Raras Citra Anggraeni
170110130089 / AN – A
ISU YANG MENGANCAM KEDAULATAN RAKYAT : Regenerasi
Kepemimpinan Terancam Berhenti Akibat RUU Pilkada Disahkan.
Isu mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada)
sedang hangat diperbincangkan karena sebagian besar anggota DPR RI menginginkan
pemilihan tersebut dilakukan di DPRD. Sebelumnya cara pemilihan seperti
demikian pernah dilakukan pada era Orde Baru. Ini adalah alasan mengapa banyak
rakyat yang menentang cara pemilihan seperti itu karena rakyat menganggap bahwa
era reformasi yang ditandai adanya pembaharuan kekuasaan, dari sentralistik di
pemerintah pusat menjadi otonomi daerah terfokus di daerah tingkat dua,
kabupaten dan kota seakan sia-sia.
Pengesahan RUU Pilkada dalam sidang paripurna DPR
pada tanggal 26 September 2014 mengecewakan semua kalangan masyarakat. Kini
masyarakat hanya bisa berteriak ketika hak politik mereka dalam memilih
pemimpin daerahnya “dimatikan’. Banyak pula pihak yang menilai tanpa Pilkada
langsung, negeri ini tak akan menemukan pemimpin hebat yang belakangan mulai
muncul dan memimpin karena kehendak dari rakyat sendiri.
Berikut adalah rincian persoalan krusial dalam RUU
Pilkada yang dibawa ke siding paripurna sebelum akhirnya RUU Pilkada tersebut
disahkan :
1. Pilkada langsung atau melalui DPRD
Persoalan ini muncul lantaran Pilkada langsung
dianggap penuh dengan praktik politik uang hingga berujung pada banyaknya
kepala daerah yang berperkara hokum, pemerintah pun mengajukan draf pemilihan
gubernur dilakukan melalui DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
Sementara untuk pemilihan bupati dan walikota, pemerintah mengajukan usulan
pilkada langsung tetap dipertahankan.
2. Pemilihan paket atau tunggal
Perdebatan antrafraksi tak hanya sebatas pelaksanaan
pilkada lansung atau melalui DPRD, tetapi juga soal pilkada satu paket (memilih
kepala daerah dan wakilnya bersamaan atau pemilihan wakil kepala daerah melalui
penunjukan). Pemerintah menjaukan opsi wakil ditunjuk langsung oleh kepala
daerah terpilih, dengan latar wakil itu dari PNS, professional atau partai
politik. Nama itu kemudian diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
disetujui.
3. Pilkada serentak atau tidak
Awalnya pemerintah memberikan usul untuk
melaksanakan pilkada yang dilakukan secara serentak pada 2015 dan 2018. Pada
2015 adalah pilkada tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan walikota
yang masa jabatannya berakhir pada tahun tersebut. Pada 2018 adalah pilkada
tahap kedua bagi seluruh gubernur, bupati dan walikota yang masa jabatannya
berakhir pada tahun 2016, 2017 dan 2018.
4. Politik dinasti
Pemerintah mengusulkan agar pencalonan kepala daerah
ataupun wakil kepala daerah dilakukan dengan membatasi hubungan kekeluargaan.
5. Pilkada satu putaran
Pemerintah mengusulkan perlu diadakannya pilkada
satu putaran yang bertujuan untuk menekan biaya mahal pilkada. Dan
pemenang pilkada adalah peraih suara
terbanyak, berapapun jumlah presentasinya, dalam satu putaran saja.
6. Uji Publik
Uji publik ini adalah hal baru daram RUU Pilkada dan
uji publik ini dilakukan untuk menyeleksi calon kepala daerah sebelum diajukan
oleh partai politik.
7. Penghapusan PPS dan PPK
Pemerintah mengusulkan untuk melakukan pemotongan
jalur birokrasi rekapitulasi suara. Pemotongan prosdur rekapitulasi suara juga
dilakukan untuk memangkas ruang-ruang transaksi manipulasi hasil perhitungan
suara.
Seharusnya
pilkada ini tetap menggunakan sistem langsung mengingat kalau kedaulatan
tertinggi berada ditangan rakyat. Ditambah lagi apabila pilkada langsung tetap
dilakukan maka siapapun yang memimpin nantinya lebih mengerti apa yang
diinginkan ataupun dibutuhkan oleh rakyat karena ia sendiri yang diberikan
amanat oleh rakyat untuk memimpin. Dan sebelum rakyat berhubungan langsung
dengan presiden, maka yang akan berhubungan dengan rakyat yaitu para kepala
daerah. Apa jadinya bila rakyat tidak mengenal kepala daerahnya sendiri
lantaran kepala daerah terpilih tersebut didapat dari hasil pilkada yang
dilakukan oleh DPRD.
Dan
apabila sistem pilkada diubah maka kemungkinan berhentinya regenerasi
kepemimpinan di negeri ini semakin besar karena ke depannya kepala daerah
dipilih oleh hanya para pengisi kursi parlemen yang belum tentu paham dengan
apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh rakyat di negeri ini.
Mungkin
memang terjadi manipulasi suara pada saat pilkada berlangsung, namun apabila
pilkada ini diserahkan ditangan DPR, kemungkinan besar yang terjadi adalah
pemenang dalam pilkada tersebut adalah orang-orang yang berasal dari
golongannya sendiri. Belum lagi rakyat tidak mengetahui jelas bagaimana
mekanisme pilkada yang dilakukan oleh DPRD dan itu jelas-jelas bertentangan
dengan nilai transparansi yang seharusnya didapatkan oleh rakyat.
Lagipula
dengan tetap diadakannya pilkada langsung yang dilakukan secara bertahap akan
mempercepat proses menumbuhkan akuntabilitas kepemimpinan terbuka dan juga
membuka ruang untuk partisipasi politik yang baik juga. Pengesahan RUU Pilkada
ini juga mengembalikan demokrasi ke arah oligarkis. Semoga dalam waktu dekat
pemerintah melakukan pengkajian ulang terhadap UU Pilkada yang telah disahkan
tersebut dan semoga saja kedaulatan rakyat dapat dikembalikan dalam waktu dekat
dengan meniadakan pilkada yang dilakukan oleh DPRD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar