Minggu, 05 Oktober 2014

ISU YANG MENGANCAM KEDAULATAN RAKYAT "Konflik Papua"

Elsi Sabda Amali
170110130009


ISU YANG MENGANCAM KEDAULATAN RAKYAT
-          Konflik Papua

Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963, berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dialnda gejolak separatisme hingga kini.

Papua memliki sebuah organisasi yang bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri pada tahun 1964. Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktivitas umum OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut pada faktor-faktor berikut:

1.       Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diaakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda.
2.       Pelanggaran HAM, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka.
3.       Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentukya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.

Dalam perkembangan selanjutnya, masih menurut Heidbuchel, terdapat tiga jalan yang dapat menyeleaikan konflik. Pertama adalah Merdeka, yang dimotori oleh OPM. Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Ketiga adalah otonpmi khusus, yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM. Otonomi khusus secara formal telah disepakati melalui Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 21 November 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah ralisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata. Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia: alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin.
Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Oengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua. Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua. Pertama, marginalisasi eonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembanguan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan Papua terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigm seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu.
Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara objektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan. Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.
Solusi dari konflik Papua di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian dan kemajuan Papua ada di Undang-undang Otonomi Khusus Papua nomor 21 tahun 2001. Salah satunya ada dalam poin B yang  menjelaskan akan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar. Hal tersebut tentu saja akan memicu perdamaian dan kemajuan untuk provinsi Papua. Sehingga tak ada lagi perbedaan antar provinsi yang dapat merusak persatuan di Indonesia.










Sumber: setabasri01.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar