Minggu, 05 Oktober 2014

Demokrasi di Kebiri

Demokrasi di Kebiri
Oleh: Andreas Sario Wibowo
            Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia. Indonesia menganut paham demokrasi selama 69tahun semenjak kemerdekaan nya.dan berlangsung hingga sekarang. Namun hal ini bertentangan dengan pendapat bapak demokrasi, JJ Rosseau, yang mengatakan bahwa demokrasi akan kurang optimal jika dilakukan di negara yang luas dengan penduduk yang juga banyak. Percaya atau tidak, pemikiran JJ Rosseau ini terbukti di Indonesia sekarang.
            Belakangan ini, isu demokrasi kembali mencuat ke publik setelah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengesahkan RUU Pilkada yang baru menggantikan UU Pilkada no 32 tahun 2004. Banyak kalangan yang menganggap RUU ini merenggut Hak-hak Demokrasi rakyat. Bahkan beberapa pekan terakhir, RUU Pilkada ini menjadi trending topik di berbagai media. Alasannya jelas, RUU terbaru mengatur pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Gubernur, di pilih oleh anggota DPRD.
            RUU Pilkada ini disiapkan oleh Kementrian Dalam Negeri sejak 2010 dan mengandung ketentuan bahwa Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Dengan alasan, yang sering kali di umbarkan oleh anggota DPR, kurang lebih sebagai berikut :
1.    Mencegah terjadinya Dinasti politik
2.    Pilkada langsung menelan biaya besar
3.    Pilkada langsung mengantar sekitar 290 Kepala Daerah terlibat masalah hukum sejak tahun 2004

Selain itu, juga terdapat dua argumentasi dalam Naskah RUU :
1.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kekurangan mendasar dalam menempatkan otonom provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan berujung pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya.
2.      Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah terkait dengan diskursus posisi wakil kepala daerah.

            Dalam andagium Pranciss, dikenal istilah Histoire se Repete (sejarah selalu berulang). Mungkin ini lah yang sedang terjadi di Indonesia. RUU terbaru ini mengindikasikan  bahwa, kita akan kembali menggunakan UU no 22 tahun 1999, dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD.
            Hak rakyat untuk memilih pemimpin nya sendiri yang telah berlangsung selama 9 tahun di rampas oleh RUU Pilkada. Dan hal ini juga semakin menunjukkan bahwa Anggota DPR bukanlah representatif rakyat melainkan representatif partai. Karena menurut hasil survey LSI 81.25% responden setuju dengan Pilkada langsung.
            Menurut penulis, RUU ini tidak-lah tepat disahkan atau bahkan dijalankan jika yang menjadi alasan adalah pendapat para anggota DPR yaitu, mencegah dinasti politik, political high cost, dan masalah Kepala Daerah yang terjerat hukum.
Poin pertama yang di amati penulis adalah political high-cost dan dinasti politik. Jika kedua hal itu yang menjadi alasan, RUU ini sangat-lah tidak tepat, kenapa? Karena, Sistem yang seperti ini sudah pernah kita lakukan di masa Orde Baru. Alhasil, politik uang dan dinasti politik berlangsung dengan baik selama 32 tahun. Jika alasan ini yang di ajukan, tampaknya Anggota DPR kita tidak belajar dari masa lalu.
Poin kedua adalah terkait dengan banyaknya Kepala Daerah yang terjerat kasus hukum selama bergulirnya sistem Pemilukada. Hal ini pun sebenarnya tidak-lah patut dijadikan alasan. Karena menurut penulis, yang salah itu bukanlah sistem, melainkan proses. Indonesia sudah menganut berbagai sistem pemilihan Kepala Daerah. Bahkan sejak zaman kolonial Belanda-pun kita sudah memiliki sistem untuk penyelenggaraannya. Namun, sejarah mencatat, tidak satu-pun dari sistem tersebut yang berjalan dengan tanpa ada nya ketiga unsur alasan dari anggota DPR tadi. Kesimpulannya, poin yang harus di ubah untuk menghapuskan ketiga unsur tersebut adalah dengan memperbaiki pengawasan terhadap proses penyelenggaraannya. Apapun sistem yang kita anut, baik langsung maupun tidak langsung, yang harus di utamakan adalah pengawasan atas proses tersebut. Selama terdapat celah untuk melakukan penyimpangan, akan tetap banyak Kepala Daerah yang terjerat hukum.
Poin ketiga adalah inti dari RUU itu sendiri yaitu, pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, Anggota DPRD saat ini tidak-lah sepenuhnya representatif dari masyarakat melainkan representatif dari partai politik. Dari pernyataan tersebut muncul pertanyaan, apakah pembangunan dan sistem pemerintahan yang akan dilakukan Kepala Daerah nantinya berorientasi pada masyarakat/rakyat atau berorientasi pada partai pendukung nya?

            Kesimpulannya, poin yang harus di ubah untuk menghapuskan ketiga unsur tersebut sebenarnya adalah dengan memperbaiki pengawasan terhadap proses penyelenggaraannya. Apapun sistem yang kita anut, baik langsung maupun tidak langsung, yang harus di utamakan adalah pengawasan atas proses tersebut. Jangan sampai para wakil rakyat memaksakan RUU ini hanya semata-mata untuk kepentingan politis yang hanya mengutungkan satu golohgan saja. Karena implikasi dari RUU ini sangat-lah besar yaitu berkaitan dengan Hak-Hak Demokrasi Rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar