Nama : Reni Maulida
NPM : 170110130061
Kelas : A
Latar
Belakang Permasalahan
Demokrasi
adalah sebuah konsep pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat, dimana rakyat
ikut berperan serta dalam penyelengggaraan pemerintahan untuk pengurusan
kehidupan bersama dengan negara. Dalam konsep negara Polis (negara kota),
konsep pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat ini dilakukan secara langsung,
dalam arti rakyat berperan langsung dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan
kebijakan yang ditentukan secara bersama-sama, bahkan selain dalam segi
penyelenggaraan pemerintahan juga dalam segi peradilan rakyat.
Dalam
perkembangan demokrasi secara langsung
ini kemudian mengalami pergeseran menjadi sistem demokrasi secara tidak
langsung yaitu melalui wakil-wakilnya yang telah ditunjuk untuk itu. Wakil yang
ditunjuk untuk mengurusi kehidupan bersama ini dipilih melalui sistem Pemilu,
baik Pemilu eksekutif maupun legislatif, dan juga untuk lembaga yudisian.
Sistem demokrasi perwakilan ini juga mempunyai jarak denagn konstituennya. Hal
ini menimbulkan distorsi kepentingan anatara wakil rakyat dengan konstituennya.
Untuk mengurangi jarak antar wakil rakyat dengan konstituen ini diperlukan
ruang-ruang partisipasi masyarakat yang diharapkan nantinya kebijakan yang
diambil oleh para wakil rakyat tersebut lebih mencerminkan kepentingan
masyarakat dan akan lebih efektif dalam pengimplementasiannya karemna
masyarakat terlibat secara intens dalam penentuan kebijakan.
Undang-undang
adalah produk hukum sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang Dasar
tetapi karena dibuat oleh lembaga politik yang tetntunya dapat saja bernuansa
politik, dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining atau tawar
menawar yang bermuara pada kompromi yang dapat konsensus atau kesepakatan
politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang mencerminkan
kepentingan golongan atau pribadi. Hal ini kadang kala tidak dapat dihindari
dalam proses pembetukan suatu undang-undang. Untuk itu perlu dicermati
bagaimana tata cara pembentukan suatu undang-undang agar lebih mencerminkan kepentingan
warga negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Salah
satu konsep kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah kedaulatan rakyat
(Asshiddiqie,2006), yang dimana konsep kedaulatan haruslah dipahami sebagai
kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Pembatasan kekuasaan
itu biasanya ditentukan pengaturannya didalam konstitusi yang pada sekarang ini
dikaitkan dengan ide konstitusional negara modern. Artinya ditangan siapapun
kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu berada, terhadapnya selalu diadakan
pembatasan oleh hukum dan konstitusi sebagi produk kesepakatan bersama para
pemilik kedaulatn yaitu warga negara. Menurut Guy Peters, bahwa salah satu cara
untuk memperbaiki patologi birokrasi adalah dengan adanya pertisipasi, oleh
karena dengan adanya partisipasi ini maka kebijakan yang diambil mendapatkan
legitimasi pembenaran karena telah mendapatkan oleh masyarakat lewat proses
partisipasi tersebut.
Kasus dan
Analisa
Ada tiga hal yang dilihat untuk
mengukur tingkat partisispasi publik dalam pembentukan undang-undang pertama
adalah berapa banyak forum-forum publik yang diselenggarakan, berapa banyak
perwakilan masyarakat yang terlibat, dan bagaimana transparansi data yang
berkaitan dengan pembahasan suatu undang-undang.
Undang-undang No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh
Tujuan
pengaturan dan masalah yang ingin dipecahkan Undang-undang tentang Pemerintahan
Aceh ini dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik Aceh yang telah
berkepanjangan, dan juga untuk menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara
pemerintahan Republik Indonesi dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ada beberapa pihak
yang terlibat dalam pembhasan undang-undang ini diantaranya adalah :
·
Jaringan Demokrasi Aceh yang diwakili oleh PSHK , Kontas, Imparsial, Demos, LBH
Apik, Cetro dan WALHI
·
Majelis Pertimbanagn Ulama Aceh
·
PPAD
·
Badan kerjasama DPRD Propinsi se-Indonesia
·
PBNU
·
PP Muhammadiyah
·
Asosiasi Pemerintah Kota
·
Badan Rekontruksi dan Rehabilitas Aceh
·
Aceh Seupakat
·
Dewan Harian Angkatan ‘45
·
Pakar Hukum Tata Negara
·
LIPI
·
Jaringan Masyarakat Adat
·
Pakar otonomi Daerah
Rakyat Aceh pada umumnya selama
ini berada dalam situasi konflik yang merugikan kelompok rentan seperti
kelompok perempuan, anak-anak, dan masyarakay adat. Dengan adanya undang-undang
ini diharapkan akan memperbaiki kondisi tersebut. Untuk itu ada beberapa
ketentuan khusus yang mengatur hak-hak perempuan dan anak serta masyarakat
adat.
UUPA merupakan turunan dari pasal
18 B UUD, namun, sebagian pihak berpendapat behwa undang-undang ini tidak
sesuai dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dekat
denagn sisitem federalisme. Ketiksesuaian denagn semnagt negara kesatuan ini
sering diistilahkan dengan “inskonstitusinal” padahal tidak ada pasal-pasal
Konstitusi yang dilanggar oleh undang-undang ini. Sehingga pengistilahan itu
tidak tepat walaupun wacana perdebatan ini tidak dapat dinihilkan.
Dokumen pokok seperti jadwal,
daftar nama anggota Panitia Khusus, Daftar Inventaris Masalah (DIM),dan
pandanagn fraksi cukup mudah didapat melalui Sekretariat Panitia Khusus. Namun,
laporan-laporan singkat dokumen terkait lainnya seperti masukan dari Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU), serta dokumen yang beredar selama rapat Panitia
Kerja yang berlangsung tertutup tidak bisa didpatkan dari Sekretariat Khusus,
melaikan harus didapat melalui kenalan-kenalan anggota panitia kerja.
Partisipasi Publik yang ada
dilakukan lewat Forum Publik yang diselenggarakan yaitu : Selain Rapat Denagr
Pendapatan Umum tidak ada forum publik resmi yang diselenggarakan oelh Panitaia
Kuhusu. Panitia Khusus hanya mengadakan kunjungan kerja ke Aceh untuk bertemu
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Pemerintah Daerah serta bebrapa elit
politik Aceh. Namun, kehadiran mereka diwarnai oleh beberapa pertemuan informal
yang diadakan karena desakan stakeholder, termasuk juga demonstrasi oleh
Mahasiswa. Kalupun ada catatan dimedia massa maupun pernyataan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa proses ini “partisipatif” sesungguhnya semua upaya
konsultasi publik di Banda Aceh, dialog publik di Dewan Perwakialn Rakyat Aceh,
dan seminar di Jakarta diadakan oleh organisasi masyarkat sipil. Tim advokasi
dari DPRD dan Pemda NAD, serta Forum Bersama anggota DPD asak Aceh.
Saran
Ada tiga hal penting yang harus dilihat mengenai partisipasi
masyarakat dalam pembentukan undang-undang
maupun kebijakan publik :
1.
Mekanisme pengaturannya jelas, bagaimana dan
dalam proses apa saja masyarakat dapat turut serta untuk berpartisipasi dalam
pembentukan undang-undang maupun kebijakan publik, hal ini haruslah jelas dari
awal sampai akhir yaitu mulai dari proses perencanaan, pembentukan, pelaksanaan
dengan monitiring, serta evaluasi terhadap implementasinya.
2.
Pengolahan aspirasa masyarakat. Walaupun telah
dilakukan banyak sekali forum-forum publik, jangan sampai bahwa terselenggnya
forum publik tersebut hanya sebagai formalitas atas adanaya partisipasi publik.
Sementara pendapat masyarkat tidak tersampaikan dalam formula kebijakan yang
ada.
3.
Transparansi. Harus ada keterbukaan informasi,
dokumen yang berkaitan dengan kebijakan yang akan diatur harulah aksesible,
dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat sehingga mereka akan aware atas masalah
yang akan diatur tersebut.
Sedangkan dari segi kelembagaan Parleman sendi ada hal yang
harus dikuatkan :
1.
Mekanisme rekrtmen anggota Parlemen yang bisa
menghasilkan pada wakil rakyat yang benar-benar mampun untuk menjadi wakil
rakyat dan bukan hanya sebagai wakil rakyat polittik.
2.
Struktur “Kamar” di Parlemen jika memang
didesain sebagai sistem Bikameral seharusnya kedua lembaga yang ada bisa saling
menjadi penyeimbang, sehinga terjadi proses check and balance atas kepentingan
masyarakat. Masyarakat dapat mempunyai lebih banyak madium untuk menyalurkan
kepentingannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar