NAMA : AYU YUNINGSIH
NPM :
170110130015
KELAS:A
GERAKAN ACEH MERDEKA
LATAR BELAKANG TERBENUKNYA GAM
(GERAKAN ACEH MERDEKA)
Latar belakang dan motif yang mendorong terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka
adalah disebabkan oleh rasa kekecewaan mendalam akibat perlakuan sepihak
pemerintah terhadap masyarakat Aceh. Aceh sebagai salah satu daerah dengan
basis Islam terbesar berusaha agar semangat Islam dan tradisi masyarakat Aceh
tetap dapat diperhatikan. Namun, hal itu tidak dipenuhi oleh pemerintah, baik era
Soekarno (1949) maupun Soeharto (1970). Aceh malah dijadikan “sapi perah” bagi
pemrintah pusat di Jakarta.
Rasa kekecewaan ini berpuncak ketika rakyat Aceh mulai melakukan perlawanan
bersenjata. Awalnya, perlawanan ini bersifat kedaerahan di bawah komando Daud
Beureuh, salah satu tokoh Aceh yang sangat radikal dalam membela kepentingan
masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh terlibat dalam usaha untuk mendirikan sebuah
negara Islam. Konsep sama yang digagas oleh Kartosuwiryo dalam bentuk Negara
Islam Indonesia di Jawa Barat (1949). Pelawanan Daud Beureuh akhirnya dapat
diselesaikan melalui negosiasi antar pemerintah Pusat dengan Daud Beureuh,
tetapi terlihat pula usaha represifitas militer dengan menempatkan sejumlah
personil militer oleh Soekarno di Aceh. Usaha ini
dilakukan dengan tujuan menekan posisi Daud Beureuh untuk menyetujui tawaran
pemerintah pusat. Perlawanan rakyat Aceh tidak berhenti di situ. Memasuki era Soeharto, Aceh
dijadikan lahan bisnis bagi para pemodal asing. Seluruh harta kekayaan, khususnya
sumber daya alam milik rakyat Aceh dieksploitasi bagi kepentingan pemerintah
pusat dan para pemodal asing. Rakyat Aceh semakin menderita akibat perlakuan
seperti ini. Manifestasi dari penderitaan tersebut adalah dibentuknya
organisasi perlawanan.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah organisasi daerah yang memilki basis
utama pergerakan di daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), memiliki tujuan
utama menjadikan NAD sebagai sebuah negara baru, terlepas dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Organisasi ini dibentuk pada 1976 oleh Hasan Tiro
dan para ulama di Aceh. Sebagai sebuah organisasi separais GAM memilki struktur
organisasi yang jelas,layaknya sebauh organisasi formal. Pemimpin Tertinggi
adalah Daud Beureuh sedangkan Hasan Tiro adalah wali negeri, di samping itu mereka memilki 15 menteri, empat pejabat setingkat
gubernur dan enam gubernur.
Pasca dibentuknya GAM, arah perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh lebih
diorientasikan dan direpresentasikan dalam wadah organisasi tersebut. Metode
perlawanan GAM adalah kontak fisik melalui konflik senjata dengan pemerintah RI
yang diwakili oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kontak senjata dengan TNI
sudah dimulai setelah berdirinya organisasi tersebut pada 1976. Eskalasi ini
semakin meningkat pasca Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)
oleh pemerintah pusat (orde baru), tahun yang sama. Metode perlawanan gerilya
menjadi ciri khas GAM dalam melawan represifitas militer di bumi Serambi Mekah
tersebut. Status GAM diubah menjadi sebuah gerakan separatis yang berusaha mengancam
kedaulatan NKRI, yang pada awalnya hanya dianggap sebagai kelompok pengacau
biasa. Hal ini diperkuat dengan dukungan rakyat Aceh terhadap keberdaan gerakan
separatis tersebut. Maka GAM terus berkembang sebagai sebauh organisasi
perlawanan yang cukup dikenal baik di dalam negeri maupun luar negeri.
SEJARAH GAM (GERAKAN ACEH MERDEKA)
Jika dibuka
kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret
1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai
sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda
mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat
tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen
bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda
Aceh.
Pernyataan
perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi
Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda
bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka
tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya
itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki
serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika
membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong Belanda menyerang Aceh.
Pernyataan
perang ini memicu respon yang cukup keras dari Kerajaan Aceh. Sehingga dalam
sebuah riwayat yang beredar di dalam masyarakat Aceh, maklumat perang Belanda
ini dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan sindiran, “bek
lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe nyang na lam nanggroe Aceh bek ka
teumueng raba (Jangankan merebut Negeri, ayam yang tanpa gigi pun yang ada di
bumi Aceh jangan coba-coba disentuh).
Apa yang terjadi kemudian pasca Maklumat perang itu?
Aceh terjebak dalam perang yang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh
menjadi korban, sementara di pihak Belanda sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi
korban di samping kerugian material yang cukup besar. Banyaknya korban yang
jatuh di antara kedua belah pihak membuat Belanda mengevaluasi kembali
kebijakannya, karena perang ini sangat melelahkan dan mengakibatkan kerugiaan
sangat besar di pihak Belanda. Bahkan seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler,
yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu
peperangan di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kematian Jenderal
Kohler berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda.
Kerajaan Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan
rencana peperangan kedua secara besar-besaran.
Meski pada tahun 1942 Belanda keluar dari Aceh, namun
maklumat perang tersebut tak pernah dicabut. Hal inilah kemudian yang
menimbulkan persoalan baru bagi rakyat Aceh. Di mana tanggal 26 Maret selalu
dikenang oleh masyarakat Aceh sebagai babak kelam sejarah Aceh. Rakyat Aceh
selalu meminta agar maklumat perang itu dicabut. Karena, selama maklumat perang
itu belum dicabut, berarti antara Aceh dan Belanda masih terlibat peperangan.
Dan klaim Aceh sebagian dari Indonesia sama sekali keliru.
Warisan
persoalan maklumat perang ini berlanjut sampai sekarang. Masalah kedaulatan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tuntutan masyarakat Aceh. Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh Tgk Hasan Muhammad di Tiro meletakkan
persoalan kedaulatan Aceh sebagai sumber perjuangan gerakannya. Baginya Aceh
tak pernah secara sah diserahkan kepada Hindia Belanda (Indonesia).
Belanda dalam
pandangannya melakukan kesalahan besar dengan menggabungkan Aceh ke dalam
wilayah teritori Indonesia. Artinya, ketidakmampuan Belanda menaklukkan Aceh
dibalas dengan tindakan menyerahkan Aceh secara sepihak kepada Hindia Belanda. Belanda
tidak mau mengakui kekalahan berperang dengan kerajaan Aceh. Sebelum munculnya
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebenarnya benih-benih perlawanan rakyat Aceh sudah
muncul dalam bentuk DI/TII yang dipimpin oleh tokoh Ulama Aceh Kharismatik, Tgk
Muhammad Daud Beureu’eh pada Tahun 1953. Namun, gerakan ini masih mengikatkan
diri dalam bingkai Republik, di mana DI/TII digabungkan dalam gerakan DI/TII di
Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini sama sekali bukan bertujuan
membentuk kembali Negara Aceh.
Munculnya
Gerakan ini juga disebabkan oleh perlakuan Jakarta yang memasukkan Aceh sebagai
bagian Sumatera Utara. Aceh yang telah berjuang mengusir Belanda hanya
dijadikan sebagai sebuah keresidenan. Tuntutan rakyat Aceh agar diberi status
khusus sebagai wilayah yang berlaku syariat Islam juga tak diakomodir oleh
pemerintah di Jakarta.
Berbeda dengan DI/TII, Gerakan Hasan Tiro mencoba
mengubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia
seperti sebelumnya. Hasan Tiro secara frontal memperjuangkan pemisahan Aceh
dari Jakarta. Bagi Hasan Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan
Indonesia. Menurutnya, Aceh hanya memiliki permasalahan dengan Belanda. Karena
itu ada tuntutan agar Belanda mencabut maklumat perang dan memulihkan kedaulatan
Aceh seperti sedia kala.
Konflik Aceh
pun dimulai. Di satu sisi, Pemerintah sudah mengekalkan bahwa Aceh adalah
bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Indonesia. Apapun akan dilakukan
jika demi mempertahankan sejengkal tanah NKRI ini. Klaim Indonesia terhadap
Aceh sudah final: Aceh merupakan bagian dari Indonesia yang harus
dipertahankan.
Sementara GAM
mengkampanyekan kemerdekaan untuk Aceh. Pada mulanya kampanye lebih diarahkan
pada penyadaran ideologis rakyat Aceh sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan.
Meski pada awalnya sangat sedikit masyarakat Aceh yang terpengaruh pada
kampanye GAM ini. Di mana gerakan ini hanya popular di tiga wilayah saja yaitu
Pidie, Aceh Utara dan Timur.
Pada awalnya
Pemerintah di Jakarta tak begitu merespon gerakan ini. Namun, karena ancaman
terhadap keutuhan NKRI betul-betul telah nampak di depan mata, apalagi aktivis
GAM di luar negeri sudah kembali ke Aceh dan memicu perang terbuka dengan
serdadu republic di Aceh. Mau tak mau memaksa pemerintah menggunakan kekuatan
bersenjata. Akibatnya sudah dapat ditebak, banyak rakyat Aceh yang tak terkait
apa-apa dengan gerakan ini ikut menjadi korban.
Puncaknya
pada tahun 1989 secara illegal pemerintah memberlakukan status Daerah Operasi
Militer (DOM) di Aceh, di mana sebelumnya dikenal dengan Operasi Jaring Merah.
Aceh dipaksa masuk dalam pusara konflik. Ribuan serdadu dikirim ke Aceh untuk
menumpas 120 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Padahal munculnya gerakan ini juga tak terlepas dari
kebijakan salah yang diterapkan pemerintah terhadap Aceh. Hasil alam Aceh yang
sangat kaya raya dikeruk sedemikian rupa tetapi masyarakat Aceh hidup dalam
kemiskinan. Rakyat Aceh menjadi penonton terhadap proyek-proyek besar
pemerintah di Aceh. Hasil alam Aceh diekploitasi tanpa henti, sementara rakyat
Aceh dijadikan sebagai sapi perahan dan budak di negeri sendiri. Tak hanya itu
perlakuan refresif pemerintah juga membuat masyarakat Aceh semakin jauh dengan
pemerintah di Jakarta.
Anehnya,
operasi penumpasan GAM menimbulkan persoalan kemanusiaan yang sangat dahsyat.
Banyak masyarakat Aceh menjadi korban dari kebijakan pemerintah meski tak ada
sangkut pautnya dengan GAM. Operasi yang semula untuk menghancurkan GAM
ternyata berubah wujud menjadi operasi pemusnahan etnis Aceh. Kesan ini yang
kemudian muncul ketika munculnya gerakan reformasi di Aceh.
Begitu reformasi, tuntutan pencabutan DOM di Aceh
menjadi salah satu isu yang menggelinding di kalangan mahasiswa Aceh.
Sepertinya, mayoritas masyarakat menghendaki pencabutan status DOM di Aceh.
Karena DOM tak lebih sebagai kebijakan legalitas memusnahkan masyarakat Aceh.
Terbukti kemudian begitu DOM dicabut, ribuan masyarakat Aceh ikut menjadi
korban keganasan serdadu pemerintah.
Perlakuan seperti ini di antaranya yang memaksa
mahasiswa Aceh merumuskan ulang posisi Aceh di dalam Indonesia. Melalui Kongres
Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau Tahun 1999, masyarakat Aceh mengirimkan
pesan khusus terhadap Jakarta: Aceh sudah muak terus menerus menjadi bagian
dari Indonesia; Aceh ingin merdeka. Sejak itulah lembaga perjuangan masyarakat
sipil Aceh, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dilahirkan sebagai lembaga
yang memperjuangkan referendum penentuan nasib sendiri untuk rakyat Aceh di
bawah pengawasan internasional. Tak tanggung-tanggung, mereka mengusung dua
opsi radikal untuk Aceh: Bergabung dengan Indonesia atau pisah (Merdeka).
Sejak saat itu, nasionalisme Aceh seperti menemukan
bentuknya kembali. Di berbagai tempat dipasang spanduk berisi keinginan untuk
kemerdekaan. Rakyat Aceh tenggelam dalam hysteria referendum untuk kemerdekaan.
Gerakannya melingkupi seluruh pelosok Aceh. Nyanyian hikayat Perang Sabil
dilantunkan di mana-mana, di berbagai tempat dan kesempatan. Kebencian terhadap
Jakarta semakin menjadi-jadi. Jakarta saat itu di mata rakyat Aceh adalah
penjajah.
Puncaknya
tepat tanggal 8 November 1999 sekitar 2 juta masyarakat Aceh dari berbagai
wilayah di Aceh berkumpul di halaman Mesjid Raya Banda Aceh dan mengikrarkan
diri siap berjuang sampai darah penghabisan untuk perjuangan referendum
penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh. Sebelumnya, di setiap wilayah sudah
digelar konvoi dan aksi massa perjuangan referendum yang diikuti ratusan ribu
masyarakat Aceh.
Presiden Gus Dur yang sedang melawat ke Pnom Phen,
Kamboja, merespon tuntutan rakyat Aceh dengan mengatakan, “jika Timor-Timur
bisa referendum, mengapa Aceh tidak? Itu kan tidak adil. Tak hanya itu, dalam
suatu wawancara dengan Radio Netherland, Gus Dur juga berujar, Sebagai seorang
Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan
nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republic, saya diwajibkan untuk menjaga
keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Tuntutan
rakyat Aceh untuk penentuan nasib sendiri tak juga menjadi kenyataan. Sementara
kekerasan terus terjadi. Pembantaian demi pembantaian semakin menyayat hati.
Operasi demi operasi digelar untuk menghancurkan GAM. Rakyat Aceh kembali
terjepit di antara dua kubu yang sedang bertikai. Beruntung pada medio Mei
2000, terjadi Jeda Kemanusiaan untuk memudahkan penyaluran bantuan kemanusiaan
untuk rakyat Aceh. Tetapi, hanya pada fase pertama jeda kemanusiaan sangat
efektif, setelah itu kekerasan kembali terjadi. Selanjutnya pembicaraan politik
kembali terjadi dengan dicapainya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), 9
Desember 2002 di Jenewa untuk penghentian permusuhan di Aceh. CoHA juga tak
dapat bertahan lama, karena sulitnya membangun kepercayaan di antara para pihak
bertikai. Selain itu, tidak dicapainya kata sepakat tentang formula penyelesaian
konflik Aceh. GAM tetap pada pendiriannya menuntut kemerdekaan untuk Aceh,
sementara RI memaksakan otonomi sebagai solusi penyelesaian Aceh. CoHA pun
gagal dipertahankan.
Tepatnya
tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat perang dalam
bentuk pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Kekuatan militer dikerahkan secara
besar-besaran ke Aceh. Inilah pengerahan Militer secara besar-besaran setelah
invasi ke Timor-Timur pada Tahun 1975. Tak ada orang yang bisa meramalkan kapan
perang itu akan diakhiri. Pembicaraan tentang perdamaian tak ada ruangnya lagi.
Pemerintah telah bersikap akan menghancurkan GAM sampai ke akar-akarnya. Malah,
pimpinan TNI secara sombong mengatakan bahwa hanya butuh waktu 6 bulan untuk
membasmi kekuatan GAM. Nyatanya, hampir dua tahun DM kekuatan GAM tak bisa
dihancurkan. Malah, masyarakat Aceh semakin benci kepada TNI/Polri. Karena, tak
hanya GAM, masyarakat sipil juga jadi sasaran kekerasan.
UPAYA-UPAYA
UNTUK MEGATASI GERAKAN ACEH MERDEKA
1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen,
kesadaran dan kehendak untuk bersatu
2. Pemberdayaan norma dan nilai budaya Aceh dalam
penyelenggaraan pemerintah di NAD.
3. Membangun desain ekonomi menuju masyarakat NAD yang
adil dan sejahtera
4. Mencegah munculnya konflik dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa melalui implementasi
tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Penegakkan Hukum secara
benar.
5. Menegakkan syariah Islam di Propinsi NAD
Strategi :
1. Dalam rangka membangun dan menghidupkan terus
komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu, dilaksanakan strategi sebagai
berikut :
a. Menghancurkan pandangan dan ide GAM serta menangkal dan mencegah
terpengaruhnya masyarakat NAD dari
gerakan separatis.
b. Pembangunan politik di NAD serta membangkitkan kebanggaan nasional pada
diri putera-puteri Aceh.
2. Dalam rangka pemberdayaan norma dan nilai budaya Aceh
dalam penyelenggaraan pemerintah di NAD, dilaksanakan strategi sebagai berikut
:
a) Membangun kelembagaan (pranata) yang
berakarkan nilai dan norma Aceh
b) Mengembalikan kultur asli Aceh dalam wujud
yang sebenarnya
c) Dalam rangka membangun desain ekonomi menuju
masyarakat NAD yang adil dan sejahtera, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
a) Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat NAD
b) Membentuk struktur ekonomi NAD
yang berkeadilan
d) Dalam rangka Mencegah munculnya konflik dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsamelalui implementasi tugas-tugas Operasi
Militer Selain Perang (OMSP) dan penegakkan hukum secara benar, dilaksanakan
strategi sebagai berikut :
·
Mengembangkan Sistem
Keamanan Nasional (Siskam-nas) di Aceh yang sesuai dengan pola/budaya kehidupan
masyarakat Aceh.
·
Meningkatkan pembinaan
territorial dalam rangka menyiapkan tata ruang wilayah pertahanan sebagai media
daya tangkal bangsa untuk menanggulangi setiap ancaman.
e) Dalam rangka menegakkan syariah islam
di propinsi NAD, dilaksanakan strategi sebagai berikut :
·
Peningkatan pemahaman
dan pengamalan syariah Islam dalam kehidupan bermasya-rakat dan bernegara.
Pemberdayaan pranata agama.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar