.
Keempat, masuknya kaum wanita
dalam sektor kerja. Para wanita selaiknya diberi afirmasi kebijakan dengan
memberikan benefit yang berbeda daripada pekerja pria. Misalkan memberi mereka
libur saat hamil serta saat haid di hari pertama.
Kelima, semakin dibatasinya
jumlah penduduk. Kebijakan keluarga berencana, misalnya, akan berimplikasi
terhadap angkatan kerja yang di masa depan menjadi terbatas. Berarti, potensi
pembayar iuran akan semakin kecil dibandingkan dengan uang pensiunannya. Kelima
fenomena di atas harus diatasi dipertimbangkan saat BPJS dan seluruh stakeholder menyusun regulasi yang akan
diterapkan.
Juga masalah terkait pembayaran
iuran untuk masing-masing program baik itu dalam hal ketenagakerjaan. Untuk
BPJS Ketenagakerjaan, pengusaha akan menjadi obyek dari program ini karena
adanya tambahan beban keuangan. Berbeda dengan jaminan kesehatan, jaminan
ketenagakerjaan masih belum ada gambaran yang jelas terkait besaran dana
pensiun yang akan dikelola oleh PT Jamsostek. Hal yang terkait berapa iuran
yang akan dibayarkan pengusaha, pekerja maupun pemerintah belum jelas
besarannya.
Selain masalah-masalah tersebut,
seluruh stakeholder juga harus
memperhatikan semakin membesarnya sektor informal di Indonesia. Ini ciri utama
BPJS Ketengarakerjaan dibandingkan dengan Jamsostek. Satu dari sekian perbedaan
utama adalah pekerja informal atau mereka yang tidak terafiliasi dengan lembaga
swasta atau lembaga negara juga dapat menjadi peserta.
Sebagai contoh, nelayan yang
selama ini tidak memiliki program jaminan kecelakaan kerja saat melaut dapat
menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Apabila dia tewas karena tergulung ombak
saat bekerja, sang nelayan sebagai peserta jaminan sosial bisa memperoleh
santunan. Begitu pula dengan petani, kuli bangunan, penarik becak, asisten
rumah tangga hingga pedagang bakso keliling. Mereka yang selama ini bekerja
keras dan berkontribusi dalam perekonomian nasional seringkali terabaikan dalam
program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kepesertaan pekerja informal itu
menjadi menarik sebagai sebuah harapan dan cita-cita karena seluruh
warga-pekerja Indonesia bakal memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan seperti
yang diarahkan oleh UU No.24/2011 tentang BPJS. Mengacu kepada data Badan Pusat
Statistik per Agustus 2013, jumlah pekerja informal ini sangat banyak yakni
mencapai 66 juta jiwa atau lebih dari separuh (59,58%) dari jumlah tenaga kerja
di Indonesia sebanyak 114 juta orang. pemerintah ingin memenuhi keinginan
rakyat melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang tercakup dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diundangkan pada 2004.
Seringkali kita mendengar
keinginan dan harapan rakyat agar mereka mendapat perlindungan atas risiko
ekonomi, baik karena sakit, kecelakaan kerja, memasuki hari tua, dan pensiun.
Melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional inilah keinginan dan harapan rakyat
dapat kita seharusnya dapat terpenuhi. Mereka juga harus dicover oleh pihak
terkait dalam implementasi jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Harus
ada upaya untuk melakukan konversi dari sektor informal menjadi formal. Formalisasi
ini bisa dibentuk dengan mengubah pola kerja individual menjadi kolektif. Petani
dan nelayan yang biasa bekerja individual, misalnya, agar membentuk paguyuban.
Setelah ada paguyuban sektor informal tersebut, Jamsostek kemudian akan
melakukan sosialisasi agar organisasi tersebut membentuk koperasi. Melalui
koperasi itulah Jamsostek bisa masuk melakukan pendataan dan proses untuk
mengurus jaminan sosial bagi mereka.
Di balik semua target dan ambisi
pemerintah, tantangan BPJS Ketenagakerjaan tidak mudah apalagi mengingat
sejarah Jamsostek yang kerap mendapat sinisme dari pekerja formal, memiliki sejumlah
masalah kepesertaan dan pelayanan hingga tersandung persoalan korupsi.
Jadi, ide pemerintah sudah
sangat baik dalam memberikan dan memfasiltasi tenaga kerja di seluruh
Indonesia, namun peran Pemerintah sebagai penyedia layanan harus ditingkatkan
lagi demi memaksimalkan program yang sebenarnya bila dapat diimplementasikan
dengan baik akan menghasilkan output
yang baik ini. Akhir kata, tanpa tenaga kerja yang sehat dan sejahtera serta
diperhatikan oleh pemerintah, Indonesia akan berkurang pemasukannya, baik
penghasilan bagi perusahaan maupun bagi Indonesia.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Ketenagakerjaan
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/19/bpjs-antara-mimpi-pemerintah-dan-fakta-lapangan-617847.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar