Nama : Erdi Rusman
NPM : 10110130007
Tugas Mata Kuliah
Sistem Administrasi Negara Indonesia
Isu-isu yang mengancam kedaulatan rakyat
1.
Kondisi Pangan di Indonesia
Tidak berlebihan jika ironi
defisit pangan yang melanda negara agraris ini dikatakan bakal mengancam
ketahanan nasional, yang pada akhirnya mengancam kedaulatan negara.
Bergantung pada pangan pada
negara lain sama saja menggadaikan kedaulatan republik ini pada bangsa lain.
Indonesia bisa saja tidak mampu bersikap independen, manakala negara eksportir
pangan pada suatu saat menekan atau memaksakan kehendaknya pada pemerintah.
Selain itu juga, isu defisit
pangan atau terancamnya kedaulatan pangan rupanya malah menjadi komoditas
politik, yang seperti biasa, dibiarkan terkatung-katung, mengambang, dan
bertele-tele, tanpa solusi nyata yang signifikan.
Elite politik maupun pemerintah
sepertinya menjadikan persoalan pangan ini menjadi lahan untuk mencuri simpati
publik. Pemerintah berusaha menjadikan kebutuhan pangan sebagai “bargaining”
kepada rakyat sekaligus menunjukkan kekuasaannya dalam mengatur pemenuhan isi
perut rakyat.
Solusi
Sebenarnya, bila dibuat
sederhana dan praktis, kekurangan bahan pangan bagi penduduk sendiri, dan
melambungnya kebutuhan impor pangan menunjukkan penurunan produktivitas pertanian
pangan dari dalam negeri. Solusi termudah, dan yang tidak pernah secara serius
dilakukan pemerintah adalah menambah produktivitas pangan. Caranya, yang utama
adalah menambah luas lahan produktif bagi tanaman pangan.
Rupanya, isu defisit atau berkurangnya
lahan pertanian pangan juga ditangkap oleh calon presiden dan wakil presiden
(capres dan cawapres) yang bakal bertarung dalam pemilihan presiden pada 9 Juli
nanti. Mereka telah mengumbar janji ambisius soal lahan pertanian. Pasangan
Prabowo-Hatta berjanji bakal membuka 2 juta hektare (ha) lahan pertanian baru
untuk ditanami padi, jagung, kedelai, dan tebu. Sementara pasangan Jokowi-JK
juga berjanji bakal membuka lahan pertanian baru seluas 1 juta ha di luar Jawa.
Kedua pasangan capres-cawapres
ini menawarkan solusi bagi persoalan pangan negeri ini, yakni impor pangan yang
terus melambung sehingga mengancam kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
Saat ini, kapasitas produksi
pangan nasional memang tak mampu mengimbangi lonjakan permintaan seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan pendapatan dan daya beli
masyarakat. Pasalnya, selain peningkatan produktivitas sejumlah komoditas
pangan strategis cenderung stagnan, luas lahan pertanian tak mengalami
penambahan secara berarti.
Data statistik menunjukkan, pada
2003, luas lahan pertanian mencapai 24,5 juta ha, terdiri atas 7,9 juta ha
lahan sawah dan 16,6 juta ha lahan kering. Pada 2012, luas lahan pertanian
hanya bertambah menjadi 25,6 juta ha dengan komposisi 8,1 juta ha lahan sawah dan
17,5 juta ha lahan kering. Artinya, laju penambahan luas lahan pertanian hanya
sekitar 0,5 persen per tahun. Padahal, pada saat yang sama, laju peningkatan
permintaan terhadap pangan mencapai 5 persen per tahun.
Akan tetapi, perlu diingat juga
bahwa persoalan lahan pertanian di negeri ini sebetulnya bukan hanya bagaimana
menambah luasan. Ada dua persoalan lain yang juga harus menjadi fokus perhatian
pemerintah mendatang. Pertama, derasnya konversi lahan pertanian, khususnya
lahan sawah, ke penggunaan non-pertanian. Setiap tahun, sekitar 60 ribu ha
lahan sawah produktif di negeri ini beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.
Kedua, distribusi penguasaan
lahan pertanian di tingkat petani yang kian timpang. Kini, gini ratio
penguasaan lahan sudah di atas 0,5 poin. Artinya, sebagian besar lahan dikuasai
oleh petani kaya, yang jumlahnya tak seberapa dibanding total jumlah petani.
Makanya, tidak mengherankan bila
hasil Sensus Pertanian 2013 menyebutkan sekitar 14,2 juta rumah tangga tani
merupakan petani gurem yang mengelola lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Skala
usaha yang kecil menjadikan mereka sulit untuk merengkuh kesejahteraan dengan
hanya mengandalkan usaha tani. Akibatnya, benang kusut kemiskinan di sektor
pertanian menjadi sulit terurai dan pemerataan ekonomi sulit diwujudkan.
Dari dua persoalan ini,
sebenarnya secara sederhana masalah defisit pangan yang diakibatkan oleh
berkurangnya lahan pertanian pangan bisa diselesaikan dengan cara mengerem
konversi lahan pertanian. Itu bisa dilakukan bila pemerintah secara serius
melarang alih fungsi lahan pertanian produktif ke sektor lain, utamanya sektor
properti. Solusi ini sekaligus juga mencegah berulangnya bahaya krisis ekonomi
seperti pada krisis 1998 akibat pecahnya gelembung harga properti.
Cara penyelesaian selanjutnya
adalah memperbaiki distribusi penguasaan lahan yang saat ini sebagian besar ada
di tangan petani kaya yang jumlahnya relatif sangat sedikit. Perbaikan
komposisi penguasaan lahan, dengan memberi porsi yang lebih besar bagi petani
biasa atau petani gurem, juga berarti membuka kesempatan perbaikan taraf hidup
bagi petani gurem, yang merupakan porsi terbesar dari penduduk miskin di Tanah
Air.
2.
Kenaikan harga dan langkanya
pupuk bersubsidi
Persoalan pertanian dan petani
di Tanah Air memang hanya bisa ditanggulangi dengan semangat kebijakan yang
pro-rakyat miskin dan anti-kroni. Namun, dua hal inilah yang selama beberapa
dekade jarang ditemukan dari pemerintah yang dibiayai dan dilegitimasi oleh
kekuatan rakyat.
Kementerian Pertanian dan PT.
Pupuk Indonesia mengungkapkan tiga alasan kelangkaan pupuk subsidi di daerah.
Pertama, aksi panic buying atau pembelian secara terburu-buru di kalangan
petani. Kedua, pemerintah daerah yang tidak menggunakan kewenangan realokasi.
Ketiga, selisih harga antara harga pokok produksi dengan harga eceran
tertinggi.
Tiga faktor itu dikemukakan
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian
Pertanian, Udhoro Kasih Anggoro, dan Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Arifin
Tasrif, pada rapat dengar pendapat di gedung DPR RI pada Senin, 19 Mei 2014. “Faktor
panic buying mendorong petani membeli pupuk melebihi kebutuhan sehingga kuota
pupuk terus terserap melebihi kebutuhan,” kata Udhoro.
Petani melakukan panic buying
karena terpengaruh isu kelangkaan pupuk subsidi di beberapa daerah. “Padahal,
kelangkaan pupuk tidak terjadi di semua daerah,” katanya.
Arifin mengatakan penyerapan
yang berlebihan itu dipicu oleh para petani yang tidak tergabung di gabungan
kelompok tani. “Petani yang tidak tergabung di kelompok tani cenderung tidak
terkontrol pola penggunaan pupuknya karena tidak membuat rencana definitif
kebutuhan kelompok terhadap penggunaan pupuk subsidi,” ujarnya. Pemerintah
daerah seharusnya bisa mengatasi hal itu bila menggunakan kewenangannya untuk
realokasi kuota pupuk. Kondisi itu terjadi karena gubernur atau bupati
menghendaki persediaan pupuk di daerahnya selalu tercukupi. “Pemerintah daerah
yang telah tercukupi kebutuhan pupuknya tidak ingin persediaannya terganggu.
Sehingga ketika diminta menyalurkan ke daerah lain, mereka enggan
melakukannya,” katanya.
Kelangkaan juga diperburuk
disparitas harga antara harga pokok produksi dengan harga eceran tertinggi yang
disebabkan oleh komponen produksi yang terus meningkat, sedangkan harga eceran
tertinggi tidak pernah berubah. “Harga eceran tertinggi tidak pernah naik
selama lima tahun terakhir, sedangkan harga gas dan bahan baku, misalnya,
selalu naik,” kata Arifin.
Solusi
Untuk mengatasi selisih harga
pokok produksi dan harga eceran tertinggi ini, anggota Komisi Pertanian DPR
Siswono Yudo Husodo mengusulkan kenaikan harga eceran tertinggi. Namun,
perusahaan pupuk nasional harus bisa menjamin ketersediaannya. “Petani lebih
memilih harga agak naik tapi pupuk mudah didapat dibanding harga murah tetapi
selalu langka,” kata Siswono.
Selain itu
juga, pemerintah perlu menjamin tersedianya pupuk agar masyarakat tidak
kelabakan dan akhirnya gagal panen atau hasilnya kurang karena
petani susah mendapatkan pupuk, karena jika pupuk mudah
didapatan, meskipun harganya mahal tapi peani bisa mensiasatinya asal pupuknya
mudah didapat, tetapi tidak menututp kemungkinan mayarakat sangat berharap
harga dari ketetapan pemerintah yang bisa menyesuaikan dengan daya beli dan
kemampuan petani.
3. Pengaruh “Kebijakan” Kenaikan Tarif Dasar
Listrik (Tdl) Terhadap Inflasi Di Indonesia
Listrik
merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Dengan adanya
listrik proses produksi yang dilakukan oleh industri-industri di Indonesia
menjadi lebih cepat, efektif dan efisien. Karena posisinya yang begitu sentral
itu, maka apapun kondisi atau sesuatu yang timbul dari listrik akan berpengaruh
pada kehidupan masyarakat, termasuk tarifnya. Sehingga, kebijakan pemerintah
menaikkan TDL sekitar 10% hingga 15%, seperti kebijakan yang akan berlaku mulai
awal Juli ini menambah beban bagi sebagian besar rakyat yang sebenarnya sudah
sangat berat. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya biaya produksi di
dunia usaha dan pada akhirnya akan memicu inflasi dalam negeri.
Walaupun
kenaikan TDL tidak memberikan efek besar dalam inflasi, yaitu diperkirakan
hanya 0,36-0,4%, namun dengan adanya kenaikan TDL tersebut, kebutuhan
masyarakat akan berbagai jenis barang produksi, baik produksi makanan ataupun
lainnya akan mengalami kenaikan harga akibat produsen menaikkan harga jual.
Listrik,
dapat dikategorikan dalam barang yang “menguasai hajat hidup orang banyak”,
sebagaimana ketentuan pasal 33 UUD 1945. Di dalam ilmu ekonomi listrik bisa
menjadi barang publik atau barang swasta, karena ia bisa diproduksi oleh Negara
atau perusahaan. Di negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia ini, menyebabkan listrik diproduksi oleh Negara.
Di
dalam sistem perekonomian sosialis, sebagian besar barang-barang swasta dihasilkan
oleh pemerintah. Berbeda dengan sistem perekonomian liberal dimana sebagian
besar barang-barang publik dihasilkan oleh sektor swasta.
Sedangkan
di dalam sistem ekonomi Indonesia yang mengedepankan keadailan sosial,
pemerintah beserta aparatur negara harus menghitung dititik mana sumber-sumber
ekonomi yang ada dihasilkan seoptimalkan mungkin sehingga tujuan masyarakat
adil dan makmur tercapai. Listrik merupakan komoditi yang mempunyai
kekhususan-kekhususan tertentu yang tidak semua orang atau perusahaan dapat
melakukannya. Pertama, adalah vitalnya, sehingga merupakan jasa publik yang
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kedua, adalah sifatnya, yang merupakan
natural monopoly, karena distribusi dan transmisinya yang tidak dapat dilakukan
oleh banyak perusahaan sekaligus di dalam persaingan.
Makanya,
PLN (Perusahaan Listrik Negara) menjadi salah satu BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) yang bergerak dalam bidang kelistrikan dan bertujuan menjadikan tenaga
listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan
mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi.
PLN
adalah monopolis bidang kelistrikan yang diberikan hak oleh pemerintah untuk
melakukan monopoli. Monopoli jenis ini adalah monopoli yang tidak diusahakan
untuk mendapatkannya, melainkan adalah monopoli yang diberikan. Kebutuhan
energi listrik dari waktu ke waktu makin bertambah, seiring dengan pertambahan
penduduk, perkembangan industri, perluasan wilayah, serta perkembangan
teknologi dan kemajuan peradaban manusia. Peningkatan kebutuhan energi tersebut
tidak disertai dengan peningkatan daya yang diproduksi pihak perusahaan,
sehingga mengakibatkan banyak daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi
sesuai dengan keperluannya. Hal ini kemudian menjadi sangat ironis ketika
pemerintah justru menaikkan TDL.
Kenaikan
TDL yang rencananya diberlakukan mulai awal Juli 2010 lalu tidak berlaku bagi
pelanggan kecil (450-900 VA) yang konsumsi listriknya di bawah 30 kWh per
bulan. Sedangkan bagi pelanggan menengah ke atas (di atas 900 VA) tanpa
pengecualian konsumsi listriknya dikenakan kenaikan.
Berikut lebih
jelasnya rincian kenaikan TDL baru yang bakal diterima pelanggan listrik per 1
Juli 2010 :
I. Pelanggan Rumah
Tangga (R)
a)
Pelanggan R1 daya
1.300VA, rata-rata pemakaian listrik 200 kWh/bln, biaya pokok produksinya
Rp1.163 per kWh, TDL sebelum naik rata-rata Rp672 per kWh, rata-rata kenaikan
TDL ditetapkan sebesar 18%. Dengan demikian tarif baru yang mulai berlaku per 1
Juli mendatang rata-rata mencapai Rp793 per kwh.
b)
Pelanggan Rumah Tangga
R1, daya 2.200 VA, pemakaian listrik rata-rata 355 kwh per bulan, besaran biaya
pokok produksi (BPP) Rp1.163 per kwh, TDL rata-rata sebelum naik Rp675 per kwh.
Rata-rata kenaikan 18%, sehingga tarif baru sesudah naik rata-rata jadi Rp797
per kwh.
c)
Pelanggan Rumah Tangga
R2, daya 3.500 VA sampai dengan 5.500VA, rata-rata pemakaian listrik 636
kwh/bln, BPP mencapai Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp755 per kwh, dengan
kenaikan sebesar 18%, maka tarif baru menjadi Rp891/kwh.
II. Kelompok Pelanggan
Kelas Bisnis (B)
a)
Untuk B1, daya 1.300
VA, rata-rata pemakaian 198kwh/bln, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik
Rp685/kwh, naik sebesar 16%, sehingga harga tarif baru menjadi Rp795/kwh.
b)
Untuk B2, daya 2.200
VA-5.500VA. Rata-rata pemakaian 307 kwh/bulan, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum
naik Rp782/kwh, naik 16%, tarif sesudah naik menjadi Rp907/kwh.
c)
Untuk B3, di atas 200
KVA, rata-rata pemakaian 212,249, BPP 839/kwh, harga sebelum Rp811/kwh, naik
12%, tarif sesudah naik menjadi Rp908/kwh.
III. Kelompok Pelanggan
Industri (I)
a)
Pelanggan I1, daya
1.300 VA, rata-rata pemakaian 178kwh/bln, BPP 1.163/kwh, tarif sebelum
Rp724/kwh, dengan kenaikan 6%, maka tarif baru menjadi Rp767/kwh.
b)
Pelanggan I2, daya
2.200 VA, rata-rata pemakaian 273 kwh per bulan, BPP Rp1.163/kwh, tarif sebelum
naik Rp746/kwh, kenaikan 6%, maka tarif sesudah naik menjadi Rp790/kwh.
c)
Pelanggan I3, daya
2.200VA sampai dengan 14 KVA, rata-rata pemakaian 872/kwh/bln, BPP Rp1.163,
tarif sebelum naik Rp872/kwh, kenaikan 9%, maka tarif baru menjadi Rp916/kwh.
d)
Pelanggan 14 KVA
sampai dengan 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 11.342, BPP Rp839/kwh,
tarif sebelum naik Rp805/kwh, kenaikan 9%, tarif baru Rp878/kwh.
e)
Pelanggan di atas 200
KVA, rata-rata pemakaian per bulan 314.435, BPP Rp 839/kwh, TDL sebelum naik
Rp641/kwh, kenaikan 15%, tariff baru menjadi Rp737/kwh.
f)
Pelanggan di atas
30.000, rata-rata pemakaian 16.592.651, BPP Rp718/kwh, tarif sebelum naik
529/kwh, kenaikan 15%, tarif baru menjadi Rp608/kwh.[3]
Persetujuan
kenaikan TDL dicapai dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM
Darwin Saleh yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya di Jakarta
hari Selasa tanggal 15/6/2010.
Persetujuan
Komisi VII DPR tersebut merupakan tindak lanjut UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang
APBN Perubahan 2010. Sesuai Pasal 8 UU 2 Tahun 2010, alokasi anggaran subsidi
listrik ditetapkan Rp55,1 triliun dengan asumsi TDL dinaikkan rata-rata 10
persen mulai 1 Juli 2010 untuk menutupi kekurangan subsidi Rp4,8 triliun.
Dengan kenaikan
15 persen saja, pemerintah masih harus menambah subsidi listrik dari Rp 37,8
triliun dalam APBN 2010 menjadi Rp 54,5 triliun dalam RAPBN-P 2010. Namun jika
TDL batal dinaikkan, maka subsidi akan bertambah Rp 7,3 triliun.
Hal
yang menarik untuk dikaji berkenaan dengan kenaikan TDL adalah dampak yang akan
ditimbulkan terhadap kondisi ekonomi pelanggan kecil. Secara langsung, dampak
kenaikan TDL tercermin dari meningkatnya angka inflasi. Dalam ilmu ekonomi,
inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar. Ia dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak
lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi
adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga.
Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi.
Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus
dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk
mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai
penyebab meningkatnya harga.
Inflasi
dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat,
dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah
angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10% - 30% setahun; inflasi berat
antara 30% - 100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi
apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Badan
Pusat Statistik (BPS) menjelaskan sebenarnya kenaikan inflasi sebagai dampak
langsung kenaikan TDL yang akan diterapkan Juli 2010 diperkirakan hanya sebesar
0,36%. Namun yang perlu dikhawatirkan adalah imbasnya terhadap sektor industri.
Inflasi akan semakin membengkak bila kenaikan TDL itu kemudian menyebabkan efek
ganda dan memicu para produsen menaikkan harga barang dan jasa secara sepihak.
Tambahan
angka inflasi hingga 0,4%-0,5% tersebut telah dimasukkan dalam perhitungan
angka inflasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan
(RABN-P) 2010 yang dipatok di level 5,3%.
Jika tidak ada
kenaikan TDL diperkirakan inflasi itu di kisaran 4,5-4,8%, namun untuk
mengamankan inflasi dari kenaikan TDL dan hal-hal lainnya maka asumsi angka
inflasi dalam RAPBNP 2010 dipasang di angka 5,3%.
Kenaikan
Tarif Dasar Listrik (TDL) mulai 1 Juli 2010 mendatang akan memberikan dampak
besar pada berbagai sektor, baik makro maupun mikro. Secara makro, dampak kenaikan
TDL ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya
tingkat kesempatan kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan
konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi
(cost of production).
Dalam
sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sedang menghadapi era pasar
bebas, kenaikan TDL berdampak besar ke depannya.
Seharusnya
kenaikan ini mempertimbangkan dampak terhadap kenaikan biaya/ongkos produksi
dan biaya barang dari UMKM, yang akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sebab,
harus disadari kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini juga akan berdampak
signifikan terhadap pelaku industri terutama baja, tekstil, petrokimia serta
usaha kecil dan menengah (UKM), menyebabkan turunnya pendapatan riil rumah
tangga golongan bawah yang notabene adalah sebagian besar pelanggan kecil dari
PLN. Turunnya pendapatan tersebut pada gilirannya juga akan menurunkan
permintaan akan barang dan jasa. Sektor ekonomi yang paling besar terkena
dampaknya adalah sektor industri makanan yang akan mengalami penurunan
permintaan.
Karena
terjadi penurunan permintaan, para produsen akan mengurangi produksinya. Hal
itu akan menyebabkan turunnya balas jasa atau insentif yang diterima para
buruh. Sehingga pada akhirnya kenaikan TDL akan mengurangi pendapatan
institusi, yaitu kelompok masyarakat paling bawah.
Solusi
Sebenarnya,
faktor penentu harga jual listrik yang terpenting adalah ketersediaan pasokan
energi pembangkit. Atas dasar itu, langkah PLN untuk memastikan terhentinya
pemadaman listrik (byar pet) pada 30 Juni 2010 harus dibayar dengan biaya
energi yang tinggi.
Unbundling
juga bisa sebagai penyebab kenaikan harga tarif dasar listrik (HTDL) hingga 50
persen, karena setiap entitas (pembangkitan, transmisi dan distribusi) harus
menanggung beban administrasi dan operasional sendiri-sendiri. Belum lagi
dengan misi profitisasi PLN yang memprioritaskan laba daripada fungsinya
sebagai public service obligation. Hal ini seiring dengan keikutsertaan swasta
yang tidak akan membuat tarif listrik semakin murah tetapi semakin mahal karena
swasta akan berupaya mendapat keuntungan lebih dari investasinya.
Berdasarkan
data dari Assosiasi Pertekstilan Indonesia pada Juni 2010, biaya produksi
industri tekstil meningkat hingga 4,5 persen dimana komponen listrik menyumbang
30 persen dari keseluruhan biaya produksi tekstil.
Ada beberapa
pilihan tindakan penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pengusaha tekstil dalam
menghadapi kenaikan TDL, antara lain :
1. Rasionalisasi
karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan bagian produksi
(buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah buruh.
2. Penurunan
marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan keuntungan
perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi dinaikkan sedangkan
biaya produksi untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan juga
berkurang karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata persentase
kenaikan sebesar 10% -15%. Perusahaan tidak melakukan rasionalisasi karyawan
tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan tetapi hal ini tidak akan
mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA akan berpikir bahwa investasi
di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk mengalihkan
atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini terjadi maka
iklim investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha akan semakin
mengalami kemunduran.
3. Meningkatkan
harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan
lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar negeri. Dengan
melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka perusahaan bisa
menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan ini lebih
cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan daya
beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen meningkat
akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhannya,
misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan kenaikan harga
barang-barang kebutuhan pokok.
Ketiga
alternatif pilihan tersebut sangat merugikan masyarakat. Apabila alternatif
pertama ditempuh, perusahaan akan sedikit berhemat dalam cost upah buruh,
tetapi dampaknya adalah terjadi PHK besar-besaran dan pengangguran dimana-mana.
Hal ini jelas menambah beban pengangguran Indonesia, dimana masih banyak
masyarakat Indonesia belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Berdasarkan data
yang diperoleh penulis, sekarang diperkirakan ada lebih dari 10 juta penganggur
terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penganggur (undremployed).
Masalah pengangguran bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa
Indonesia dewasa ini dan ke depan.
Alternatif
kedua berdampak pada keuntungan yang diperoleh perusahaan menurun akibat
kenaikan TDL di satu sisi dan di sisi lain bahan baku juga mengalami kenaikan.
Hal ini sangat merugikan perusahaan dan lebih lanjut timbul kekhawatiran
perusahaan akan mengalami kebangkrutan atau malah gulung tikar.
Pilihan ketiga
merupakan pilihan yang banyak ditempuh oleh perusahaan dalam bidang apapun,
kenaikan TDL berimbas pada peningkatan harga jual produk. Ketika harga barang
naik, secara ilmu ekonomi, maka permintaan akan barang tersebut akan menurun.
Terlebih lagi apabila kenikan harga barang tidak dibarengi dengan kenaikan
gaji/pendapatan masyarakat di sisi lain. Masyarakat golongan bawah yang akan
benar-benar merasakan imbasnya.
Kebijakan
deregulasi dan debirokratisasi ole pemeintah perlu lebih ditajamkan hingga menyentuh
pada persoalan mendesak. Disamping itu, percepatan restrukturisasi sektor
perbankan mutlak dilakukan guna mendukung bergeraknya sektor riil. Dengan
demikian, dampak negatif kenaikan TDL pada perekonomian dapat direduksi dengan
jalan penciptaan iklim usaha yang lebih favourable.
Hal
yang perlu mendapat perhatian juga adalah perlunya PLN melakukan sosialisasi
sebelum kenaikan TDL diberlakukan kepada seluruh sektor, khususnya kepada
sektor industri tekstil yang paling banyak menggunakan tenaga listrik dan
tenaga kerja. Sosialisasi tersebut sangat penting untuk menghadapi
masalah-masalah yang terjadi.
Selama
ini kenaikan TDL lebih cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada
pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh karena mereka tidak
bisa melakukan antisipasi sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah
terlebih dahulu melakukan sosialisasi kenaikan TDL tersebut dengan mengadakan
seminar/diskusi dengan dunia usaha sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan
antisipasi untuk produk berikutnya.
Seharusnya,
masalah krisis listrik bukan diatasi dengan menaikan tarif, tetapi secara bijak
mencari energi alternatif. Walaupun jalan yang harus ditempuh pada akhirnya
adalah dengan menaikkan tarif listrik, catatan penting bagi PLN selaku pemegang
otoritas bidang kelistrikan adalah pelayanan yang lebih baik dan tidak adanya
byar pet yang akan menghambat jalannya produksi dalam negeri, merugikan
perusahaan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Dampak
dari kenaikan TDL tersebut akan semakin menghimpit masyarakat kecil karena akan
memicu kenaikkan harga barang-barang. Sedangkan upah buruh maupun pegawai tidak
mengalami kenaikan untuk menyesuaikan dampak kenaikan tersebut.
Melihat
fenomena tersebut di atas, semestinya pemerintah berperan dalam mengatur
kegiatan perekonomian sehingga ia dapat melakukan kegiatannya dengan lebih
stabil dan selalu menuju ke tingkat kesempatan kerja penuh. Seperti diketahui
berdasarkan teori Keynes, tanpa campur tangan pemerintah perekonomian suatu
negara tidak akan mencapai tingkat kesempatan kerja penuh dan kestabilan
kegiatan ekonomi tidak dapat terwujud. Akan terjadi fluktuasi kegiatan ekonomi
yang lebar dari satu periode ke periode lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi
yang serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga. Untuk
menghindari masalah itu, Keynes menekankan perlunya campur tangan pemerintah.
Sekali
lagi, pemerintah perlu berhitung lebih cermat tiap kali akan menaikkan TDL.
Kebijakan menaikkan TDL perlu dibarengi dengan pelayanan yang lebih baik, tidak
ada pemadaman bergilir (byar pet), dan perbaikan usaha penyediaan lapangan
kerja yang diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan terutama pada
masyarakat paling bawah. Tanpa usaha tersebut kenaikan TDL akan berdampak negatif
karena akan menurunkan pendapatan riil masyarakat.
Kenaikan
TDL bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi subsidi, tapi harus diikuti
dengan langkah-langkah terobosan berupa peningkatan efisiensi dari produk
listrik, baik efisiensi dalam overhead cost yang masih harus ditekan maupun
direct cost.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar