Minggu, 05 Oktober 2014

Isu yang Mengancam Kedaulatan Rakyat "GERAKAN ACEH MERDEKA"

NAMA : AYU YUNINGSIH
NPM     : 170110130015
KELAS:A
GERAKAN ACEH MERDEKA

LATAR BELAKANG TERBENUKNYA GAM (GERAKAN ACEH MERDEKA)
    Latar belakang dan motif yang mendorong terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka adalah disebabkan oleh rasa kekecewaan mendalam akibat perlakuan sepihak pemerintah terhadap masyarakat Aceh. Aceh sebagai salah satu daerah dengan basis Islam terbesar berusaha agar semangat Islam dan tradisi masyarakat Aceh tetap dapat diperhatikan. Namun, hal itu tidak dipenuhi oleh pemerintah, baik era Soekarno (1949) maupun Soeharto (1970). Aceh malah dijadikan “sapi perah” bagi pemrintah pusat di Jakarta.
   Rasa kekecewaan ini berpuncak ketika rakyat Aceh mulai melakukan perlawanan bersenjata. Awalnya, perlawanan ini bersifat kedaerahan di bawah komando Daud Beureuh, salah satu tokoh Aceh yang sangat radikal dalam membela kepentingan masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh terlibat dalam usaha untuk mendirikan sebuah negara Islam. Konsep sama yang digagas oleh Kartosuwiryo dalam bentuk Negara Islam Indonesia di Jawa Barat (1949). Pelawanan Daud Beureuh akhirnya dapat diselesaikan melalui negosiasi antar pemerintah Pusat dengan Daud Beureuh, tetapi terlihat pula usaha represifitas militer dengan menempatkan sejumlah personil militer oleh Soekarno di Aceh. Usaha ini dilakukan dengan tujuan menekan posisi Daud Beureuh untuk menyetujui tawaran pemerintah pusat.  Perlawanan rakyat Aceh tidak berhenti di situ. Memasuki era Soeharto, Aceh dijadikan lahan bisnis bagi para pemodal asing. Seluruh harta kekayaan, khususnya sumber daya alam milik rakyat Aceh dieksploitasi bagi kepentingan pemerintah pusat dan para pemodal asing. Rakyat Aceh semakin menderita akibat perlakuan seperti ini. Manifestasi dari penderitaan tersebut adalah dibentuknya organisasi perlawanan.

   Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah organisasi daerah yang memilki basis utama pergerakan di daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), memiliki tujuan utama menjadikan NAD sebagai sebuah negara baru, terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Organisasi ini dibentuk pada 1976 oleh Hasan Tiro dan para ulama di Aceh. Sebagai sebuah organisasi separais GAM memilki struktur organisasi yang jelas,layaknya sebauh organisasi formal. Pemimpin Tertinggi adalah Daud Beureuh sedangkan Hasan Tiro adalah wali negeri, di samping itu mereka memilki 15 menteri, empat pejabat setingkat gubernur dan enam gubernur.
   Pasca dibentuknya GAM, arah perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh lebih diorientasikan dan direpresentasikan dalam wadah organisasi tersebut. Metode perlawanan GAM adalah kontak fisik melalui konflik senjata dengan pemerintah RI yang diwakili oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kontak senjata dengan TNI sudah dimulai setelah berdirinya organisasi tersebut pada 1976. Eskalasi ini semakin meningkat pasca Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah pusat (orde baru), tahun yang sama. Metode perlawanan gerilya menjadi ciri khas GAM dalam melawan represifitas militer di bumi Serambi Mekah tersebut.  Status GAM diubah menjadi sebuah gerakan separatis yang berusaha mengancam kedaulatan NKRI, yang pada awalnya hanya dianggap sebagai kelompok pengacau biasa. Hal ini diperkuat dengan dukungan rakyat Aceh terhadap keberdaan gerakan separatis tersebut. Maka GAM terus berkembang sebagai sebauh organisasi perlawanan yang cukup dikenal baik di dalam negeri maupun luar negeri.

SEJARAH GAM (GERAKAN ACEH MERDEKA)

   Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh.
   Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong Belanda menyerang Aceh.
   Pernyataan perang ini memicu respon yang cukup keras dari Kerajaan Aceh. Sehingga dalam sebuah riwayat yang beredar di dalam masyarakat Aceh, maklumat perang Belanda ini dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan sindiran, “bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe nyang na lam nanggroe Aceh bek ka teumueng raba (Jangankan merebut Negeri, ayam yang tanpa gigi pun yang ada di bumi Aceh jangan coba-coba disentuh).
Apa yang terjadi kemudian pasca Maklumat perang itu? Aceh terjebak dalam perang yang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi korban, sementara di pihak Belanda sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi korban di samping kerugian material yang cukup besar. Banyaknya korban yang jatuh di antara kedua belah pihak membuat Belanda mengevaluasi kembali kebijakannya, karena perang ini sangat melelahkan dan mengakibatkan kerugiaan sangat besar di pihak Belanda. Bahkan seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler, yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu peperangan di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kematian Jenderal Kohler berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda. Kerajaan Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan rencana peperangan kedua secara besar-besaran.
Meski pada tahun 1942 Belanda keluar dari Aceh, namun maklumat perang tersebut tak pernah dicabut. Hal inilah kemudian yang menimbulkan persoalan baru bagi rakyat Aceh. Di mana tanggal 26 Maret selalu dikenang oleh masyarakat Aceh sebagai babak kelam sejarah Aceh. Rakyat Aceh selalu meminta agar maklumat perang itu dicabut. Karena, selama maklumat perang itu belum dicabut, berarti antara Aceh dan Belanda masih terlibat peperangan. Dan klaim Aceh sebagian dari Indonesia sama sekali keliru.
   Warisan persoalan maklumat perang ini berlanjut sampai sekarang. Masalah kedaulatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tuntutan masyarakat Aceh. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh Tgk Hasan Muhammad di Tiro meletakkan persoalan kedaulatan Aceh sebagai sumber perjuangan gerakannya. Baginya Aceh tak pernah secara sah diserahkan kepada Hindia Belanda (Indonesia).
   Belanda dalam pandangannya melakukan kesalahan besar dengan menggabungkan Aceh ke dalam wilayah teritori Indonesia. Artinya, ketidakmampuan Belanda menaklukkan Aceh dibalas dengan tindakan menyerahkan Aceh secara sepihak kepada Hindia Belanda. Belanda tidak mau mengakui kekalahan berperang dengan kerajaan Aceh. Sebelum munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebenarnya benih-benih perlawanan rakyat Aceh sudah muncul dalam bentuk DI/TII yang dipimpin oleh tokoh Ulama Aceh Kharismatik, Tgk Muhammad Daud Beureu’eh pada Tahun 1953. Namun, gerakan ini masih mengikatkan diri dalam bingkai Republik, di mana DI/TII digabungkan dalam gerakan DI/TII di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini sama sekali bukan bertujuan membentuk kembali Negara Aceh.
   Munculnya Gerakan ini juga disebabkan oleh perlakuan Jakarta yang memasukkan Aceh sebagai bagian Sumatera Utara. Aceh yang telah berjuang mengusir Belanda hanya dijadikan sebagai sebuah keresidenan. Tuntutan rakyat Aceh agar diberi status khusus sebagai wilayah yang berlaku syariat Islam juga tak diakomodir oleh pemerintah di Jakarta.
Berbeda dengan DI/TII, Gerakan Hasan Tiro mencoba mengubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Hasan Tiro secara frontal memperjuangkan pemisahan Aceh dari Jakarta. Bagi Hasan Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan Indonesia. Menurutnya, Aceh hanya memiliki permasalahan dengan Belanda. Karena itu ada tuntutan agar Belanda mencabut maklumat perang dan memulihkan kedaulatan Aceh seperti sedia kala.
   Konflik Aceh pun dimulai. Di satu sisi, Pemerintah sudah mengekalkan bahwa Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Indonesia. Apapun akan dilakukan jika demi mempertahankan sejengkal tanah NKRI ini. Klaim Indonesia terhadap Aceh sudah final: Aceh merupakan bagian dari Indonesia yang harus dipertahankan.
   Sementara GAM mengkampanyekan kemerdekaan untuk Aceh. Pada mulanya kampanye lebih diarahkan pada penyadaran ideologis rakyat Aceh sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan. Meski pada awalnya sangat sedikit masyarakat Aceh yang terpengaruh pada kampanye GAM ini. Di mana gerakan ini hanya popular di tiga wilayah saja yaitu Pidie, Aceh Utara dan Timur.
   Pada awalnya Pemerintah di Jakarta tak begitu merespon gerakan ini. Namun, karena ancaman terhadap keutuhan NKRI betul-betul telah nampak di depan mata, apalagi aktivis GAM di luar negeri sudah kembali ke Aceh dan memicu perang terbuka dengan serdadu republic di Aceh. Mau tak mau memaksa pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata. Akibatnya sudah dapat ditebak, banyak rakyat Aceh yang tak terkait apa-apa dengan gerakan ini ikut menjadi korban.
   Puncaknya pada tahun 1989 secara illegal pemerintah memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, di mana sebelumnya dikenal dengan Operasi Jaring Merah. Aceh dipaksa masuk dalam pusara konflik. Ribuan serdadu dikirim ke Aceh untuk menumpas 120 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Padahal munculnya gerakan ini juga tak terlepas dari kebijakan salah yang diterapkan pemerintah terhadap Aceh. Hasil alam Aceh yang sangat kaya raya dikeruk sedemikian rupa tetapi masyarakat Aceh hidup dalam kemiskinan. Rakyat Aceh menjadi penonton terhadap proyek-proyek besar pemerintah di Aceh. Hasil alam Aceh diekploitasi tanpa henti, sementara rakyat Aceh dijadikan sebagai sapi perahan dan budak di negeri sendiri. Tak hanya itu perlakuan refresif pemerintah juga membuat masyarakat Aceh semakin jauh dengan pemerintah di Jakarta.
   Anehnya, operasi penumpasan GAM menimbulkan persoalan kemanusiaan yang sangat dahsyat. Banyak masyarakat Aceh menjadi korban dari kebijakan pemerintah meski tak ada sangkut pautnya dengan GAM. Operasi yang semula untuk menghancurkan GAM ternyata berubah wujud menjadi operasi pemusnahan etnis Aceh. Kesan ini yang kemudian muncul ketika munculnya gerakan reformasi di Aceh.
Begitu reformasi, tuntutan pencabutan DOM di Aceh menjadi salah satu isu yang menggelinding di kalangan mahasiswa Aceh. Sepertinya, mayoritas masyarakat menghendaki pencabutan status DOM di Aceh. Karena DOM tak lebih sebagai kebijakan legalitas memusnahkan masyarakat Aceh. Terbukti kemudian begitu DOM dicabut, ribuan masyarakat Aceh ikut menjadi korban keganasan serdadu pemerintah.
Perlakuan seperti ini di antaranya yang memaksa mahasiswa Aceh merumuskan ulang posisi Aceh di dalam Indonesia. Melalui Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau Tahun 1999, masyarakat Aceh mengirimkan pesan khusus terhadap Jakarta: Aceh sudah muak terus menerus menjadi bagian dari Indonesia; Aceh ingin merdeka. Sejak itulah lembaga perjuangan masyarakat sipil Aceh, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dilahirkan sebagai lembaga yang memperjuangkan referendum penentuan nasib sendiri untuk rakyat Aceh di bawah pengawasan internasional. Tak tanggung-tanggung, mereka mengusung dua opsi radikal untuk Aceh: Bergabung dengan Indonesia atau pisah (Merdeka).
Sejak saat itu, nasionalisme Aceh seperti menemukan bentuknya kembali. Di berbagai tempat dipasang spanduk berisi keinginan untuk kemerdekaan. Rakyat Aceh tenggelam dalam hysteria referendum untuk kemerdekaan. Gerakannya melingkupi seluruh pelosok Aceh. Nyanyian hikayat Perang Sabil dilantunkan di mana-mana, di berbagai tempat dan kesempatan. Kebencian terhadap Jakarta semakin menjadi-jadi. Jakarta saat itu di mata rakyat Aceh adalah penjajah.
   Puncaknya tepat tanggal 8 November 1999 sekitar 2 juta masyarakat Aceh dari berbagai wilayah di Aceh berkumpul di halaman Mesjid Raya Banda Aceh dan mengikrarkan diri siap berjuang sampai darah penghabisan untuk perjuangan referendum penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh. Sebelumnya, di setiap wilayah sudah digelar konvoi dan aksi massa perjuangan referendum yang diikuti ratusan ribu masyarakat Aceh.
Presiden Gus Dur yang sedang melawat ke Pnom Phen, Kamboja, merespon tuntutan rakyat Aceh dengan mengatakan, “jika Timor-Timur bisa referendum, mengapa Aceh tidak? Itu kan tidak adil. Tak hanya itu, dalam suatu wawancara dengan Radio Netherland, Gus Dur juga berujar, Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republic, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
   Tuntutan rakyat Aceh untuk penentuan nasib sendiri tak juga menjadi kenyataan. Sementara kekerasan terus terjadi. Pembantaian demi pembantaian semakin menyayat hati. Operasi demi operasi digelar untuk menghancurkan GAM. Rakyat Aceh kembali terjepit di antara dua kubu yang sedang bertikai. Beruntung pada medio Mei 2000, terjadi Jeda Kemanusiaan untuk memudahkan penyaluran bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh. Tetapi, hanya pada fase pertama jeda kemanusiaan sangat efektif, setelah itu kekerasan kembali terjadi. Selanjutnya pembicaraan politik kembali terjadi dengan dicapainya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), 9 Desember 2002 di Jenewa untuk penghentian permusuhan di Aceh. CoHA juga tak dapat bertahan lama, karena sulitnya membangun kepercayaan di antara para pihak bertikai. Selain itu, tidak dicapainya kata sepakat tentang formula penyelesaian konflik Aceh. GAM tetap pada pendiriannya menuntut kemerdekaan untuk Aceh, sementara RI memaksakan otonomi sebagai solusi penyelesaian Aceh. CoHA pun gagal dipertahankan.
   Tepatnya tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat perang dalam bentuk pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Kekuatan militer dikerahkan secara besar-besaran ke Aceh. Inilah pengerahan Militer secara besar-besaran setelah invasi ke Timor-Timur pada Tahun 1975. Tak ada orang yang bisa meramalkan kapan perang itu akan diakhiri. Pembicaraan tentang perdamaian tak ada ruangnya lagi. Pemerintah telah bersikap akan menghancurkan GAM sampai ke akar-akarnya. Malah, pimpinan TNI secara sombong mengatakan bahwa hanya butuh waktu 6 bulan untuk membasmi kekuatan GAM. Nyatanya, hampir dua tahun DM kekuatan GAM tak bisa dihancurkan. Malah, masyarakat Aceh semakin benci kepada TNI/Polri. Karena, tak hanya GAM, masyarakat sipil juga jadi sasaran kekerasan.

UPAYA-UPAYA UNTUK MEGATASI GERAKAN ACEH MERDEKA
1.   Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu
     2.     Pemberdayaan norma dan nilai budaya Aceh dalam penyelenggaraan pemerintah di NAD.
     3.     Membangun desain ekonomi menuju masyarakat NAD yang adil dan sejahtera 
     4.  Mencegah munculnya konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa melalui      implementasi tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Penegakkan Hukum secara benar.
5.    Menegakkan syariah Islam di Propinsi NAD

Strategi :
1.    Dalam rangka membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
a. Menghancurkan pandangan dan ide GAM serta menangkal dan mencegah terpengaruhnya     masyarakat NAD dari gerakan separatis.
b. Pembangunan politik di NAD serta membangkitkan kebanggaan nasional pada diri putera-puteri Aceh.
2.    Dalam rangka pemberdayaan norma dan nilai budaya Aceh dalam penyelenggaraan pemerintah di NAD, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
a)      Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma Aceh
b)      Mengembalikan kultur asli Aceh dalam wujud yang sebenarnya
c)   Dalam rangka membangun desain ekonomi menuju masyarakat NAD yang adil dan sejahtera, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
a)  Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat NAD
b)        Membentuk struktur ekonomi NAD yang berkeadilan
d)  Dalam rangka Mencegah munculnya konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsamelalui implementasi tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan penegakkan hukum secara benar, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
·         Mengembangkan Sistem Keamanan Nasional (Siskam-nas) di Aceh yang sesuai dengan pola/budaya kehidupan masyarakat Aceh.
·         Meningkatkan pembinaan territorial dalam rangka menyiapkan tata ruang wilayah pertahanan sebagai media daya tangkal bangsa untuk menanggulangi setiap ancaman. 
e) Dalam rangka menegakkan syariah islam di propinsi NAD, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
·         Peningkatan pemahaman dan pengamalan syariah Islam dalam kehidupan bermasya-rakat dan bernegara.
Pemberdayaan pranata agama.

SUMBER :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar