Minggu, 05 Oktober 2014

ISU YANG MENGANCAM KEDAULATAN RAKYAT: Regenerasi Kepemimpinan Terancam Berhenti Akibat RUU Pilkada Disahkan.

Raras Citra Anggraeni
170110130089 / AN – A


ISU YANG MENGANCAM KEDAULATAN RAKYAT : Regenerasi Kepemimpinan Terancam Berhenti Akibat RUU Pilkada Disahkan.

Isu mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada) sedang hangat diperbincangkan karena sebagian besar anggota DPR RI menginginkan pemilihan tersebut dilakukan di DPRD. Sebelumnya cara pemilihan seperti demikian pernah dilakukan pada era Orde Baru. Ini adalah alasan mengapa banyak rakyat yang menentang cara pemilihan seperti itu karena rakyat menganggap bahwa era reformasi yang ditandai adanya pembaharuan kekuasaan, dari sentralistik di pemerintah pusat menjadi otonomi daerah terfokus di daerah tingkat dua, kabupaten dan kota seakan sia-sia.
Pengesahan RUU Pilkada dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 26 September 2014 mengecewakan semua kalangan masyarakat. Kini masyarakat hanya bisa berteriak ketika hak politik mereka dalam memilih pemimpin daerahnya “dimatikan’. Banyak pula pihak yang menilai tanpa Pilkada langsung, negeri ini tak akan menemukan pemimpin hebat yang belakangan mulai muncul dan memimpin karena kehendak dari rakyat sendiri.
Berikut adalah rincian persoalan krusial dalam RUU Pilkada yang dibawa ke siding paripurna sebelum akhirnya RUU Pilkada tersebut disahkan :

1.      Pilkada langsung atau melalui DPRD
Persoalan ini muncul lantaran Pilkada langsung dianggap penuh dengan praktik politik uang hingga berujung pada banyaknya kepala daerah yang berperkara hokum, pemerintah pun mengajukan draf pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Sementara untuk pemilihan bupati dan walikota, pemerintah mengajukan usulan pilkada langsung tetap dipertahankan.


2.      Pemilihan paket atau tunggal
Perdebatan antrafraksi tak hanya sebatas pelaksanaan pilkada lansung atau melalui DPRD, tetapi juga soal pilkada satu paket (memilih kepala daerah dan wakilnya bersamaan atau pemilihan wakil kepala daerah melalui penunjukan). Pemerintah menjaukan opsi wakil ditunjuk langsung oleh kepala daerah terpilih, dengan latar wakil itu dari PNS, professional atau partai politik. Nama itu kemudian diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk disetujui.

3.      Pilkada serentak atau tidak
Awalnya pemerintah memberikan usul untuk melaksanakan pilkada yang dilakukan secara serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015 adalah pilkada tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun tersebut. Pada 2018 adalah pilkada tahap kedua bagi seluruh gubernur, bupati dan walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2016, 2017 dan 2018.

4.      Politik dinasti
Pemerintah mengusulkan agar pencalonan kepala daerah ataupun wakil kepala daerah dilakukan dengan membatasi hubungan kekeluargaan.

5.      Pilkada satu putaran
Pemerintah mengusulkan perlu diadakannya pilkada satu putaran yang bertujuan untuk menekan biaya mahal pilkada. Dan pemenang  pilkada adalah peraih suara terbanyak, berapapun jumlah presentasinya, dalam satu putaran saja.

6.      Uji Publik
Uji publik ini adalah hal baru daram RUU Pilkada dan uji publik ini dilakukan untuk menyeleksi calon kepala daerah sebelum diajukan oleh partai politik.

7.      Penghapusan PPS dan PPK
Pemerintah mengusulkan untuk melakukan pemotongan jalur birokrasi rekapitulasi suara. Pemotongan prosdur rekapitulasi suara juga dilakukan untuk memangkas ruang-ruang transaksi manipulasi hasil perhitungan suara.


Seharusnya pilkada ini tetap menggunakan sistem langsung mengingat kalau kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Ditambah lagi apabila pilkada langsung tetap dilakukan maka siapapun yang memimpin nantinya lebih mengerti apa yang diinginkan ataupun dibutuhkan oleh rakyat karena ia sendiri yang diberikan amanat oleh rakyat untuk memimpin. Dan sebelum rakyat berhubungan langsung dengan presiden, maka yang akan berhubungan dengan rakyat yaitu para kepala daerah. Apa jadinya bila rakyat tidak mengenal kepala daerahnya sendiri lantaran kepala daerah terpilih tersebut didapat dari hasil pilkada yang dilakukan oleh DPRD.
Dan apabila sistem pilkada diubah maka kemungkinan berhentinya regenerasi kepemimpinan di negeri ini semakin besar karena ke depannya kepala daerah dipilih oleh hanya para pengisi kursi parlemen yang belum tentu paham dengan apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh rakyat di negeri ini.
Mungkin memang terjadi manipulasi suara pada saat pilkada berlangsung, namun apabila pilkada ini diserahkan ditangan DPR, kemungkinan besar yang terjadi adalah pemenang dalam pilkada tersebut adalah orang-orang yang berasal dari golongannya sendiri. Belum lagi rakyat tidak mengetahui jelas bagaimana mekanisme pilkada yang dilakukan oleh DPRD dan itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai transparansi yang seharusnya didapatkan oleh rakyat.

Lagipula dengan tetap diadakannya pilkada langsung yang dilakukan secara bertahap akan mempercepat proses menumbuhkan akuntabilitas kepemimpinan terbuka dan juga membuka ruang untuk partisipasi politik yang baik juga. Pengesahan RUU Pilkada ini juga mengembalikan demokrasi ke arah oligarkis. Semoga dalam waktu dekat pemerintah melakukan pengkajian ulang terhadap UU Pilkada yang telah disahkan tersebut dan semoga saja kedaulatan rakyat dapat dikembalikan dalam waktu dekat dengan meniadakan pilkada yang dilakukan oleh DPRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar