Firas Muhammad Herdian
170110130057 / Kelas A
UU MD3 dan RUU Pilkada 2014, Perampok Kedaulatan Rakyat
Direvisinya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD 3) dan Perubahan
terhadap UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (UU Pilkada 2014) yang telah disahkan dalam September 2014 ini juga oleh
DPR (khususnya oleh Koalisi Merah Putih) sesungguhnya merupakan pengkhianatan
terhadap perjuangan demokrasi, dan perampokan terhadap kedaulatan rakyat, yang
disahkan melalui lembaga legislatif.
Revisi UU MD3
Revisi UU MD3 dilakukan secara
tergesa-gesa oleh Koalisi Merah-Putih di DPR, yaitu pada 8 Juli 2014, atau
hanya sehari sebelum Pilpres diselenggarakan.
Ketergesaan Koalisi Merah Putih
melakukan revisi UU MD3 itu diduga kuat terkait dengan langkah antisipasi
mereka, ketika melihat kecenderungan Jokowi akan menang di Pilpres 2014 ini,
maka mereka buru-buru mengatur strategi antisipatif dengan menyusun kekuatannya
di parlemen. Untuk itu diperlukan perubahan dalam beberapa ketentuan pasal di
UU tersebut untuk bisa memperkuat posisi mereka, dan sebaliknya melemahkan
posisi koalisi PDIP di parlemen.
Kalau sebelumnya, setelah reformasi,
ketua DPR adalah dari parpol yang terbanyak suaranya di pemilu legislatif, dan
empat wakil ketuanya dari masing-masing parpol terbanyak urutan kedua, ketiga,
dan seterusnya, maka sekarang diubah menjadi untuk menentukan ketua dan para
wakil ketua DPR harus melalui mekanisme musyarawah-mufakat, yang jika tidak
tercapai harus melalui cara voting.
Dengan ketentuan baru hasil revisi
ini, maka tentu saja calon dari Koalisi Merah Putih yang pasti terpilih,
sekalipun dia berasal dari parpol yang jumlah suaranya paling kecil di pemilu
legislatif. Demikian juga halnya untuk empat orang wakilnya, akan diborong
semua oleh Koalisi Merah Putih. Tidak hanya ketua dan wakil ketua DPR, semua
ketua komisi pun akan ditentukan dengan cara yang sama. Alhasil semua parpol
yang bergabung bersama PDIP tidak akan mendapat apa-apa di DPR. Hal ini
dibuktukan dengan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR.
“Tidak apa-apa presidennya Jokowi, tapi DPR
kita sapu bersih!” demikian pembicaran di antara politikus anggota Koalisi
Merah Putih itu.
Revisi pasal di UU MD3 ini terlihat
benar-benar khusus diperuntukkan untuk menguasai seluruh lini di parlemen,
sekaligus melemahkan posisi Koalisi PDIP
dan Jokowi.
Selain itu, diduga untuk memberi
kelonggaran mereka dalam bermain anggaran – tidak diawasi secara ketat lagi,
revisi UU itu pun dilakukan dengan menghapus ketentuan tentang Badan
Akuntalibitas Keuangan Negara (BAKN) dari alat kelengkapan DPR. Sedangkan untuk
mempersulit pemeriksaan terhadap anggota DPR dari dugaan melakukan suatu
kejahatan tertentu, termasuk korupsi oleh penyidik (Polri, Kejaksaan Agung, dan
KPK) dibuat ketentuan pasal baru, yaitu setiap tindakan pemeriksaan dan
penyidikan terhadap anggota DPR harus dengan seizin presiden. Padahal di UUD
1945 jelas-jelas menyebutkan semua WNI tanpa kecuali sama di depan hukum.
Apalagi kejahatan korupsi adalah
kejahatan luar biasa maka sangat tak masuk akal jika untuk memeriksa seorang
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi itu harus dipersulit
dengan harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden, seperti yang sudah
dibuat pasalnya itu.
UU Pilkada 2014
Seperti yang sudah kita ketahui
bersama, perubahan itu menyangkut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Dari semula, yang selama ini (pasca jatuhnya rezim Orde Baru)
dipilih langsung oleh rakyat, menjadi dipilih oleh DPRD, jadi kembali ke sistem
yang digunakan di era Orde Baru.
Alasan dari para anggota dewan yang
terhormat khususnya Koalisi Merah Putih adalah karena anggaran pilkada yang
terlalu besar, terjadinya politik uang di setiap pilkada, dan di beberapa
pilkada yang pernah diselenggarakan terjadi kerusuhan dan bentrok horizontal.
RUU
pun telah disahkan dan secara resmi menjadi UU dalam Sidang Paripurna DRI RI
pada tanggal 24 September 2014 telah diputuskan bahwa, Pemilihan Kepala Daerah
dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD dalam sidang
yang diwarnai walkout-nya Fraksi
P-Demokrat, yang tidak lain tidak bukan bos besarnya adalah Presiden kita. Hal ini tentu membuat geram masyarakat
Indonesia karena tidak ada hak lagi untuk menyuarakan suaranya dalam pemilihan
kepala daerah di negara yang mengaku pada dunia bahwa menganut sistem
pemerintahan demokrasi ini.
Dengan walkout-nya partai berwarna biru tersebut, kemenangan Koalisi Merah
Putih sebagai kelompok penggagas RUU Pilkada ini sudah sangat bisa ditebak.
Lawannya Fraksi PDI-P dan kawan-kawan kalah jumlah melawan Koalisi Merah Putih
yang terlihat seperti boneka Prabowo tersebut.
Analisis
UU MD3 yang
telah terlihat realisasinya kemarin membuat saya murka. Betapa saya sangat kesal
melihat Koalisi Merah Putih yang disetir oleh Prabowo ini. Terplilhnya Setya
Novanto sebagai Ketua DPR, serta Fadli Zon yang bicaranya ngawur itu sebagai wakil ketua sudah membuat saya tidak terlalu
berharap banyak mengenai masa depan Indonesia 5 tahun mendatang serta tak bisa memberi
solusi yang baik dalam menghadapi masalah ini, selain menunggu kapan saatnya
Koalisi Merah Putih ini musnah dan kembali merevisi UU MD3.
Tujuan utama UU MD3 ini dengan
menguasai semua lini kekuatan di DPR pasti dimaksud untuk bisa terus menyerang
kekuasaan Jokowi secara efektif di parlemen. Semua kebijakan Presiden Jokowi
akan dihambat kelancarannya sampai ditolak, meskipun itu jelas-jelas baik untuk
rakyat. Antara lain yang mungkin terjadi nanti adalah sedikit-sedikit kebijakan
Jokowi akan dipermasalahkan, dan sedikit-sedikit Jokowi akan dipanggil ke DPR.
Terlebih itu, yang lebih
mengkhawatirkan dari revisi UU MD3 ini yakni lebih leluasanya lahan anggota
dewan untuk bermain dengan uang rakyat mengingat diistimewakannya anggota DPR
dimata hukum. Disini terlihat melemahnya KPK serta lembaga lainnya dihadapan
para anggota DPR. Bukan saya suudzon
namun dengan seperti ini korupsi akan semakin merajalela namun tidak akan
tercium baunya oleh para penyelidik KPK.
Pandangan saya mengenai pengesahan
UU Pilkada 2014, yang alasannya adalah karena anggaran pilkada yang terlalu
besar, terjadinya politik uang di setiap pilkada, dan di beberapa pilkada yang
pernah diselenggarakan terjadi kerusuhan dan bentrok horizontal. Tentu saja,
semua alasan itu terlalu dibuat-buat.
Mengenai anggaran pilkada yang
terlalu besar, tentu saja bisa, dan saat ini juga sedang, dan sudah dilakukan
dengan memperbaiki beberapa bagian dari sistem yang ada, agar anggaran pilkada
tersebut bisa diperkecil secara signifikan. Misalnya, dengan menentukan
maksimal anggaran kampanye calon setiap kepala daerah, rencana penjadwalan
pilkada diselenggarakan secara serempak di seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Mengenai alasan politik uang di
pilkada langsung, ini alasan yang absurd.
Karena justru jika pilkada dilakukan di DPRD kemungkinan besar terjadinya
politik uang yang malah lebih parah, sosok-menyogok di antara para parpol
pendukung calon, calon, dengan anggota DPRD pasti akan terjadi. Berpotensi
besar, akan terjadi pula lobi-lobi antara DPRD dengan penguasa-penguasa daerah
koruptor, untuk saling melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya
masing-masing dalam menjalankan praktek-praktek korupsi itu.
Anggota DPRD akan semakin kaya dari
politik uang pilkada di DPRD itu, dan alhasil bukan orang terbaik yang bakal
dipilih menjadi bupati, walikota, atau gubernur, tetapi sebaliknya:
orang/parpol yang kuat membayar sogok/suap, tetapi berkemampuan rendah dan
bermental korup. Praktek KKN akan kembali tumbuh subur.
Politik uang di pilkada langsung
pasti bisa diselesaikan secara hukum, dengan berbagai mekanisme perbaikan
sistem dan penegakan hukum yang tegas. Bukankah saat ini KPK sudah semakin
tegas dalam menangkap para kepala daerah yang terlibat dalam kasus-kasus suap?
Ini merupakan peringatan yang paling menakutkan bagi calon-calon kepala daerah
lainnya dalam bermain politik uang.
Jika Pilkada dilakukan di DPRD, maka
kita tidak akan punya lagi kepala-kepala daerah dan wakilnya yang berprestasi
dan membuat PNS-PNS pemalas dan koruptor tersingkir, seperti yang dilakukan
Jokowi dan Ahok di DKI Jakarta, dan Tri Rismaharini di Surabaya.
Mengenai terjadinya konflik
horizontal di beberapa pilkada, sesungguhnya itu merupakan suatu proses
demokrasi yang belum terlalu matang di beberapa daerah. Seiring berlalunya
waktu, dengan semakin baiknya sistem yang diterapkan, dan kesadaran hukum dan
demokrasi yang semakin tinggi, maka pasti secara rata-rata pilkada di Indonesia
akan menjadi jauh lebih baik. Sekarang saja secara rata-rata pilkada di seluruh
Indonesia bisa berlangsung dengan baik, dibandingkan dengan yang tidak.
Berapakah pilkada yang memicu terjadinya konflik horizontal, dibandingkan yang
tidak? Bisa dihitung dengan jari, pun terjadi di daerah-daerah yang kecil
cakupan wilayah dan penduduknya. Maka, jelas alasan Koalisi Merah Putih untuk
memilih kepala daerah melalui DPRD adalah terlalu mengada-ada.
Alasan untuk mengubah ketentuan
pilkada dari langsung oleh rakyat menjadi sistem perwakilan, yaitu oleh DPRD
tersebut jelas-jelas sangat dibuat-buat, hanya supaya ada alasan pembenaran
dari mewujudkan ambisi besar mereka untuk berkuasa. Ketika melalui cara yang
demokratis dan berkedaulatan rakyat tidak bisa mereka menangkan, sebaliknya
justru menjadii ancaman bagi eksistensi mereka yang berperilaku korup, maka
cara merampok kedaulatan rakyat pun mereka tempuh.
Berdasarkan tiga landasan atau
kaidah hukum yakni yuridis, sosiologis, dan filosofis, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan UU MD3 dan UU Pilkada hanya memenuhi syarat kaidah hukum yuridis
(formal). Tetapi, tidak memenuhi kaidah hukum sosiologis (dibutuhkan dan
diterima rakyat) dan kaidah filosofis (sesuai dengan cita-cita dan rasa
keadilan paling dasar rakyat).
Secara kasat mata saja sebenarnya
kita bisa mengetahui bahwa pilkada langsung adalah benar-benar kehendak rakyat,
terbukti dari begitu tinggi antusiasme rakyat dalam ikut aktif dalam setiap
pilkada. Kita bisa mengetahui fakta di lapangan bahwa yang paling dikehendaki
masyarakat luas itu adalah pilkada langsung. Hanya Koalisi Merah Putih di DPR
dan sekelompok kecil masyarakat saja yang menghendaki sistem perwakilan seperti
di era Orde Baru dikembalikan.
Solusi atau cara yang paling mungkin
menghadapi masalah ini hanya dengan menunggu akankah datang keajaiban para
anggota dewan yang terhormat merevisi UU MD3 dan UU Pilkada ini. Dengan
mengunggu apakah akan terjadi gejolak politik di masa depan yang membuat
Koalisi Merah Putih hancur dan menjadi lemah, saat itulah ada cela yang bisa
dimanfaatkan untuk merevisi UU MD3 ini. Karena dengan kekuatan Koalisi Merah
Putih saat ini di parlemen sangat sulit kesempatan untuk menggulingkan UU MD3
dan UU Pilkada ini. Hamdan Zoelva dan kolega di MK pun yang saya harapkan bisa
menjegal masalah ini tidak dapat berbuat banyak karena pada dasarnya hal ini
tak bertentangan dengan UUD 45. Mengharapkan SBY sebagai juru selamat dengan
Perpres-nya pun hanya akan membuat sakit hati. Cara lain mungkin dengan
mengharapkan terbukanya hati nurani para anggota Koalisi Merah Putih yang
nampaknya mustahil terjadi dalam waktu dekat.
Jadi, masihkah Koalisi Merah putih
berani melanjutkan kiprah mereka dalam mengkhianati demokrasi dan merampok
kedaulatan rakyat itu?
Sumber
: politik.kompasiana.com/2014/09/13/aroma-tak-sedap-menyeruak-dari-ruu-md3-ruu-pilkada-674286.html
politik.kompasiana.com/2014/09/14/perampasan-kedaulatan-rakyat-674440.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar