TUGAS MATA KULIAH
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA
Isu yang Mengancam Kedaulatan Rakyat
“ Korupsi Merampas Kedaulatan Rakyat”
Oleh:
|
Nina Marlina
|
170110130031
|
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
“Korupsi
Merampas Kedaulatan Rakyat”
A. Pengantar
Istilah
kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan
berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Menurut Jeans
Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini
sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada
satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli
berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain.
Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa
terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat
berganti atau meninggal dunia,
tetapi
negara dengan kekuasaanya berlangsungterus tanpa terputus-putus.
Kedaulatan
atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai
atribut negara sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity
itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri (Dahlan Thaib, 1989: 9).
Perkataan sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan
Souvereneteit (bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. Jadi secara umum,
kedaulatan atau sovereignity itu diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara yang mempunyai wewenang untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Kedaulatan
rakyat mengandung arti, bahwa yang terbaik dalam masyarakat ialah yang dianggap
baik oleh semua orang yang merupakan rakyat. Pengertian kedaulatan itu sendiri
adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya
dengan semua cara yang tersedia. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat membawa
konsekuensi, bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Kedaulatan
rakyat berarti juga, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemerintahan dari rakyat berarti mereka yang duduk sebagai penyelenggaraan
pemerintahan terdiri atas rakyat itu sendiri dan memperoleh dukungan rakyat.
Pemerintahan oleh rakyat mengandung pengertian, bahwa pemerintahan yang ada
diselenggarakan dan dilakukan oleh rakyat sendiri baik melalui demokrasi
langsung maupun demokrasi Pendidikan.
Adanya pemilihan
umum guna memilih calon pemimpin pusat dan daerah menunjukkan keterlibatan
rakyat membentuk pemerintahan sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat
melalui pemilihan umum. Pemerintahan untuk rakyat artinya pemerintahan yang
dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat.
Pelaksanaan
prinsip kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui demokrasi langsung maupun
demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung bercirikan rakyat mengambil bagian
secara pribadi dalam tindakan-tindakan dan pemberian suara untuk membahas dan
mengesahkan undang-undang. Sedangkan demokrasi perwakilan, rakyat memilih warga
lainnya sebagai wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat untuk membahas
dan mengesahkan undang-undang.
Kedaulatan
rakyat merupakan penjabaran aplikasi UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian diubah pada saat perubahan ketiga
UUD 1945 sehingga rumusannya menjadi“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. MPR yang pada mulanya dipahami
sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau pemegang kedaulatan rakyat
yang tertinggi, bergeser ke arah pemahaman bahwa MPR tidak lagi sebagai
pemegang mandat tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, mandat rakyat dijalankan oleh
cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD, termasuk oleh MPR sebagai salah
satu lembaga penyelenggara kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut Jimly
Asshiddiqie dikarenakan rumusan Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan memuat
ketentuan yang tidak jelas, dengan adanya ungkapan “…dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis PermusyawaratanRakyat” maka ada yang menafsirkan bahwa hanya
MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil
rakyat dipandang tidak melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukan terjadinya perubahan gagasan yang
begitu mendasar tentang kedaulatan rakyat dalam UUD 1945.
Namun
apakah kedaulatan memang sudah sepenuhnya ada ditangan rakyat? Tentu belum,
masih banyak problematika yang dihadapi oleh bangsa yang dapat mengancam
kedaulatan rakyat, salah satunya adalah korupsi.
Menurut
perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
mtersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi.
Berdasarkan
sumber dari kppu.go.id bahwa tercatat banyak sekali pejabat pemerintah dan
pejabat partai politik yang terjerat kasus korupsi. Dalam hal ini saya
mengangkat kasus korupsi Hambalang oleh Anas Urbaningrum mantan ketua umum
partai demokrat.
Awalnya
Juru Bicara KPK, Johan Budi menjelaskan bahwa Anas diduga menerima gratifikasi
terkait proyek pembangunan pusat pendidikan, pelatihan dan sekolah olahraga
nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat ketika menjabat sebagai anggota
DPR. KPK kemudian menemukan dua bukti yang cukup untuk menetapkan Anas sebagai
tersangka korupsi dalam program itu. Anas berstatus tersangka sejak Jumat 22
Februari 2013. Dalam penetapannya sebagai tersangka, Anas diduga menerima
sebuah mobil Toyota Harrier dari perusahaan kontraktor proyek Sport Center Hambalang.
Keterlibatan
Anas dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang pertama kali diungkapkan oleh
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad
Nazaruddin yang tersandung kasus Wisma Atlet. Nazaruddin berkali-kali
mengungkapkan bahwa Anas telah menerima
Toyota Harrier dari PT Adhi Karya, BUMN pemenang tender proyek Hambalang.
Nazaruddin juga menuding adanya aliran dana Rp100 milliar dari proyek Hambalang
untuk memenangkan Anas sebagai Ketua Umum Demokrat dalam kongres di Bandung
pada Mei 2010.
Dalam
kasus korupsi Hambalang, KPK menetapkan dua tersangka yakni Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng
dan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar. Dan
berdasarkan beberapa tahapan pengumpulan bukti oleh KPK dan Anas dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus
korupsi Hambalang atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang kemudian
menjatuhkan vonis penjara delapan tahun ditambah denda Rp 300 juta subsider
tiga bulan kurungan. Hakim juga meminta Anas membayar uang pengganti sekitar Rp
57,5 miliar dan 5,2 juta dollar AS. Putusan majelis hakim Tipikor atas perkara
Anas jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, tim jaksa KPK menuntut
Anas dihukum 15 tahun penjara. Jaksa juga menuntut Anas untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dollar AS.
Menurut majelis hakim, Anas terbukti melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsider, yakni Pasal 11 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Dia dinyatakan
terbukti menerima pemberian hadiah atau janji yang patut diduga jika pemberian
itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan
Anas. Hadiah yang diterima Anas di antaranya uang Rp 2,2 miliar dari Adhi
Karya, Rp 25,3 miliar dan 36.000 dollar AS dari Grup Permai, serta penerimaan
lainnya berupa Toyota Harrier, Vellfire, dan fasilitas berupa survei pencalonan
Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dari Lingkaran Survei Indonesia.
Hakim menilai Anas memiliki pengaruh dalam mengatur
proyek APBN mengingat jabatannya sebagai Ketua DPP Partai Demokrat bidang
politik pada 2005. Pengaruh Anas ini semakin besar setelah dia terpilih sebagai
anggota DPR dan ditunjuk sebagai ketua fraksi. Hakim juga menyatakan bahwa Anas
terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kedua
yang memuat Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Majelis Hakim Tipikor menolak tuntutan jaksa KPK untuk
mencabut hak politik Anas. Menurut hakim, penilaian mengenai layak atau
tidaknya seseorang dipilih dalam jabatan publik merupakan kewenangan publik.
Putusan Anas ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dua hakim ad
hoc. Dua hakim tersebut menilai KPK tidak berwenang menuntut pencucian uang
sehingga menganggap Anas sedianya dibebaskan dari tuntutan pencucian uang.
Korupsi
telah dijelaskan dalam paparan pengantar diatas bahwa korupsi merupakan
tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh siapapun apalagi dilakukan oleh
oknum elit politik partai yang sedang berkuasa, ini merupakan hal yang sangat
merusak kedaulatan rakyat, menurut definisi dan konsep kedaulatan rakyat bahwa
rakyatlah yang memiliki kekuasaan dan kekuasaan tertinggi berada ditangan
rakyat yang salah satu relalisasinya memalui pemilu yang merupakan gerbang awal
para wakil rakyat untuk mendapatkan dukungan rakyat dalam menjalanan tugas
untuk meemenuhi apa yang diinginkan rakyat, kemudian rakyat memberikan amanah
dan keeprcayaan kepada wakil rakyat terpilih untuk menjalankan amanah rakyat,
tapi ternyata ada beberapa wakil rakyat yang melanggar amanah rakyat itu, salah
satu kasusnya yakni korupsi, dalam bentuk apapaun korupsi tetap saja namanya
korupsi, dalam kasus ini, Anas menerima semacam hadiah berupa barang dari
proyek pembangunan center sport di Hambalang.
Dan
ini mencerminkan bahwa dia telah melanggar janjinya sebagai wakil rakyat
sekaligus telah melanggar kode etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
pasal 11 yang isinya menegaskan bahwa “Anggota dilarang menerima imbalan atau
hadiah dari pihak lain sesuai peraturan perundang-undangan”.
Dengan
maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para elit-elit politik dan pejabat
negara, mengakibatkan kepercayaan rakyat semakin berkurang, pada saat pemilu
banyaknya suara yang golput merupakan aksi pelampiasan kekesalan rakyat yang
sudah lelah dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para wakil
rakyat.
v Saran: Seharusnya dalam
keadaan sadar ataupun tidak, wakil rakyat tidak harus melakukan hal tersebut,
karena hal tersebut melanggar hukum dan merugikan rakyat, meskipun secara tidak
langsung rakyat mengalami kerugian materi tetapi secara abstrak rakyat
mengalami kerugian dalam mendapatkan haknya dengan tercorengnya kdaulatan rakyat
tersebut.
Untuk
meminimalisir kasus korupsi, pemerintah melalui badan kelengkapan negara harus
lebih menegakkan supermasi hukum bagi para pelaku dan adanya semacam
stimulan-stimulan yang dimulai dari pemerintah puncak untuk lebih sadar akan
hukum dan isu-isu responsibility nya lebih ditekankan lagi bahkan sampai
meresap kedalam setiap jiwa bangsa Indonesia, untuk menciptakan pemerintahan
Indonesia kedepan yang lebih sadar dan ta’at hukum dan kedaulatan rakyat bisa
benar-benar sepenuhnya milik rakyat bukan hanya sebatas konten yang
mengatasnamakan rakyat padahal pada kenyataannya kedaulatan rakyat sudah
terampas.
v Sumber
Referensi:
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar