Nama :
Arief Nurhastiana
NPM :
170110130041
Ilmu Administrasi Negara 2013 (A)
Teori
Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat
menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan
rakyat. Teori ini berusaha mengimbangi kekuasaan tunggal raja atau pemimpin
agama. Dengan demikian, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa teori ini
menjadi dasar dari negara-negara demokrasi. Penganut teori ini adalah John
Locke, Montesquieu dan J.J Rousseau.
John Locke membagai kekuasaan
menjadi tiga, yaitu :
1.
Kekuasaan Legislatif: Kekuasaan
untuk membuat dan menetapkan undang-undang.
2.
Kekuasaan Eksekutif: Kekuasaan
untuk melaksanakan undang-undang.
3. Kekuasaan
Federatif: Kekuasaan untuk menetapkan perang dan damai, membuat perjanjian
dengan negara lain dan membuat perjanjian dengan badan di luar negeri.
Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kedaulatan_rakyat
Jokowi Soal RUU Pilkada: Itu Memotong Kedaulatan Rakyat
Jokowi Soal RUU Pilkada: Itu Memotong Kedaulatan Rakyat
Mulya Nurbilkis - detikNews
Ramai-ramai Menolak 'Pilkada DPRD'
Jakarta - Mayoritas
fraksi di DPR menyetujui opsi pelaksanaan Pilkada melalui DPRD dalam rapat
Panja RUU Pilkada. Presiden terpilih, Joko Widodo mengkritisi usulan tersebut
sebagai kemunduran dan memotong kedaulatan rakyat.
"Itu kemunduran
dan memotong kedaulatan rakyat," kata Jokowi saat ditanya mengenai RUU
Pilkada di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakpus, Senin (8/9/2014). Ia
menilai, kalau yang dikritisi pelaksanaan Pilkada, maka seharusnya diperbaiki.
Bukan diubah sistem Pilkadanya.
"Kalau dibilang
anggarannya terlalu besar, ya digabung saja pelaksanaannya. Pelaksanaan
lapangannya yang diperbaiki," ujarnya. Ia tak akan ikut campur dengan
pro-kontra yang sedang terjadi di DPR. Jika pun RUU ini disahkan dan
pelaksanaan Pilkada melalui DPRD bukan ancaman untuk pemerintahannya.
"Ancaman apa?
Bukan ancaman," ujarnya sambil menggelengkan kepala.
Jokowi Anggap Pilkada Lewat DPRD Pangkas Kedaulatan
Rakyat
Selasa,
09 September 2014 , 03:03:00
JAKARTA - Presiden
terpilih periode 2014-2019, Joko Widodo menolak usulan agar kepala daerah
dipilih melalui mekanisme parlemen. Menurut pria yang dikenal dengan sapaan
Jokowi itu, pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD justru merupakan
langkah mundur.
“Ya mundur dong. Masa
dari tangan rakyat kok kembali ke dewan? Itu mundur," kata Jokowi di Balai
Kota DKI, Senin (8/9). Karenanya Jokowi yang juga Gubernur DKI Jakarta meminta
agar para politisi di DPR RI mengoreksi kembali ketentuan di RUU Pilkada
tentang kepala daerah dipilih oleh DPRD. Bila memang pilkada langsung dirasa
terlalu mahal, kata Jokowi, maka DPR memeriksa pelaksanaannya di lapangan.
"Seharusnya yang
dikoreksi itu diperbaiki itu adalah pelaksanaan pilkada, sistemnya, teknisnya.
Kalau masih ada pelaksanaan lapangan ya diperbaiki sistemnya," katanya. Menurutnya,
pemilihan kepala daerah yang diserahkan kepada DPRD artinya memotong kedaulatan
rakyat. "Kemunduran demokrasi. Memotong kedaulatan rakyat," katanya.
Kendati demikian,
Jokowi mengaku tidak memiliki langkah apapun untuk menghentikan ide anggota DPR
itu. Ia menyerahkan persoalan tersebut kepada DPR RI.
"Urusan dewan itu.
Saya nggak ada langkah-langkah. Itu urusannya di sana, nggak mau
berharap-berharap," tandasnya.(rmo/jpnn)
LBH
Keadilan: RUU Pilkada Rampas Kedaulatan Rakyat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM
Lembaga Bantuan Hukum
Keadilan menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang akan disahkan DPR
menjadi UU pada 25 September 2014 merampas kedaulatan rakyat.
"Hak rakyat untuk
memilih kepala daerah secara langsung yang telah berlangsung sejak 2005
terancam dengan RUU Pilkada ini. DPR RI dan Presiden SBY telah merampas
keadulatan rakyat," kata Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie
dalam siaran persnya, Kamis (11/9). Abdul Hamim tidak sependapat dengan
berbagai alasan yang dilontarkan para pendukung pemilihan kepala daerah melalui
DPRD seperti persoalan biaya yang tinggi, praktik politik uang, dan munculnya
perpecahan atau konflik dalam masyarakat.
"Alasan tersebut
sesungguhnya bisa diatasi dengan banyak cara," katanya. Dia mengatakan
bahwa persoalan biaya tinggi bisa diatasi dengan menggelar Pilkada secara
bersamaan seperti yang dilakukan di Aceh sejak 2006, dan melarang kampanye
tertentu yang membutuhkan biaya tinggi. Sedangkan politik uang bisa dilawan
dengan penegakan aturan yang memberikan sanksi berat bagi pelanggarnya.
"Pendidikan
politik yang berkesinambungan bagi rakyat juga akan mencegah politik uang dan
konflik dalam masyarakat," kata Abdul Hamin LBH Keadilan berpandangan
pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga tak mungkin menihilkan praktik
politik uang.
"Politik uang
hanya akan berpindah, dari rakyat ke DPRD. Jika dalam pilkada langsung yang
menerima uang adalah rakyat pemilih, sedangkan dalam pilkada melalui DPRD
adalah anggota DPRD," katanya. Dia mengakui bahwa Pilkada langsung yang
selama ini berlangsung bukan tanpa masalah, dan seharusnya masalah-masalah
tersebut diatasi.
"Mengembalikan
sistim Pilkada kepada DPRD merupakan kemunduran dan tidak menyelesaikan
masalah," katanya. Untuk itu, lanjutnya, LBH Keadilan mengajak rakyat
untuk bersama-sama melawan rencana pengesahan RUU Pilkada tersebut.
Jika saat ini DPR
mengubah sistim Pilkada oleh DPRD, bukan tidak mungkin, dengan mengubah
konstitusi mereka akan mengembalikan sistim pemilihan presiden ke MPR,"
kata Abdul Hamim. (Ant)
Sumber:http://www.satuharapan.com/read-detail/read/lbh-keadilan-ruu-pilkada-rampas-kedaulatan-rakyat
Jika dilihat dari
ketiga berita di atas, dapat diketahui bahwa isu yang sedang marak akhir-akhir
ini adalah pengembalian pemilihan kepala daerah dari Pilkada langsung menjadi
Pilkada tidak langsung atau pemilihannya diserahkan kepada DPRD seperti orde
baru. Tentu saja hal ini mempunyai plus-minusnya, di lain sisi dapat mengurangi
beban anggaran tapi di sisi lain hal ini akan mencabut hak politik rakyat dan
memotong kedaulatan rakyat serta tidak akan ada lagi kepala derah yang sesuai
dengan keinginan rakyat banyak.
Mengapa ini memotong
kedaulatan rakyat? Jika kita lihat tentang Teori Kedaulatan Rakyat di atas,
kita mengetahui kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
berada di tangan rakyat. Jika Pilkada melalui DPRD, otomatis ini tidak sesuai
dengan Teori Kedaulatan Rakyat dan mengancam kedaulatan rakyat karena memotong
kedaulatan rakyat dengan cara mengurangi hak politik rakyat.
Tidak hanya tidak
sesuai dengan Teori Kedaulatan Rakyat, namun juga hal ini melanggar aturan yang
ada dalam UUD 1945 yang memuat empat prinsip demokrasi jika dikaitkan dengan
pemilihan langsung, yaitu kedaulatan rakyat, presidensiil, pemilihan
demokratis, serta otonomi daerah. Kedaulatan rakyat ada di pasal 1 ayat 2 UUD
1945, presidensiil diatur dalam pasal 4, pemilihan demokratis pasal 18 ayat 4,
dan otonomi daerah diatur pasal 18 ayat 2. Dari 4 prinsip tersebut, jika
digabungkan bermakna kepala daerah harus dipilih oleh rakyat.
Memang DPRD merupakan
wakil-wakil suara rakyat, tetapi jika sudah di Parlemen maka mayoritas lebih
mementingkan kepentingan partai dibanding kepentingan rakyat umum. Dengan begitu maka suara rakyat tidak
dapat disalurkan melalu Pilkada tidak langsung ini dan sangat melanggar
konstitusi dan teori kedaulatan rakyat. Suara rakyat yang beragam inipun tidak
akan terlihat lagi, karena suara rakyat ini menjadi tidak berarti lagi.
Jika tujuan dari
Pilkada tidak langsung ini adalah untuk menghindari politik uang dan mengurangi
beban anggaran, tentu saja langkah ini bukan merupakan langkah yang tepat.
Masih ada alternatif lain untuk mengatasi hal itu, seperti memberikan
pendidikan mengenai politik yang baik dimulai dari bangku sekolah dasar serta
Pilkada dilakukan serentak dan berbarengan se-Indonesia. Dengan tetap
diadakannya Pilkada langsung yang baik, maka tidak ada pihak yang dirugikan dan
kita tetap menjunjung tinggi konstitusi yang ada serta tetap berpedoman kepada
kedaulatan rakyat karena Indonesia merupakan negara demokrasi agar tidak
terjadi perpecahan di wilayah NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar