NAMA : DINA LUKMANA
NPM
: 170110130011 / A
TUGAS : SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
INDONESIA
MATINYA
DEMOKRASI DENGAN KEMBALINYA PILKADA KE DPR
Dengan
masih adanya tarik ulurnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan
Kepala Daerah menimbulkan tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak. Kontroversi mekanisme
pemilihan kepala daerah (pilkada) antara yang pro dan kontra dilanjutkan atau
tidaknya pilkada melalui pemilihan langsung oleh rakyat terus bergulir. Pihak
pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang didukung Fraksi
Demokrat, Gerindra, PPP, PAN, dan Golkar berusaha mengembalikan pilkada langsung
ke pemilihan oleh DPRD.
Alasan kelompok ini,
pilkada langsung selama era desentralisasi ini sangat mahal dan penuh
kekerasan. Besarnya "pemborosan" pilkada langsung bisa dilihat dari
beberapa contoh. Di Kota Palembang, biayanya mencapai Rp 76 miliar. Di Sulawesi
Selatan Rp 200 miiliar, di Jawa Timur Rp 800 miliar karena prosesnya hingga
tiga putaran. Fenomena ini terjadi di seluruh provinsi. Belum lagi korban jiwa,
rumah yang terbakar, dan pengerahan massa. Biaya pilkada langsung yang mahal
itu mengakibatkan mereka mudah korupsi ketika menjabat. Secara sepintas argumen
itu masuk akal, tapi bila diuji secara cermat sebagian argumen dampak buruk
pilkada langsung itu tak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Biaya pilkada
langsung sebenarnya tak sebanyak pemilu dan pilpres. Pemilu 2014 menghabiskan
biaya Rp 22 triliun.
Ketentuan dalam UU No 32
Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah dipilih secara langsung
memunculkan dua pendapat. Pertama, dipilih secara demokratis tidak mesti
berarti dipilih secara langsung. Menurut pendapat ini, ada dua model dipilih
secara demokratis, yakni dipilih melalui perwakilan dan dipilih secara
langsung. Apa pun opsinya, menurut kelompok ini, kedua cara itu akan
menghasilkan pemimpin daerah yang memiliki legitimasi yang sama.
Pendapat kedua, walaupun
berlandaskan pada pemahaman yang sama, pemilihan secara langsung memiliki
legitimasi lebih kuat dibandingkan pemilihan melalui perwakilan. Apabila UU
sudah mengatur penerapan opsi tertinggi melalui pemilihan langsung, jangan dimundurkan
kembali menjadi dipilih melalui perwakilan atau DPRD.
Pilihan terhadap salah satu dari kedua pendapat ini akan menentukan: apakah rekrutmen kepala daerah termasuk rezim pemda atau rezim pemilu, atau kombinasi di antara model dipilih langsung dan dipilih DPRD berdasar tingkatannya.
Pilihan terhadap salah satu dari kedua pendapat ini akan menentukan: apakah rekrutmen kepala daerah termasuk rezim pemda atau rezim pemilu, atau kombinasi di antara model dipilih langsung dan dipilih DPRD berdasar tingkatannya.
UUD 1945 mengatur bahwa
pemerintahan daerah dalam NKRI terdiri atas dua. Susunan pertama adalah
provinsi dan susunan kedua adalah kabupaten/kota. UUD tidak mengatur eksplisit
apakah keberadaan susunan itu bersifat hierarkis. Dalam hal kepemimpinan
pemerintahan daerah, UUD 1945 mengatur bahwa provinsi, kabupaten/kota masing-masing
akan dipimpin oleh gubernur, bupati/wali kota. Rekrutmen mereka, antara lain,
berkaitan dengan pemilihan secara langsung sebagai terjemahan dari ketentuan
UUD yang berbunyi dipilih secara demokratis.
Memang di dalam UUD
dibedakan dari untuk rekrutmen presiden, yakni dipilih secara langsung.
Ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah secara
langsung memiliki legitimasi lebih tinggi dibandingkan perwakilan. Karena itu,
pilkada langsung sebaiknya jangan didegradasikan kembali menjadi dipilih
melalui perwakilan. Dalam memahami perbedaan argumen diperlukan penegasan makna
dipilih secara demokratis maupun pemerintahan daerah. Pertama, dipilih secara
demokratis dapat bermakna melalui badan perwakilan atau DPRD dan dipilih secara
langsung oleh rakyat. Kedua mekanisme ini memiliki legitimasi berbeda. Kalau
melalui representasi DPRD berarti tak ada partisipasi langsung dari rakyat.
Kedua, pengertian
pemerintahan daerah ada yang menjadi Unit Dasar dan Unit Antara. Dalam kasus Indonesia,
pemerintahan daerah dibedakan antara kabupaten/kota (Unit Dasar) dan
provitigansi (Unit Antara).Ketiga, Unit Dasar berfokus pada pelayanan. Unit
Antara berperan utama dalam pengoordinasian. Dari segi wilayah, Unit Dasar
bersifat lokal dan Unit Antara regional. Pada lingkup Unit Antara, aktivitas
pemerintahan lebih bersifat dekonsentrasi dan kurang pada aspek perwakilan.
Keempat, berdasarkan fungsi yang diemban Unit Dasar dan Unit Antara berbeda,
maka mekanisme pilkada untuk Unit Dasar (kabupaten/kota) dan Unit Antara
(provinsi) dapat berbeda.
Mekanisme pilkada untuk
kabupaten/kota maupun provinsi harus mencerminkan mekanisme dipilih secara
demokratis. Namun, untuk Unit Dasar, pilkada seharusnya bersifat dipilih
langsung oleh rakyat (direct democracy). Keharusan ini berdasarkan
pemikiran bahwa pertama, kabupaten/kota sebagai Unit Dasar adalah jenjang
pemerintahan terdekat dengan masyarakat. Kabupaten/kota merupakan unit yang
langsung memberi pelayanan. Kedua, untuk kenyamanan pelayanan, masyarakat perlu
memperoleh kesempatan langsung memilih pemimpinnya.
Pelayanan langsung
berakibat pada interaksi berbasis kepercayaan (trust). Sedangkan untuk provinsi
sebagai Unit Antara perlu diperhatikan Pasal 18B UUD 1945 menyatakan bahwa
gubernur, bupati/wali kota sebagai kepala Unit Antara dan kepala Unit Dasar
dipilih secara demokratis. Ketentuan itu mengindikasikan ada badan perwakilan
rakyat pada tingkat Unit Antara (provinsi). Perlu dipertimbangkan pula bahwa UU
No 32 Tahun 2004 mengatur gubernur memiliki fungsi ganda sebagai kepala daerah
otonom provinsi dan wakil pemerintah. Untuk tingkat provinsi pertimbangan
representativeness bukan prioritas utama dibandingkan pada lingkup Unit Dasar.
Implikasinya, rekrutmen kepala daerah dapat menggunakan mekanisme dipilih oleh
badan perwakilan (representative democracy).
Maka, pemilihan langsung
kepala daerah tingkat kabupaten/kota adalah keharusan konstitusional. Tetapi,
untuk tingkat provinsi bisa dijabarkan dengan dua opsi: pemilihan langsung atau
cukup melalui DPRD.Bila melalui DPRD, sejalan dengan asas dekonsentrasi memberi
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal. Dan tentu saja dari aspek politik
ini adalah managemen yang diharapkan secara sistematis memperkuat efektivitas
pemerintahan nasional dan integrasi nasional karena kristalisasi separatisme
umumnya berpotensi muncul bila ada akumulasi kekuatan di tingkat provinsi.
Tetapi, bila pemilihan
langsung oleh rakyat di tingkat provinsi diteruskan juga memberi legitimasi
yang kuat bagi gubernur terpilih. Semua tergantung bagaimana melihatnya. Apa
pun hasil yang ditetapkan DPR terkait pilkada nanti semuanya akan diuji di
Mahkamah Konstitusi. Kubu yang bersaing di DPR tak boleh gegabah asal menang di
sidang DPR karena toh kalau berlawanan dengan konstitusi akan gugur di MK.
Apabila hasil Rancangan
Undang-Undang Pilkada tersebut disahkan oleh MK maka suara dan demokrasi rakyat
seakan dimatikan. Karena rakyat tidak mempunyai hak suara lagi dalam memilih
calon pemimpin yang terbaik. Ada beberapa hal apabila Pilkada dipilih oleh DPRD
antara lain :
1.
Tidak menjamin suara rakyat
2.
Rentan transaksional sehingga tidak ada
aspiratif rakyat secara langsung
3.
Efisiensi biaya, uang APBN yang sumbernya dari
sebagian pajak rakyat artinya, sepanjang penggunaannya benar untuk hal positif
tidak masalah.
Adapun beberapa hal apabila pilkada secara
langsung dilakukan antara lain :
1.
Pilkada langsung berarti menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat
2.
Masyarakat memiliki peluang yang sama meskipun
awalnya berada diluar partai, sepanjang memenuhi kriteria seorang pemimpin, dan
persyaratan sebagaimana diamanahkan oleh UUD.
3.
Dan bisa maju lewat jalur independent sehingga
rakyat bisa menilai dan memilih siapa calon yang terbaik untuk pemimpinnya.
4. masyarakat
bisa mengetahui kualitas calon pemimpinnya. Sementara jika dipilih DPRD,
masyarakat hanya menerima calon yang ada tanpa mengetahui rekam jejaknya.
SOLUSI
Apabila
dari beberapa pihak yang beralasan bahwa pemilihan langsung makan biaya tinggi
, maka solusinya adalah pemilihan kepala daerah secara
langsung digelar serentak. Selain itu, rapat akbar atau kampanye terbuka
dikurangi, alat peraga dan iklan juga dikurangi. Dengan begitu biaya sedikit
yang dikeluarkan pada saat pemilu dan hasilnya pemimpin yang dipilih dan jadi
sesuai dengan apa yang idamkan rakyat.
Apabila tidak
seperti itu maka
dengan Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung dicurigai akan muncul politik
transaksional yang bernuansa money politik dikalangan elit, sehingga kedepannya dalam menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin tidak lagi
berorientasi kepada pelayanan untuk kepentingan rakyat tapi lebih berorientasi
kepada kepentingan elit politik, dan jika itu terjadi maka sulit rasanya untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar