Minggu, 28 September 2014

Program BPJS

IDENTIFIKASI ISU UTAMA YANG DIHADAPI BPJS KETENAGAKERJAAN SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Administrasi Negara Indonesia






Disusun oleh :
Firas Muhammad H (170110130057)
Dimas Setiawan (170110130067)
Felix Ezekiel Sinaga (170110130073)




UNIVERSITAS PADDJAJARAN
FAKUULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2014
Penjelasan tentang BPJS Ketenagakerjaan

                Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
                BPJS Ketenagakerjaan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraan nya menggunakan mekanisme asuransi sosial.
                Sebagai Lembaga Negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan yang dahulu bernama PT Jamsostek (Persero) merupakan pelaksana undang-undang jaminan sosial tenaga kerja.
                BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya bernama Jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja), yang dikelola oleh PT. Jamsostek (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Januari 2014.
                BPJS Kesehatan dahulu bernama Askes bersama BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. Direktur utama saat ini adalah Elvyn G. Masassya.

                Sebagai program publik, Jamsostek memberikan hak dan membebani kewajiban secara pasti (compulsory) bagi pengusaha dan tenaga kerja berdasarkan Undang-undang No.3 tahun 1992 mengatur Jenis Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK),sedangkan kewajiban peserta adalah tertib administrasi dan membayar iuran.
                Dalam meningkatkan pelayanan jamsostek tak hentinya melakukan terobosan melalui sistem online guna menyederhanakan sistem layanan dan kecepatan pembayaran.
                Visi BPJS Ketengakerjaan adalah  menjadi Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berkelas dunia, terpercaya, bersahabat dan unggul dalam Operasional dan Pelayanan.
                Sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang memenuhi perlindungan dasar bagi tenaga kerja serta menjadi mitra terpercaya bagi:
·         Tenaga Kerja: Memberikan perlindungan yang layak bagi tenaga kerja dan keluarga
·         Pengusaha: Menjadi mitra terpercaya untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas
·         Negara: Berperan serta dalam pembangunan

                Prorgam jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja meliputi : (a). Jaminan Kecelakaan Kerja ; (b). Jaminan Kematian; (c). Jaminan Hari Tua; (d). Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Agar tidak bias, penulis paparkan penjelasan mengenai program tersebut yang termaktub dalam penjelesan umum UU 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja:

(a). Jaminan Kecelakaan Kerja

                Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang  dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya Jaminan Kecelakaan Kerja, mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacatnya maka Jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadi cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi.

(b). Jaminan Kematian
                Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya meringankan beban keluarga dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang

(c). Jaminan Hari Tua
                Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tersebut.

(d). Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
                Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif).
                Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya.

                Sebelum tahun 2014, penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara, Badan Usaha Milik Negara yakni PT. Jamsostek (Persero) melalui Peraturan Pemerintah No.36/1995 .
                Pada tanggal 1 Januari 2014 berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. PT Jamsostek (Persero) akan berubah menjadi Badan Hukum Publik, dan berubah nama menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan . BPJS Ketenagakerjaan diharapkan dapat beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015 (pasal 64 UU 24/2011). Berdasarkan pasal 62, BPJS Ketenagakerjaan tetap menjalankan fungsi dan operasionalnya untuk program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian serta memiliki asset dan liablitas serta hak dan kewajiban PT.Jamsostek (Persero). Untuk memperdalam tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pembaca diharapkan membaca mandiri Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 karena pada tulisan ini, Penulis hanya memaparkan secara singkat mengenai peranan BPJS Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja di industri minyak dan gas bumi Indonesia.

                BPJS Ketenagakerjaan memiliki hak dan kewajiban sebagaimana termaktub dalam UU 24/2011 pasal 12 dan pasal 13, yakni;

hak daripada BPJS ialah :

(a). memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

(b). memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaran program Jaminan Sosia dari DJSN, (Dewan Jaminan Sosial Nasional-pen) setiap 6 (enam) bulan.

sedangkan kewajiban BPJS, beberapa diantaranya yakni:

(a). memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta

(b). memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan kewajibannya

(c). memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya

(d). melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keungan, secara berkala 6(enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN, Dewan Jaminan Sosial Nasional.

                Salah satu Peserta BPJS ialah pemberi kerja berikut pekerjanya. Definisi yang diberikan Undang-Undang tentang Pemberi Kerja adalah orang perseorangan,  pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang  mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara  negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk  lainnya, sedangkan definisi daripada Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan  menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
                Undang-Undang ini mengamanatkan kalau pemberi kerja secara bertahap ‘wajib’ mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya serta anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Menurut Pasal 17 UU 24/2011, Pemberi Kerja yang tidak mendaftarkan pekerja berikut anggota keluarganya, maka pemberi kerja tersebut akan dikenakan sanksi administratif berupa: (a). teguran tertulis; (b). denda; (c). tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu. Untuk pembayaran iuran bagi pekerja, pemberi kerja ‘wajib’ memungut iuran yang menjadi beban pekerja dan menyetorkannya kepada BPJS. Jika pemberi kerja tidak melaksanakannya, maka ia dapat diancam pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu miliar rupiah).
                Tata cara pemberian sanksi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggara Jaminan Sosial, selanjutnya disebut PP 86/2013. Salah satu sanksi dalam PP 86/2013 yang sangat tegas ialah sanksi tidak mendapat pelayanan public milsanya:

(a). perizinan terkait usaha;

(b). izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek;

(c). izin memperkerjakan tenaga kerja asing;

(d). izin perusahan penyedia jasa pekerja/buruh;

(e). izin mendirian bangunan (IMB)

                Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.
                Kini dengan system penyelenggaraan yang semakin maju, program BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha saja, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.


Isu Utama berkenaan dengan BPJS Ketenagakerjaan serta Upaya Menghadapinya

                Jika kita cermati penjelasan diatas, peran pemerintah sudah sangat baik dalam memberikan dan memfasiltasi tenaga kerja di seluruh Indonesia, apabila BPJS Ketenagakerjaan tersebut benar-benar dapat diaplikasikan dengan baik. Tetapi fakta di lapangan ada masalah utama yakni:
                Sampai detik ini pemerintah belum mengeluarkan peraturan tambahan berupa petunjuk teknis pelaksanaan BPJS. Padahal peraturan tentang petunjuk teknis ini sangat penting. Bahkan menurut saya bagi para pelaksana dan pengguna layanan, fungsi peraturan ini lebih krusial daripada fungsi undang-undangnya. Para pelaksana dan pengguna layanan sangat membutuhkan petunjuk teknis untuk mengimplemntasikan apa yang telah diperintahkan dalam undang-undang. Untuk hal ini seharusnya pemerintah cepat menjelaskan bagaimana teknis pelaksanaan BPJS ini.
                Dengan keterlambatan pembuatan peraturan tentang petunjuk teknis pelaksanaan ini, akhirnya berimbas pada keterlambatan pihak penyedia layanan dalam melaksanakan sosialisasi tentang petunjuk teknis pelaksanaan BPJS ini. pihak perusahaan mengalami kesulitan dalam melakukan pendaftaran peserta. Form yang harus diisi banyak dan berbelit-belit (seperti semua form di Indonesia pada umumnya), berkas syarat juga bermacam-macam (seperti persyaratan berkas kelengkapan di Indonesia pada umumnya), ditambah dengan waktu pengumpulan yang sangat sempit. Kalau perusahaan yang jumlah karyawannya hanya puluhan mungkin tidak ada kendala berarti. Bayangkan perusahaan yang karyawannya ribuan. Seharusnya pemerintah membenahi dulu sektor ini karena ide pemerintah yang sebenarnya sangat brilian, menggabungkan beberapa asuransi bentukan pemerintah menjadi satu wadah yaitu BPJS agar makin efektif pelaksanaannya. Sayangnya ide brilian ini tidak didukung dengan kesiapan para pihak pelaksananya.
                Ada pula lima tren global yang harus dipersiapkan untuk membuat regulasi terkait pelaksanaan penyelenggaraan jaminan sosial. Ada banyak perubahan yang terjadi dan harus disesuaikan sesuai konteks zaman. Serta ada juga tantangan diluar lima tren global tersebut.
                Pertama, faktor perubahan demografis. Kekinian, usia hidup orang semakin panjang. Jika hal ini tidak disikapi dengan baik maka keberlangsungan angkatan kerja semakin lama semakin menurun.  Ini juga berdampak pada keberlangsungan pembayaran pensiun. Upaya menghadiapi masalah ini dengan mengatur agar usia pensiun pekerja diundur kira-kira sebesar lima tahun.
                Kedua, faktor perubahan iklim. Cuaca akhir-akhir ini sulit diramalkan. Bencana alam seperti badai dan topan kerap terjadi di luar prediksi manusia. Kejadian ini akan berdampak pada besaran klaim. Klaim kecelakaan dan lainnya harus diantisipasi.
                Ketiga, faktor migrasi antar-negara. Era kini ditandai dengan globalisasi yang membuka sekat batas antar wilayah negara. Banyak pekerja datang dari belahan bumi lain di Indonesia. Bahkan, pemain sepakbola pun harus didatangkan dari luar negeri. Hal ini harus dicermati bagaimana tenagakerja yang melimpah dapat diperhatikan oleh penyedia layanan.
                Keempat, masuknya kaum wanita dalam sektor kerja. Para wanita selaiknya diberi afirmasi kebijakan dengan memberikan benefit yang berbeda daripada pekerja pria. Misalkan memberi mereka libur saat hamil serta saat haid di hari pertama.
                Kelima, semakin dibatasinya jumlah penduduk. Kebijakan keluarga berencana, misalnya, akan berimplikasi terhadap angkatan kerja yang di masa depan menjadi terbatas. Berarti, potensi pembayar iuran akan semakin kecil dibandingkan dengan uang pensiunannya. Kelima fenomena di atas harus diatasi dipertimbangkan saat BPJS dan seluruh stakeholder menyusun regulasi yang akan diterapkan.
                Juga masalah terkait pembayaran iuran untuk masing-masing program baik itu dalam hal ketenagakerjaan. Untuk BPJS Ketenagakerjaan, pengusaha akan menjadi obyek dari program ini karena adanya tambahan beban keuangan. Berbeda dengan jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan masih belum ada gambaran yang jelas terkait besaran dana pensiun yang akan dikelola oleh PT Jamsostek. Hal yang terkait berapa iuran yang akan dibayarkan pengusaha, pekerja maupun pemerintah belum jelas besarannya.
                Selain masalah-masalah tersebut, seluruh stakeholder juga harus memperhatikan semakin membesarnya sektor informal di Indonesia. Ini ciri utama BPJS Ketengarakerjaan dibandingkan dengan Jamsostek. Satu dari sekian perbedaan utama adalah pekerja informal atau mereka yang tidak terafiliasi dengan lembaga swasta atau lembaga negara juga dapat menjadi peserta.
                Sebagai contoh, nelayan yang selama ini tidak memiliki program jaminan kecelakaan kerja saat melaut dapat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Apabila dia tewas karena tergulung ombak saat bekerja, sang nelayan sebagai peserta jaminan sosial bisa memperoleh santunan. Begitu pula dengan petani, kuli bangunan, penarik becak, asisten rumah tangga hingga pedagang bakso keliling. Mereka yang selama ini bekerja keras dan berkontribusi dalam perekonomian nasional seringkali terabaikan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
                Kepesertaan pekerja informal itu menjadi menarik sebagai sebuah harapan dan cita-cita karena seluruh warga-pekerja Indonesia bakal memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan seperti yang diarahkan oleh UU No.24/2011 tentang BPJS. Mengacu kepada data Badan Pusat Statistik per Agustus 2013, jumlah pekerja informal ini sangat banyak yakni mencapai 66 juta jiwa atau lebih dari separuh (59,58%) dari jumlah tenaga kerja di Indonesia sebanyak 114 juta orang. pemerintah ingin memenuhi keinginan rakyat melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang tercakup dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diundangkan pada 2004.
                Seringkali kita mendengar keinginan dan harapan rakyat agar mereka mendapat perlindungan atas risiko ekonomi, baik karena sakit, kecelakaan kerja, memasuki hari tua, dan pensiun. Melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional inilah keinginan dan harapan rakyat dapat kita seharusnya dapat terpenuhi. Mereka juga harus dicover oleh pihak terkait dalam implementasi jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Harus ada upaya untuk melakukan konversi dari sektor informal menjadi formal. Formalisasi ini bisa dibentuk dengan mengubah pola kerja individual menjadi kolektif. Petani dan nelayan yang biasa bekerja individual, misalnya, agar membentuk paguyuban. Setelah ada paguyuban sektor informal tersebut, Jamsostek kemudian akan melakukan sosialisasi agar organisasi tersebut membentuk koperasi. Melalui koperasi itulah Jamsostek bisa masuk melakukan pendataan dan proses untuk mengurus jaminan sosial bagi mereka.
                Di balik semua target dan ambisi pemerintah, tantangan BPJS Ketenagakerjaan tidak mudah apalagi mengingat sejarah Jamsostek yang kerap mendapat sinisme dari pekerja formal, memiliki sejumlah masalah kepesertaan dan pelayanan hingga tersandung persoalan korupsi.
                Jadi, ide pemerintah sudah sangat baik dalam memberikan dan memfasiltasi tenaga kerja di seluruh Indonesia, namun peran Pemerintah sebagai penyedia layanan harus ditingkatkan lagi demi memaksimalkan program yang sebenarnya bila dapat diimplementasikan dengan baik akan menghasilkan output yang baik ini. Akhir kata, tanpa tenaga kerja yang sehat dan sejahtera serta diperhatikan oleh pemerintah, Indonesia akan berkurang pemasukannya, baik penghasilan bagi perusahaan maupun bagi Indonesia.


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Ketenagakerjaan
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/19/bpjs-antara-mimpi-pemerintah-dan-fakta-lapangan-617847.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar