Muhammad Haekal
170110130091
Administrasi Negara (A)
Ambil Alih Freeport untuk Memulihkan Kedaulatan Bangsa
Rupanya,
Freeport tidak juga puas ‘melecehkan’ kedaulatan bangsa kita. Setelah
sebelumnya berhasil melobi pemerintah untuk menunda berlakunya larangan ekspor
mineral mentah, kini mereka keberatan dengan aturan soal Bea Keluar Mineral.
Kamis (30/1/2013) kemarin, Vice
Chairman Freeport McMoran Richard C. Adkerson tiba-tiba mengunjungi Indonesia.
Kedatangan Bos Besar Freeport itu membawa misi besar: untuk melobi pemerintah
agar melonggarkan aturan bea ekspor mineral bagi perusahaannya.
Tidak tanggung-tanggung, untuk
mencapai keinginan perusahaannya, Richard C. Adkerson menyambangi empat
Menteri yang berurusan dengan ekspor mineral, yakni Menteri Perindustrian MS
Hidayat, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, dan
Menteri ESDM Jero Wacik.
Kita tidak tahu apa inti pembicaraan
antara Adkeson dan keempat pejabat Menteri Indonesia itu. Namun, informasi dari
sejumlah media menyebutkan, pemerintah tetap berpegang pada aturan yang ada.
Artinya, lobi bos Freeport itu belum berhasil. Akan tetapi, kita tidak tahu apa
yang menjadi kesepakatan mereka di balik pintu. Jangan-jangan ada kompensasi
atau insentif terselubung. Entahlah.
Namun, apa yang menarik diulas di
sini adalah langkah Freeport untuk menjegal setiap regulasi di Indonesia. Dan
ini sudah berulang-kali dilakukan. Ironisnya, pemerintah seolah tidak berdaya
di hadapan Freeport. Malahan, seperti dikatakan banyak orang, pemerintah kita
tak ubahnya “jongos” di hadapan korporasi asal Amerika Serikat itu.
Sudah hampir setengah abad Freeport
mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua. Selama itu pula mereka mengeruk
jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas. Menurut catatan Human Right
For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari mencapai Rp
114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar
589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun.
Namun, di balik keuntungan yang
spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak mendapat manfaat apapun. Rakyat
kita di Papua sana, yang notabene berada di sekitar pertambangan Freeport, juga
tidak mendapat efek keuntungan yang menetes. Sebagian besar rakyat Papua masih
hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan tetap melekat pada rakyat
Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak henti-hentinya berhembus di Papua.
Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntungan yang
menetes, rakyat Papua justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu
serakah Freeport untuk mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi
Papua. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan oleh
militer Indonesia, yang notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di tanah
Papua. Tak hanya itu, rakyat Papua juga merasak dampak kerusakan ekologis yang
sifatnya jangka-panjang.
Kontribusi Freeport untuk penerimaan negara juga
nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima royalti emas 1% dan
royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport juga sering membandel
untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah
Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya
menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar. (Sumber: www.merdeka.com)
Karena itu, pada tahun 2011,
menyeruak desakan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya dengan Freeport.
Belakangan, bak gayung bersambut, Presiden SBY mememulai rencana politiknya
untuk melakukan renegosisasi kontrak karya dengan sejumlah perusahaan tambang
asing, termasuk Freeport. Sebagai langkah politik, Presiden SBY menerbitkan
Kepres Nomor 3 tahun 2012 tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk Penyesuaian
Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Pada kenyataannya, Freeport melawan.
“Kami dilindungi kontrak karya, bukan hukum (UU) pertambangan yang baru,” kata
bos Freeport Richard Adkerson. Tak hanya menentang, Freeport juga menggertak
Indonesia dengan ancaman akan membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional jika
pemerintah Indonesia tetap ngotot. Tak hanya itu, pemerintah AS melalui Duta
Besarnya di Jakarta, Scot Marcie, juga mendesak agar rencana renegosiasi itu
tidak dilanjutkan.
Gertakan Freeport itu ternyata
berhasil membuat pemerintah, termasuk Presiden SBY, menjadi keder. Hingga detik
ini, pemerintah Indonesia belum berhasil membawa PT. Freeport duduk di meja
renegosiasi. Agenda renegosiasi kontrak karya dengan Freeport pun kandas di
tengah jalan. Padahal, apa yang dituntut pemerintah Indonesia di meja
renegosiasi itu terbilang sangat moderat.
Kemudian, pada bulan Mei 2013 lalu,
kecelakaan besar terjadi area tambang Freeport di Timika, Papua. Sebanyak 38
pekerja tertimbun di dalam reruntuhan. Kecelakaan itu menyebabkan 25 pekerja tewas,
5 luka berat, dan 5 luka ringan. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim dua
orang Menteri, yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar
dan Menteri ESDM Jero Wacik, untuk melakukan investigasi. Yang sangat ironis,
dua pejabat Indonesia itu ditolak mentah-mentah oleh Freeport.
Sekarang, kasus yang terbaru adalah
soal larangan ekspor mineral mentah. Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah
mengesahkan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, yang salah satu pasalnya
mengatur larangan ekspor mineral mentah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah
memberi toleransi waktu selama 5 tahun kepada perusahaan tambang, termasuk
Freeport, untuk membangun pabrik pemurnian (Smelter). Sebuah toleransi waktu
yang sangat panjang.
Ironisnya, menjelang batas akhir toleransi
waktu itu, yakni tanggal 12 Januari 2014, Freeport–bersama rekannya
Newmont–belum juga membangun smelter. Beberapa saat menjelang larangan ekspor
mineral itu berlaku efektif, Freeport dan Newmont melancarkan perlawanan dan
gertakan. Freeport mengancam akan memecat 100.000 pekerjanya. Sementara Newmont
mengancam akan memecat 30.000 karyawannya.
Pemerintah kembali keder. Beberapa
jam sebelum batas akhir toleransi waktu, pemerintah merevisi sendiri aturan
yang dibuatnya, yakni PP nomor 23 tahun 2010 dan Permen ESDM Nomor 7 tahun
2012, untuk memberi celah kepada Freeport agar tetap boleh melakukan ekspor
mineral mentah dalam bentuk konsentrat.
Ironisnya, kelonggaran itu hanya
berlaku untuk Freeport dan Newmont. Sementara untuk perusahaan pengekspor timah
dan bauksit, termasuk BUMN ( PT. Aneka Tambang TBK), tidak ada kelonggaran.
Begitu juga dengan para pemilik IUP yang baru beberapa tahun terakhir memulai
operasinya di tanah-air.
Di sini ada beberapa catatan yang
bisa kita ambil. Pertama, pemerintah Indonesia tidak ubahnya “jongos” di
hadapan Freeport. Pemerintah RI lebih tunduk kepada tuntutan Freeport ketimbang
kepada hukum nasional. Buktinya, pemerintah tidak segan-segan mengoreksi UU
yang dibuatnya sendiri jika aturan tersebut dirasakan oleh Freeport sangat
merugikan kepentingannya.
Kedua, Freeport sama sekali tidak
menghargai kedaulatan politik Indonesia sebagai negara merdeka, yang punya
otoritas penuh untuk menjalankan konstitusinya dan menyelenggarakan peraturan
di setiap jengkal tanah-airnya. Atas nama azas “kesucian kontrak”, Freeport
menginjak-injak kedaulatan bangsa ini.
Selama hampir setengah abad Freeport
bukan hanya menjarah kekayaan alam bangsa kita, tetapi juga menginjak-injak
martabat dan kedaulatan bangsa kita. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan
mereka untuk mengubah kekuasaan politik di Indonesia, sejak jaman Orde Baru
hingga sekarang ini, sekedar sebagai “jongos” mereka.
Karena itu, sebagai jalan memulihkan
martabat dan kedaulatan bangsa kita, harus rakyat sendiri yang bertindak. Rakyat
Indonesia, yang notabene pemilik sah kekayaan alam negeri ini, harus membangun
gerakan massa untuk mengambil-alih PT. Freeport.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20140131/ambil-alih-freeport-untuk-memulihkan-kedaulatan-bangsa.html#ixzz3FL3sJFZx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar