Demokrasi
di Kebiri
Oleh:
Andreas Sario Wibowo
Indonesia merupakan negara demokrasi
terbesar di dunia. Indonesia menganut paham demokrasi selama 69tahun semenjak
kemerdekaan nya.dan berlangsung hingga sekarang. Namun hal ini bertentangan
dengan pendapat bapak demokrasi, JJ Rosseau, yang mengatakan bahwa demokrasi
akan kurang optimal jika dilakukan di negara yang luas dengan penduduk yang
juga banyak. Percaya atau tidak, pemikiran JJ Rosseau ini terbukti di Indonesia
sekarang.
Belakangan ini, isu demokrasi
kembali mencuat ke publik setelah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengesahkan
RUU Pilkada yang baru menggantikan UU Pilkada no 32 tahun 2004. Banyak kalangan
yang menganggap RUU ini merenggut Hak-hak Demokrasi rakyat. Bahkan beberapa pekan
terakhir, RUU Pilkada ini menjadi trending topik di berbagai media. Alasannya
jelas, RUU terbaru mengatur pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Gubernur, di pilih
oleh anggota DPRD.
RUU Pilkada ini disiapkan oleh
Kementrian Dalam Negeri sejak 2010 dan mengandung ketentuan bahwa Kepala Daerah
dipilih oleh DPRD. Dengan alasan, yang sering kali di umbarkan oleh anggota
DPR, kurang lebih sebagai berikut :
1. Mencegah
terjadinya Dinasti politik
2. Pilkada
langsung menelan biaya besar
3. Pilkada
langsung mengantar sekitar 290 Kepala Daerah terlibat masalah hukum sejak tahun
2004
Selain itu, juga terdapat dua
argumentasi dalam Naskah RUU :
1.
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 memiliki kekurangan mendasar dalam menempatkan otonom provinsi
dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan berujung pada
bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya.
2.
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah terkait dengan diskursus posisi wakil
kepala daerah.
Dalam andagium Pranciss, dikenal
istilah Histoire se Repete (sejarah
selalu berulang). Mungkin ini lah yang sedang terjadi di Indonesia. RUU terbaru
ini mengindikasikan bahwa, kita akan
kembali menggunakan UU no 22 tahun 1999, dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD.
Hak rakyat untuk memilih pemimpin
nya sendiri yang telah berlangsung selama 9 tahun di rampas oleh RUU Pilkada.
Dan hal ini juga semakin menunjukkan bahwa Anggota DPR bukanlah representatif
rakyat melainkan representatif partai. Karena menurut hasil survey LSI 81.25%
responden setuju dengan Pilkada langsung.
Menurut penulis, RUU ini tidak-lah
tepat disahkan atau bahkan dijalankan jika yang menjadi alasan adalah pendapat
para anggota DPR yaitu, mencegah dinasti politik, political high cost, dan
masalah Kepala Daerah yang terjerat hukum.
Poin pertama
yang di amati penulis adalah political high-cost dan dinasti politik. Jika
kedua hal itu yang menjadi alasan, RUU ini sangat-lah tidak tepat, kenapa?
Karena, Sistem yang seperti ini sudah pernah kita lakukan di masa Orde Baru.
Alhasil, politik uang dan dinasti politik berlangsung dengan baik selama 32
tahun. Jika alasan ini yang di ajukan, tampaknya Anggota DPR kita tidak belajar
dari masa lalu.
Poin kedua
adalah terkait dengan banyaknya Kepala Daerah yang terjerat kasus hukum selama
bergulirnya sistem Pemilukada. Hal ini pun sebenarnya tidak-lah patut dijadikan
alasan. Karena menurut penulis, yang salah itu bukanlah sistem, melainkan
proses. Indonesia sudah menganut berbagai sistem pemilihan Kepala Daerah.
Bahkan sejak zaman kolonial Belanda-pun kita sudah memiliki sistem untuk
penyelenggaraannya. Namun, sejarah mencatat, tidak satu-pun dari sistem
tersebut yang berjalan dengan tanpa ada nya ketiga unsur alasan dari anggota
DPR tadi. Kesimpulannya, poin yang harus di ubah untuk menghapuskan ketiga
unsur tersebut adalah dengan memperbaiki pengawasan terhadap proses
penyelenggaraannya. Apapun sistem yang kita anut, baik langsung maupun tidak
langsung, yang harus di utamakan adalah pengawasan atas proses tersebut. Selama
terdapat celah untuk melakukan penyimpangan, akan tetap banyak Kepala Daerah
yang terjerat hukum.
Poin ketiga
adalah inti dari RUU itu sendiri yaitu, pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh
anggota DPRD. Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, Anggota DPRD saat ini
tidak-lah sepenuhnya representatif dari masyarakat melainkan representatif dari
partai politik. Dari pernyataan tersebut muncul pertanyaan, apakah pembangunan
dan sistem pemerintahan yang akan dilakukan Kepala Daerah nantinya berorientasi
pada masyarakat/rakyat atau berorientasi pada partai pendukung nya?
Kesimpulannya, poin yang harus di
ubah untuk menghapuskan ketiga unsur tersebut sebenarnya adalah dengan
memperbaiki pengawasan terhadap proses penyelenggaraannya. Apapun sistem yang
kita anut, baik langsung maupun tidak langsung, yang harus di utamakan adalah
pengawasan atas proses tersebut. Jangan sampai para wakil rakyat memaksakan RUU
ini hanya semata-mata untuk kepentingan politis yang hanya mengutungkan satu
golohgan saja. Karena implikasi dari RUU ini sangat-lah besar yaitu berkaitan
dengan Hak-Hak Demokrasi Rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar