Elsi Sabda Amali
170110130009
ISU YANG MENGANCAM KEDAULATAN RAKYAT
-
Konflik Papua
Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1
Mei 1963, berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara pemerintah
Indonesia dan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia
atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang
berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dialnda gejolak
separatisme hingga kini.
Papua memliki sebuah organisasi yang
bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri pada tahun 1964. Manuver
awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah
berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktivitas umum OPM adalah
manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase
sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau
penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut
pada faktor-faktor berikut:
1.
Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah
diaakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda.
2.
Pelanggaran HAM, baik yang dilakukan pasukan
Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka.
3.
Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat
asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentukya
stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.
Dalam
perkembangan selanjutnya, masih menurut Heidbuchel, terdapat tiga jalan yang
dapat menyeleaikan konflik. Pertama adalah Merdeka, yang dimotori oleh OPM.
Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan
rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Kedua, pro Indonesia yang
kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari
luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian
elit pemerintah pusat. Ketiga adalah otonpmi khusus, yang didukung mayoritas
elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan
LSM. Otonomi khusus secara formal telah disepakati melalui Undang-undang nomor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri tanggal 21 November 2001. Namun, kesulitan utamanya
adalah ralisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata. Kendati punya sumber
daya alam yang melimpah, provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di
Indonesia: alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin.
Ans Gregory da
Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Oengetahuan Indonesia (LIPI) yang
selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua. Tim peneliti
merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua.
Pertama, marginalisasi eonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembanguan
ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat
mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil
melakukan pembangunan Papua terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan
pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigm seputar
sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi
serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat
Papua oleh negara di masa lalu.
Pembangunan
yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus
bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara objektif membuka ruang besar bagi
rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak
kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada
empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin
adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan. Komisi yang khusus menyelidiki proses
penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada
kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di papua adalah penerapan
secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.
Solusi dari
konflik Papua di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian dan kemajuan Papua ada
di Undang-undang Otonomi Khusus Papua nomor 21 tahun 2001. Salah satunya ada
dalam poin B yang menjelaskan akan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, dan
nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak
untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar. Hal tersebut tentu saja akan
memicu perdamaian dan kemajuan untuk provinsi Papua. Sehingga tak ada lagi
perbedaan antar provinsi yang dapat merusak persatuan di Indonesia.
Sumber: setabasri01.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar