Minggu, 05 Oktober 2014

UU MD3 dan RUU Pilkada 2014, Perampok Kedaulatan Rakyat

Firas Muhammad Herdian
170110130057 / Kelas A

UU MD3 dan RUU Pilkada 2014, Perampok Kedaulatan Rakyat
            Direvisinya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD 3) dan  Perubahan terhadap UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (UU Pilkada 2014) yang telah disahkan dalam September 2014 ini juga oleh DPR (khususnya oleh Koalisi Merah Putih) sesungguhnya merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan demokrasi, dan perampokan terhadap kedaulatan rakyat, yang disahkan melalui lembaga legislatif.
Revisi UU MD3
            Revisi UU MD3 dilakukan secara tergesa-gesa oleh Koalisi Merah-Putih di DPR, yaitu pada 8 Juli 2014, atau hanya sehari sebelum Pilpres diselenggarakan.
            Ketergesaan Koalisi Merah Putih melakukan revisi UU MD3 itu diduga kuat terkait dengan langkah antisipasi mereka, ketika melihat kecenderungan Jokowi akan menang di Pilpres 2014 ini, maka mereka buru-buru mengatur strategi antisipatif dengan menyusun kekuatannya di parlemen. Untuk itu diperlukan perubahan dalam beberapa ketentuan pasal di UU tersebut untuk bisa memperkuat posisi mereka, dan sebaliknya melemahkan posisi koalisi PDIP di parlemen.
            Kalau sebelumnya, setelah reformasi, ketua DPR adalah dari parpol yang terbanyak suaranya di pemilu legislatif, dan empat wakil ketuanya dari masing-masing parpol terbanyak urutan kedua, ketiga, dan seterusnya, maka sekarang diubah menjadi untuk menentukan ketua dan para wakil ketua DPR harus melalui mekanisme musyarawah-mufakat, yang jika tidak tercapai harus melalui cara voting.
            Dengan ketentuan baru hasil revisi ini, maka tentu saja calon dari Koalisi Merah Putih yang pasti terpilih, sekalipun dia berasal dari parpol yang jumlah suaranya paling kecil di pemilu legislatif. Demikian juga halnya untuk empat orang wakilnya, akan diborong semua oleh Koalisi Merah Putih. Tidak hanya ketua dan wakil ketua DPR, semua ketua komisi pun akan ditentukan dengan cara yang sama. Alhasil semua parpol yang bergabung bersama PDIP tidak akan mendapat apa-apa di DPR. Hal ini dibuktukan dengan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR.

 “Tidak apa-apa presidennya Jokowi, tapi DPR kita sapu bersih!” demikian pembicaran di antara politikus anggota Koalisi Merah Putih itu.
            Revisi pasal di UU MD3 ini terlihat benar-benar khusus diperuntukkan untuk menguasai seluruh lini di parlemen, sekaligus melemahkan posisi  Koalisi PDIP dan Jokowi.
            Selain itu, diduga untuk memberi kelonggaran mereka dalam bermain anggaran – tidak diawasi secara ketat lagi, revisi UU itu pun dilakukan dengan menghapus ketentuan tentang Badan Akuntalibitas Keuangan Negara (BAKN) dari alat kelengkapan DPR. Sedangkan untuk mempersulit pemeriksaan terhadap anggota DPR dari dugaan melakukan suatu kejahatan tertentu, termasuk korupsi oleh penyidik (Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK) dibuat ketentuan pasal baru, yaitu setiap tindakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap anggota DPR harus dengan seizin presiden. Padahal di UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan semua WNI tanpa kecuali sama di depan hukum.
            Apalagi kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa maka sangat tak masuk akal jika untuk memeriksa seorang anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi itu harus dipersulit dengan harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden, seperti yang sudah dibuat pasalnya itu.

UU Pilkada 2014
            Seperti yang sudah kita ketahui bersama, perubahan itu menyangkut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari semula, yang selama ini (pasca jatuhnya rezim Orde Baru) dipilih langsung oleh rakyat, menjadi dipilih oleh DPRD, jadi kembali ke sistem yang digunakan di era Orde Baru.
            Alasan dari para anggota dewan yang terhormat khususnya Koalisi Merah Putih adalah karena anggaran pilkada yang terlalu besar, terjadinya politik uang di setiap pilkada, dan di beberapa pilkada yang pernah diselenggarakan terjadi kerusuhan dan bentrok horizontal.
                RUU pun telah disahkan dan secara resmi menjadi UU dalam Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 telah diputuskan bahwa, Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD dalam sidang yang diwarnai walkout-nya Fraksi P-Demokrat, yang tidak lain tidak bukan bos besarnya adalah Presiden kita.  Hal ini tentu membuat geram masyarakat Indonesia karena tidak ada hak lagi untuk menyuarakan suaranya dalam pemilihan kepala daerah di negara yang mengaku pada dunia bahwa menganut sistem pemerintahan demokrasi ini.
            Dengan walkout-nya partai berwarna biru tersebut, kemenangan Koalisi Merah Putih sebagai kelompok penggagas RUU Pilkada ini sudah sangat bisa ditebak. Lawannya Fraksi PDI-P dan kawan-kawan kalah jumlah melawan Koalisi Merah Putih yang terlihat seperti boneka Prabowo tersebut.
           
Analisis
            UU MD3 yang telah terlihat realisasinya kemarin membuat saya murka. Betapa saya sangat kesal melihat Koalisi Merah Putih yang disetir oleh Prabowo ini. Terplilhnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR, serta Fadli Zon yang bicaranya ngawur itu sebagai wakil ketua sudah membuat saya tidak terlalu berharap banyak mengenai masa depan Indonesia 5 tahun mendatang serta tak bisa memberi solusi yang baik dalam menghadapi masalah ini, selain menunggu kapan saatnya Koalisi Merah Putih ini musnah dan kembali merevisi UU MD3.
            Tujuan utama UU MD3 ini dengan menguasai semua lini kekuatan di DPR pasti dimaksud untuk bisa terus menyerang kekuasaan Jokowi secara efektif di parlemen. Semua kebijakan Presiden Jokowi akan dihambat kelancarannya sampai ditolak, meskipun itu jelas-jelas baik untuk rakyat. Antara lain yang mungkin terjadi nanti adalah sedikit-sedikit kebijakan Jokowi akan dipermasalahkan, dan sedikit-sedikit Jokowi akan dipanggil ke DPR.
            Terlebih itu, yang lebih mengkhawatirkan dari revisi UU MD3 ini yakni lebih leluasanya lahan anggota dewan untuk bermain dengan uang rakyat mengingat diistimewakannya anggota DPR dimata hukum. Disini terlihat melemahnya KPK serta lembaga lainnya dihadapan para anggota DPR. Bukan saya suudzon namun dengan seperti ini korupsi akan semakin merajalela namun tidak akan tercium baunya oleh para penyelidik KPK.
            Pandangan saya mengenai pengesahan UU Pilkada 2014, yang alasannya adalah karena anggaran pilkada yang terlalu besar, terjadinya politik uang di setiap pilkada, dan di beberapa pilkada yang pernah diselenggarakan terjadi kerusuhan dan bentrok horizontal. Tentu saja, semua alasan itu terlalu dibuat-buat.
            Mengenai anggaran pilkada yang terlalu besar, tentu saja bisa, dan saat ini juga sedang, dan sudah dilakukan dengan memperbaiki beberapa bagian dari sistem yang ada, agar anggaran pilkada tersebut bisa diperkecil secara signifikan. Misalnya, dengan menentukan maksimal anggaran kampanye calon setiap kepala daerah, rencana penjadwalan pilkada diselenggarakan secara serempak di seluruh Indonesia, dan sebagainya.
            Mengenai alasan politik uang di pilkada langsung, ini alasan yang absurd. Karena justru jika pilkada dilakukan di DPRD kemungkinan besar terjadinya politik uang yang malah lebih parah, sosok-menyogok di antara para parpol pendukung calon, calon, dengan anggota DPRD pasti akan terjadi. Berpotensi besar, akan terjadi pula lobi-lobi antara DPRD dengan penguasa-penguasa daerah koruptor, untuk saling melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing dalam menjalankan praktek-praktek korupsi itu.
            Anggota DPRD akan semakin kaya dari politik uang pilkada di DPRD itu, dan alhasil bukan orang terbaik yang bakal dipilih menjadi bupati, walikota, atau gubernur, tetapi sebaliknya: orang/parpol yang kuat membayar sogok/suap, tetapi berkemampuan rendah dan bermental korup. Praktek KKN akan kembali tumbuh subur.
            Politik uang di pilkada langsung pasti bisa diselesaikan secara hukum, dengan berbagai mekanisme perbaikan sistem dan penegakan hukum yang tegas. Bukankah saat ini KPK sudah semakin tegas dalam menangkap para kepala daerah yang terlibat dalam kasus-kasus suap? Ini merupakan peringatan yang paling menakutkan bagi calon-calon kepala daerah lainnya dalam bermain politik uang.
            Jika Pilkada dilakukan di DPRD, maka kita tidak akan punya lagi kepala-kepala daerah dan wakilnya yang berprestasi dan membuat PNS-PNS pemalas dan koruptor tersingkir, seperti yang dilakukan Jokowi dan Ahok di DKI Jakarta, dan Tri Rismaharini di Surabaya.
            Mengenai terjadinya konflik horizontal di beberapa pilkada, sesungguhnya itu merupakan suatu proses demokrasi yang belum terlalu matang di beberapa daerah. Seiring berlalunya waktu, dengan semakin baiknya sistem yang diterapkan, dan kesadaran hukum dan demokrasi yang semakin tinggi, maka pasti secara rata-rata pilkada di Indonesia akan menjadi jauh lebih baik. Sekarang saja secara rata-rata pilkada di seluruh Indonesia bisa berlangsung dengan baik, dibandingkan dengan yang tidak. Berapakah pilkada yang memicu terjadinya konflik horizontal, dibandingkan yang tidak? Bisa dihitung dengan jari, pun terjadi di daerah-daerah yang kecil cakupan wilayah dan penduduknya. Maka, jelas alasan Koalisi Merah Putih untuk memilih kepala daerah melalui DPRD adalah terlalu mengada-ada.
            Alasan untuk mengubah ketentuan pilkada dari langsung oleh rakyat menjadi sistem perwakilan, yaitu oleh DPRD tersebut jelas-jelas sangat dibuat-buat, hanya supaya ada alasan pembenaran dari mewujudkan ambisi besar mereka untuk berkuasa. Ketika melalui cara yang demokratis dan berkedaulatan rakyat tidak bisa mereka menangkan, sebaliknya justru menjadii ancaman bagi eksistensi mereka yang berperilaku korup, maka cara merampok kedaulatan rakyat pun mereka tempuh.
            Berdasarkan tiga landasan atau kaidah hukum yakni yuridis, sosiologis, dan filosofis, dapat disimpulkan bahwa keberadaan UU MD3 dan UU Pilkada hanya memenuhi syarat kaidah hukum yuridis (formal). Tetapi, tidak memenuhi kaidah hukum sosiologis (dibutuhkan dan diterima rakyat) dan kaidah filosofis (sesuai dengan cita-cita dan rasa keadilan paling dasar rakyat).
            Secara kasat mata saja sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa pilkada langsung adalah benar-benar kehendak rakyat, terbukti dari begitu tinggi antusiasme rakyat dalam ikut aktif dalam setiap pilkada. Kita bisa mengetahui fakta di lapangan bahwa yang paling dikehendaki masyarakat luas itu adalah pilkada langsung. Hanya Koalisi Merah Putih di DPR dan sekelompok kecil masyarakat saja yang menghendaki sistem perwakilan seperti di era Orde Baru dikembalikan.
            Solusi atau cara yang paling mungkin menghadapi masalah ini hanya dengan menunggu akankah datang keajaiban para anggota dewan yang terhormat merevisi UU MD3 dan UU Pilkada ini. Dengan mengunggu apakah akan terjadi gejolak politik di masa depan yang membuat Koalisi Merah Putih hancur dan menjadi lemah, saat itulah ada cela yang bisa dimanfaatkan untuk merevisi UU MD3 ini. Karena dengan kekuatan Koalisi Merah Putih saat ini di parlemen sangat sulit kesempatan untuk menggulingkan UU MD3 dan UU Pilkada ini. Hamdan Zoelva dan kolega di MK pun yang saya harapkan bisa menjegal masalah ini tidak dapat berbuat banyak karena pada dasarnya hal ini tak bertentangan dengan UUD 45. Mengharapkan SBY sebagai juru selamat dengan Perpres-nya pun hanya akan membuat sakit hati. Cara lain mungkin dengan mengharapkan terbukanya hati nurani para anggota Koalisi Merah Putih yang nampaknya mustahil terjadi dalam waktu dekat.
            Jadi, masihkah Koalisi Merah putih berani melanjutkan kiprah mereka dalam mengkhianati demokrasi dan merampok kedaulatan rakyat itu?

Sumber : politik.kompasiana.com/2014/09/13/aroma-tak-sedap-menyeruak-dari-ruu-md3-ruu-pilkada-674286.html

                politik.kompasiana.com/2014/09/14/perampasan-kedaulatan-rakyat-674440.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar