Minggu, 05 Oktober 2014

Isu-Isu Publik Yang Mengancam Kedaulatan Rakyat

Nama : Erdi Rusman
NPM : 10110130007
Tugas Mata Kuliah Sistem Administrasi Negara Indonesia

Isu-isu yang mengancam kedaulatan rakyat
1.      Kondisi Pangan di Indonesia
Tidak berlebihan jika ironi defisit pangan yang melanda negara agraris ini dikatakan bakal mengancam ketahanan nasional, yang pada akhirnya mengancam kedaulatan negara.
Bergantung pada pangan pada negara lain sama saja menggadaikan kedaulatan republik ini pada bangsa lain. Indonesia bisa saja tidak mampu bersikap independen, manakala negara eksportir pangan pada suatu saat menekan atau memaksakan kehendaknya pada pemerintah.
Selain itu juga, isu defisit pangan atau terancamnya kedaulatan pangan rupanya malah menjadi komoditas politik, yang seperti biasa, dibiarkan terkatung-katung, mengambang, dan bertele-tele, tanpa solusi nyata yang signifikan.
Elite politik maupun pemerintah sepertinya menjadikan persoalan pangan ini menjadi lahan untuk mencuri simpati publik. Pemerintah berusaha menjadikan kebutuhan pangan sebagai “bargaining” kepada rakyat sekaligus menunjukkan kekuasaannya dalam mengatur pemenuhan isi perut rakyat.

Solusi
Sebenarnya, bila dibuat sederhana dan praktis, kekurangan bahan pangan bagi penduduk sendiri, dan melambungnya kebutuhan impor pangan menunjukkan penurunan produktivitas pertanian pangan dari dalam negeri. Solusi termudah, dan yang tidak pernah secara serius dilakukan pemerintah adalah menambah produktivitas pangan. Caranya, yang utama adalah menambah luas lahan produktif bagi tanaman pangan.
Rupanya, isu defisit atau berkurangnya lahan pertanian pangan juga ditangkap oleh calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) yang bakal bertarung dalam pemilihan presiden pada 9 Juli nanti. Mereka telah mengumbar janji ambisius soal lahan pertanian. Pasangan Prabowo-Hatta berjanji bakal membuka 2 juta hektare (ha) lahan pertanian baru untuk ditanami padi, jagung, kedelai, dan tebu. Sementara pasangan Jokowi-JK juga berjanji bakal membuka lahan pertanian baru seluas 1 juta ha di luar Jawa.
Kedua pasangan capres-cawapres ini menawarkan solusi bagi persoalan pangan negeri ini, yakni impor pangan yang terus melambung sehingga mengancam kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
Saat ini, kapasitas produksi pangan nasional memang tak mampu mengimbangi lonjakan permintaan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat. Pasalnya, selain peningkatan produktivitas sejumlah komoditas pangan strategis cenderung stagnan, luas lahan pertanian tak mengalami penambahan secara berarti.
Data statistik menunjukkan, pada 2003, luas lahan pertanian mencapai 24,5 juta ha, terdiri atas 7,9 juta ha lahan sawah dan 16,6 juta ha lahan kering. Pada 2012, luas lahan pertanian hanya bertambah menjadi 25,6 juta ha dengan komposisi 8,1 juta ha lahan sawah dan 17,5 juta ha lahan kering. Artinya, laju penambahan luas lahan pertanian hanya sekitar 0,5 persen per tahun. Padahal, pada saat yang sama, laju peningkatan permintaan terhadap pangan mencapai 5 persen per tahun.
Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa persoalan lahan pertanian di negeri ini sebetulnya bukan hanya bagaimana menambah luasan. Ada dua persoalan lain yang juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah mendatang. Pertama, derasnya konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah, ke penggunaan non-pertanian. Setiap tahun, sekitar 60 ribu ha lahan sawah produktif di negeri ini beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.
Kedua, distribusi penguasaan lahan pertanian di tingkat petani yang kian timpang. Kini, gini ratio penguasaan lahan sudah di atas 0,5 poin. Artinya, sebagian besar lahan dikuasai oleh petani kaya, yang jumlahnya tak seberapa dibanding total jumlah petani.
Makanya, tidak mengherankan bila hasil Sensus Pertanian 2013 menyebutkan sekitar 14,2 juta rumah tangga tani merupakan petani gurem yang mengelola lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Skala usaha yang kecil menjadikan mereka sulit untuk merengkuh kesejahteraan dengan hanya mengandalkan usaha tani. Akibatnya, benang kusut kemiskinan di sektor pertanian menjadi sulit terurai dan pemerataan ekonomi sulit diwujudkan.
Dari dua persoalan ini, sebenarnya secara sederhana masalah defisit pangan yang diakibatkan oleh berkurangnya lahan pertanian pangan bisa diselesaikan dengan cara mengerem konversi lahan pertanian. Itu bisa dilakukan bila pemerintah secara serius melarang alih fungsi lahan pertanian produktif ke sektor lain, utamanya sektor properti. Solusi ini sekaligus juga mencegah berulangnya bahaya krisis ekonomi seperti pada krisis 1998 akibat pecahnya gelembung harga properti.
Cara penyelesaian selanjutnya adalah memperbaiki distribusi penguasaan lahan yang saat ini sebagian besar ada di tangan petani kaya yang jumlahnya relatif sangat sedikit. Perbaikan komposisi penguasaan lahan, dengan memberi porsi yang lebih besar bagi petani biasa atau petani gurem, juga berarti membuka kesempatan perbaikan taraf hidup bagi petani gurem, yang merupakan porsi terbesar dari penduduk miskin di Tanah Air.

2.      Kenaikan harga dan langkanya pupuk bersubsidi
Persoalan pertanian dan petani di Tanah Air memang hanya bisa ditanggulangi dengan semangat kebijakan yang pro-rakyat miskin dan anti-kroni. Namun, dua hal inilah yang selama beberapa dekade jarang ditemukan dari pemerintah yang dibiayai dan dilegitimasi oleh kekuatan rakyat.
Kementerian Pertanian dan PT. Pupuk Indonesia mengungkapkan tiga alasan kelangkaan pupuk subsidi di daerah. Pertama, aksi panic buying atau pembelian secara terburu-buru di kalangan petani. Kedua, pemerintah daerah yang tidak menggunakan kewenangan realokasi. Ketiga, selisih harga antara harga pokok produksi dengan harga eceran tertinggi.
Tiga faktor itu dikemukakan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, Udhoro Kasih Anggoro, dan Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Arifin Tasrif, pada rapat dengar pendapat di gedung DPR RI pada Senin, 19 Mei 2014. “Faktor panic buying mendorong petani membeli pupuk melebihi kebutuhan sehingga kuota pupuk terus terserap melebihi kebutuhan,” kata Udhoro.
Petani melakukan panic buying karena terpengaruh isu kelangkaan pupuk subsidi di beberapa daerah. “Padahal, kelangkaan pupuk tidak terjadi di semua daerah,” katanya.
Arifin mengatakan penyerapan yang berlebihan itu dipicu oleh para petani yang tidak tergabung di gabungan kelompok tani. “Petani yang tidak tergabung di kelompok tani cenderung tidak terkontrol pola penggunaan pupuknya karena tidak membuat rencana definitif kebutuhan kelompok terhadap penggunaan pupuk subsidi,” ujarnya. Pemerintah daerah seharusnya bisa mengatasi hal itu bila menggunakan kewenangannya untuk realokasi kuota pupuk. Kondisi itu terjadi karena gubernur atau bupati menghendaki persediaan pupuk di daerahnya selalu tercukupi. “Pemerintah daerah yang telah tercukupi kebutuhan pupuknya tidak ingin persediaannya terganggu. Sehingga ketika diminta menyalurkan ke daerah lain, mereka enggan melakukannya,” katanya.
Kelangkaan juga diperburuk disparitas harga antara harga pokok produksi dengan harga eceran tertinggi yang disebabkan oleh komponen produksi yang terus meningkat, sedangkan harga eceran tertinggi tidak pernah berubah. “Harga eceran tertinggi tidak pernah naik selama lima tahun terakhir, sedangkan harga gas dan bahan baku, misalnya, selalu naik,” kata Arifin.

Solusi
Untuk mengatasi selisih harga pokok produksi dan harga eceran tertinggi ini, anggota Komisi Pertanian DPR Siswono Yudo Husodo mengusulkan kenaikan harga eceran tertinggi. Namun, perusahaan pupuk nasional harus bisa menjamin ketersediaannya. “Petani lebih memilih harga agak naik tapi pupuk mudah didapat dibanding harga murah tetapi selalu langka,” kata Siswono.
            Selain itu juga, pemerintah perlu menjamin tersedianya pupuk agar masyarakat tidak kelabakan dan akhirnya gagal panen atau hasilnya kurang karena
petani susah mendapatkan pupuk, karena jika pupuk mudah didapatan, meskipun harganya mahal tapi peani bisa mensiasatinya asal pupuknya mudah didapat, tetapi tidak menututp kemungkinan mayarakat sangat berharap harga dari ketetapan pemerintah yang bisa menyesuaikan dengan daya beli dan kemampuan petani.

3.      Pengaruh “Kebijakan” Kenaikan Tarif Dasar Listrik (Tdl) Terhadap Inflasi Di Indonesia

Listrik merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Dengan adanya listrik proses produksi yang dilakukan oleh industri-industri di Indonesia menjadi lebih cepat, efektif dan efisien. Karena posisinya yang begitu sentral itu, maka apapun kondisi atau sesuatu yang timbul dari listrik akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat, termasuk tarifnya. Sehingga, kebijakan pemerintah menaikkan TDL sekitar 10% hingga 15%, seperti kebijakan yang akan berlaku mulai awal Juli ini menambah beban bagi sebagian besar rakyat yang sebenarnya sudah sangat berat. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya biaya produksi di dunia usaha dan pada akhirnya akan memicu inflasi dalam negeri.
Walaupun kenaikan TDL tidak memberikan efek besar dalam inflasi, yaitu diperkirakan hanya 0,36-0,4%, namun dengan adanya kenaikan TDL tersebut, kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis barang produksi, baik produksi makanan ataupun lainnya akan mengalami kenaikan harga akibat produsen menaikkan harga jual.
Listrik, dapat dikategorikan dalam barang yang “menguasai hajat hidup orang banyak”, sebagaimana ketentuan pasal 33 UUD 1945. Di dalam ilmu ekonomi listrik bisa menjadi barang publik atau barang swasta, karena ia bisa diproduksi oleh Negara atau perusahaan. Di negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini, menyebabkan listrik diproduksi oleh Negara.
Di dalam sistem perekonomian sosialis, sebagian besar barang-barang swasta dihasilkan oleh pemerintah. Berbeda dengan sistem perekonomian liberal dimana sebagian besar barang-barang publik dihasilkan oleh sektor swasta.
Sedangkan di dalam sistem ekonomi Indonesia yang mengedepankan keadailan sosial, pemerintah beserta aparatur negara harus menghitung dititik mana sumber-sumber ekonomi yang ada dihasilkan seoptimalkan mungkin sehingga tujuan masyarakat adil dan makmur tercapai. Listrik merupakan komoditi yang mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu yang tidak semua orang atau perusahaan dapat melakukannya. Pertama, adalah vitalnya, sehingga merupakan jasa publik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kedua, adalah sifatnya, yang merupakan natural monopoly, karena distribusi dan transmisinya yang tidak dapat dilakukan oleh banyak perusahaan sekaligus di dalam persaingan.
Makanya, PLN (Perusahaan Listrik Negara) menjadi salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak dalam bidang kelistrikan dan bertujuan menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi.
PLN adalah monopolis bidang kelistrikan yang diberikan hak oleh pemerintah untuk melakukan monopoli. Monopoli jenis ini adalah monopoli yang tidak diusahakan untuk mendapatkannya, melainkan adalah monopoli yang diberikan. Kebutuhan energi listrik dari waktu ke waktu makin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk, perkembangan industri, perluasan wilayah, serta perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban manusia. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak disertai dengan peningkatan daya yang diproduksi pihak perusahaan, sehingga mengakibatkan banyak daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan keperluannya. Hal ini kemudian menjadi sangat ironis ketika pemerintah justru menaikkan TDL.
Kenaikan TDL yang rencananya diberlakukan mulai awal Juli 2010 lalu tidak berlaku bagi pelanggan kecil (450-900 VA) yang konsumsi listriknya di bawah 30 kWh per bulan. Sedangkan bagi pelanggan menengah ke atas (di atas 900 VA) tanpa pengecualian konsumsi listriknya dikenakan kenaikan.
Berikut lebih jelasnya rincian kenaikan TDL baru yang bakal diterima pelanggan listrik per 1 Juli 2010 :
I. Pelanggan Rumah Tangga (R)
a)      Pelanggan R1 daya 1.300VA, rata-rata pemakaian listrik 200 kWh/bln, biaya pokok produksinya Rp1.163 per kWh, TDL sebelum naik rata-rata Rp672 per kWh, rata-rata kenaikan TDL ditetapkan sebesar 18%. Dengan demikian tarif baru yang mulai berlaku per 1 Juli mendatang rata-rata mencapai Rp793 per kwh.
b)      Pelanggan Rumah Tangga R1, daya 2.200 VA, pemakaian listrik rata-rata 355 kwh per bulan, besaran biaya pokok produksi (BPP) Rp1.163 per kwh, TDL rata-rata sebelum naik Rp675 per kwh. Rata-rata kenaikan 18%, sehingga tarif baru sesudah naik rata-rata jadi Rp797 per kwh.
c)      Pelanggan Rumah Tangga R2, daya 3.500 VA sampai dengan 5.500VA, rata-rata pemakaian listrik 636 kwh/bln, BPP mencapai Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp755 per kwh, dengan kenaikan sebesar 18%, maka tarif baru menjadi Rp891/kwh.
II. Kelompok Pelanggan Kelas Bisnis (B)
a)      Untuk B1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 198kwh/bln, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp685/kwh, naik sebesar 16%, sehingga harga tarif baru menjadi Rp795/kwh.
b)      Untuk B2, daya 2.200 VA-5.500VA. Rata-rata pemakaian 307 kwh/bulan, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp782/kwh, naik 16%, tarif sesudah naik menjadi Rp907/kwh.
c)      Untuk B3, di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian 212,249, BPP 839/kwh, harga sebelum Rp811/kwh, naik 12%, tarif sesudah naik menjadi Rp908/kwh.
III. Kelompok Pelanggan Industri (I)
a)      Pelanggan I1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 178kwh/bln, BPP 1.163/kwh, tarif sebelum Rp724/kwh, dengan kenaikan 6%, maka tarif baru menjadi Rp767/kwh.
b)      Pelanggan I2, daya 2.200 VA, rata-rata pemakaian 273 kwh per bulan, BPP Rp1.163/kwh, tarif sebelum naik Rp746/kwh, kenaikan 6%, maka tarif sesudah naik menjadi Rp790/kwh.
c)      Pelanggan I3, daya 2.200VA sampai dengan 14 KVA, rata-rata pemakaian 872/kwh/bln, BPP Rp1.163, tarif sebelum naik Rp872/kwh, kenaikan 9%, maka tarif baru menjadi Rp916/kwh.
d)     Pelanggan 14 KVA sampai dengan 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 11.342, BPP Rp839/kwh, tarif sebelum naik Rp805/kwh, kenaikan 9%, tarif baru Rp878/kwh.
e)      Pelanggan di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 314.435, BPP Rp 839/kwh, TDL sebelum naik Rp641/kwh, kenaikan 15%, tariff baru menjadi Rp737/kwh.
f)       Pelanggan di atas 30.000, rata-rata pemakaian 16.592.651, BPP Rp718/kwh, tarif sebelum naik 529/kwh, kenaikan 15%, tarif baru menjadi Rp608/kwh.[3]
Persetujuan kenaikan TDL dicapai dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Darwin Saleh yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya di Jakarta hari Selasa tanggal 15/6/2010.
Persetujuan Komisi VII DPR tersebut merupakan tindak lanjut UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang APBN Perubahan 2010. Sesuai Pasal 8 UU 2 Tahun 2010, alokasi anggaran subsidi listrik ditetapkan Rp55,1 triliun dengan asumsi TDL dinaikkan rata-rata 10 persen mulai 1 Juli 2010 untuk menutupi kekurangan subsidi Rp4,8 triliun.
Dengan kenaikan 15 persen saja, pemerintah masih harus menambah subsidi listrik dari Rp 37,8 triliun dalam APBN 2010 menjadi Rp 54,5 triliun dalam RAPBN-P 2010. Namun jika TDL batal dinaikkan, maka subsidi akan bertambah Rp 7,3 triliun.
Hal yang menarik untuk dikaji berkenaan dengan kenaikan TDL adalah dampak yang akan ditimbulkan terhadap kondisi ekonomi pelanggan kecil. Secara langsung, dampak kenaikan TDL tercermin dari meningkatnya angka inflasi. Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar. Ia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10% - 30% setahun; inflasi berat antara 30% - 100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan sebenarnya kenaikan inflasi sebagai dampak langsung kenaikan TDL yang akan diterapkan Juli 2010 diperkirakan hanya sebesar 0,36%. Namun yang perlu dikhawatirkan adalah imbasnya terhadap sektor industri. Inflasi akan semakin membengkak bila kenaikan TDL itu kemudian menyebabkan efek ganda dan memicu para produsen menaikkan harga barang dan jasa secara sepihak.
Tambahan angka inflasi hingga 0,4%-0,5% tersebut telah dimasukkan dalam perhitungan angka inflasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RABN-P) 2010 yang dipatok di level 5,3%.
Jika tidak ada kenaikan TDL diperkirakan inflasi itu di kisaran 4,5-4,8%, namun untuk mengamankan inflasi dari kenaikan TDL dan hal-hal lainnya maka asumsi angka inflasi dalam RAPBNP 2010 dipasang di angka 5,3%.
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) mulai 1 Juli 2010 mendatang akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor, baik makro maupun mikro. Secara makro, dampak kenaikan TDL ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production).
Dalam sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sedang menghadapi era pasar bebas, kenaikan TDL berdampak besar ke depannya.
Seharusnya kenaikan ini mempertimbangkan dampak terhadap kenaikan biaya/ongkos produksi dan biaya barang dari UMKM, yang akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sebab, harus disadari kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini juga akan berdampak signifikan terhadap pelaku industri terutama baja, tekstil, petrokimia serta usaha kecil dan menengah (UKM), menyebabkan turunnya pendapatan riil rumah tangga golongan bawah yang notabene adalah sebagian besar pelanggan kecil dari PLN. Turunnya pendapatan tersebut pada gilirannya juga akan menurunkan permintaan akan barang dan jasa. Sektor ekonomi yang paling besar terkena dampaknya adalah sektor industri makanan yang akan mengalami penurunan permintaan.
Karena terjadi penurunan permintaan, para produsen akan mengurangi produksinya. Hal itu akan menyebabkan turunnya balas jasa atau insentif yang diterima para buruh. Sehingga pada akhirnya kenaikan TDL akan mengurangi pendapatan institusi, yaitu kelompok masyarakat paling bawah.

Solusi
Sebenarnya, faktor penentu harga jual listrik yang terpenting adalah ketersediaan pasokan energi pembangkit. Atas dasar itu, langkah PLN untuk memastikan terhentinya pemadaman listrik (byar pet) pada 30 Juni 2010 harus dibayar dengan biaya energi yang tinggi.
Unbundling juga bisa sebagai penyebab kenaikan harga tarif dasar listrik (HTDL) hingga 50 persen, karena setiap entitas (pembangkitan, transmisi dan distribusi) harus menanggung beban administrasi dan operasional sendiri-sendiri. Belum lagi dengan misi profitisasi PLN yang memprioritaskan laba daripada fungsinya sebagai public service obligation. Hal ini seiring dengan keikutsertaan swasta yang tidak akan membuat tarif listrik semakin murah tetapi semakin mahal karena swasta akan berupaya mendapat keuntungan lebih dari investasinya.
Berdasarkan data dari Assosiasi Pertekstilan Indonesia pada Juni 2010, biaya produksi industri tekstil meningkat hingga 4,5 persen dimana komponen listrik menyumbang 30 persen dari keseluruhan biaya produksi tekstil.
Ada beberapa pilihan tindakan penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pengusaha tekstil dalam menghadapi kenaikan TDL, antara lain :
1.      Rasionalisasi karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan bagian produksi (buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah buruh.
2.      Penurunan marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan keuntungan perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi dinaikkan sedangkan biaya produksi untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan juga berkurang karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata persentase kenaikan sebesar 10% -15%. Perusahaan tidak melakukan rasionalisasi karyawan tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan tetapi hal ini tidak akan mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA akan berpikir bahwa investasi di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini terjadi maka iklim investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha akan semakin mengalami kemunduran.
3.      Meningkatkan harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar negeri. Dengan melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan daya beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen meningkat akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhannya, misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Ketiga alternatif pilihan tersebut sangat merugikan masyarakat. Apabila alternatif pertama ditempuh, perusahaan akan sedikit berhemat dalam cost upah buruh, tetapi dampaknya adalah terjadi PHK besar-besaran dan pengangguran dimana-mana. Hal ini jelas menambah beban pengangguran Indonesia, dimana masih banyak masyarakat Indonesia belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, sekarang diperkirakan ada lebih dari 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penganggur (undremployed). Masalah pengangguran bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan.
Alternatif kedua berdampak pada keuntungan yang diperoleh perusahaan menurun akibat kenaikan TDL di satu sisi dan di sisi lain bahan baku juga mengalami kenaikan. Hal ini sangat merugikan perusahaan dan lebih lanjut timbul kekhawatiran perusahaan akan mengalami kebangkrutan atau malah gulung tikar.
Pilihan ketiga merupakan pilihan yang banyak ditempuh oleh perusahaan dalam bidang apapun, kenaikan TDL berimbas pada peningkatan harga jual produk. Ketika harga barang naik, secara ilmu ekonomi, maka permintaan akan barang tersebut akan menurun. Terlebih lagi apabila kenikan harga barang tidak dibarengi dengan kenaikan gaji/pendapatan masyarakat di sisi lain. Masyarakat golongan bawah yang akan benar-benar merasakan imbasnya.
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi ole pemeintah perlu lebih ditajamkan hingga menyentuh pada persoalan mendesak. Disamping itu, percepatan restrukturisasi sektor perbankan mutlak dilakukan guna mendukung bergeraknya sektor riil. Dengan demikian, dampak negatif kenaikan TDL pada perekonomian dapat direduksi dengan jalan penciptaan iklim usaha yang lebih favourable. 
Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah perlunya PLN melakukan sosialisasi sebelum kenaikan TDL diberlakukan kepada seluruh sektor, khususnya kepada sektor industri tekstil yang paling banyak menggunakan tenaga listrik dan tenaga kerja. Sosialisasi tersebut sangat penting untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi.
Selama ini kenaikan TDL lebih cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh karena mereka tidak bisa melakukan antisipasi sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu melakukan sosialisasi kenaikan TDL tersebut dengan mengadakan seminar/diskusi dengan dunia usaha sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya.
Seharusnya, masalah krisis listrik bukan diatasi dengan menaikan tarif, tetapi secara bijak mencari energi alternatif. Walaupun jalan yang harus ditempuh pada akhirnya adalah dengan menaikkan tarif listrik, catatan penting bagi PLN selaku pemegang otoritas bidang kelistrikan adalah pelayanan yang lebih baik dan tidak adanya byar pet yang akan menghambat jalannya produksi dalam negeri, merugikan perusahaan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Dampak dari kenaikan TDL tersebut akan semakin menghimpit masyarakat kecil karena akan memicu kenaikkan harga barang-barang. Sedangkan upah buruh maupun pegawai tidak mengalami kenaikan untuk menyesuaikan dampak kenaikan tersebut.
Melihat fenomena tersebut di atas, semestinya pemerintah berperan dalam mengatur kegiatan perekonomian sehingga ia dapat melakukan kegiatannya dengan lebih stabil dan selalu menuju ke tingkat kesempatan kerja penuh. Seperti diketahui berdasarkan teori Keynes, tanpa campur tangan pemerintah perekonomian suatu negara tidak akan mencapai tingkat kesempatan kerja penuh dan kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat terwujud. Akan terjadi fluktuasi kegiatan ekonomi yang lebar dari satu periode ke periode lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi yang serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga. Untuk menghindari masalah itu, Keynes menekankan perlunya campur tangan pemerintah.
Sekali lagi, pemerintah perlu berhitung lebih cermat tiap kali akan menaikkan TDL. Kebijakan menaikkan TDL perlu dibarengi dengan pelayanan yang lebih baik, tidak ada pemadaman bergilir (byar pet), dan perbaikan usaha penyediaan lapangan kerja yang diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan terutama pada masyarakat paling bawah. Tanpa usaha tersebut kenaikan TDL akan berdampak negatif karena akan menurunkan pendapatan riil masyarakat.
Kenaikan TDL bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi subsidi, tapi harus diikuti dengan langkah-langkah terobosan berupa peningkatan efisiensi dari produk listrik, baik efisiensi dalam overhead cost yang masih harus ditekan maupun direct cost.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar