Minggu, 05 Oktober 2014

Isu-Isu Publik Yang Merusak Kedaulatan Rakyat "Pilkada Tidak Langsung & Koruptor"

ISU-ISU PUBLIK YANG MERUSAK KEDAULATAN RAKYAT
TOMI SETIANTO
170110130021
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
            2013 (A)         
1.      Pilkada Tidak Langsung
a)      Isu
            Setelah sembilan tahun lamanya masyarakat Indonesia menggunakan haknya untuk memilih kepala daerah secara langsung oleh penduduk daerah administratif. Namun tidak untuk hari ini. Pada tahun 2005, Indonesia memberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Tetapi, pada Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa, Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Hal ini tentu membuat geram masyarakat Indonesia karena tidak ada hak lagi untuk menyuarakan suaranya dalam pemilihan kepala daerah di negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi ini.
            Alasan-alasan mengenai pemberlakuan UU Pilkada yang tidak lagi dipilih oleh rakyat antara lain seperti Pilkada langsung melestarikan politik uang, yang mana dalam setiap Pilkada uang menjadikan seseorang calon kepala daerah sebagai senjata untuk memenangkan pemilihan tersebut. Politik biaya tinggi dapat menghalangi munculnya calon berkualitas, yang mana mungkin saja calon-calon kepala daerah yang memiliki kekayaan tinggi saja lah yang dapat menjadi seorang kepala daerah. Dengan tidak memikirkan aspek lain seperti kualitas calon tersebut. Pilkada langsung memunculkan politik balas budi, pilkada langsung menghemat anggaran dan alasan-alasan lainnya. Namun secara garis besarnya, Pilkada tidak langsung lebih diterapkan agar terhindar dari politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini terbukti pada biaya politik tinggi ketika pemilukada akan dilakukan baik oleh calon kepala daerah dan juga pihak lain yang ingin mendukung calonnya.
b)      Solusi
            Setalah diterapkannya Pilkada diterapkan dan ditandatanganin oleh Presiden SBY. Hal tersebut menuai banyak kecamanan dari masyarakat Indonesia. Dan sampai saat ini, masalah pemilihan kepala daerah tidak langsung masih terus diperbincangkan oleh publik karena masyarakat masih belum terima dengan hasil sidang paripurna DPR.
Maka dari itu solusinya adalah pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali hasil sidang Paripurna DPR dengan hasil Pilkada tidak langsung ini, karena hampir 70% masyarakat Indonesia mendukung pemilihan kepala daerah diplih oleh rakyatnya. Mungkin rakyat Indonesia merasa heran atau janggal dengan hal ini karena bagaimana pun Indonesia adalah negara demokrasi, yang menjungjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun dengan ketetapan undang-undang pilkada ini, seolah-olah kedaulatan rakyat terganggu atau terabaikan karena haknya tidak digunakan kembali dalam pemilihan pemimpinnya. Uji banding UU Pilkada ini pun harus segera dilakukan agar tidak terjadi ketidaksesuai dengan keadaan sekarang masyarakat Indonesia.
2.      Hukuman Koruptor Yang Tidak Sebanding
a)      Isu
            Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis bersalah dengan hukuman penjara delapan tahun untuk mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dalam sidang pembacaan putusan, Rabu 24 Septermber 2014, majelis hakim menilai, Anas terbukti melakukan korupsi secara berlanjut dan berulang. Menurut Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Haswandi, Rabu 25 September 2014 menyatakan bahwa Anas terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara berulang.
            Selain pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp 300 juta dan sejumlah uang pengganti korupsi (lihat grafis) terhadap Anas. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih rendah dari tuntutan 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dari jaksa penuntut umum KPK. Tuntutan pencabutan hak politik Anas juga tidak dikabulkan majelis hakim. Majelis hakim menilai, Anas terbukti melakukan tindak pidana sesuai dakwaan kesatu subsider dan kedua jaksa namun membebaskan Anas dari dakwaan kesatu primer dan dakwaan ketiga. Tindak pidana yang dinilai terbukti dilakukan Anas adalah ihwal penerimaan gratifikasi dan janji-janji.
            Masyarakat menilai vonis hukuman Anas Urbaningrum ini tidak sesuai dengan tindakan yang telah dilakukannya yang sangat merugikan negara. Hal ini membuat masyarakat ragu dengan hasil persidangan yang seolah-olah putusan hakim memeberikan keleluasaan bagi para koruptor di Indonesia. Karena pada umumnya, putusan hakim yang atau hukuman yang diberikan kepada para koruptor sangatlah tidak sesuai dengan tindakan mereka.
b)      Solusi
            Dalam menghadapi persoalan hukum yang dijatuhkan kepada para koruptor di Indonesia, pemerintah atau pihak yang berwenang seharusnya memberikan hukuman yang berlebih kepada para korputor-koruptor di Indonesia ini seperti dalam kasus ini adalah Anas Urbaningrum. Karena memang, terlihat vonis hukuman terhadap Anas bisa dikatakan singkat dan masig kurang bila dibandingkan dengan tindakan dia yang sangat merugikan negara. Seharusnya, pihak yang berwenang pun bertindak adil dalam melakukan vonis hukuman para koruptor ini. Seperti penambahan masa tahanan koruptor terutama dalam kasus ini Anas dan penambahan denda hukuman yang sangat berat. Terlebih, para koruptor harusnya dibuat miskin. Karena bagaimanapun, koruptor adalah polemik bangsa. Mereka adalah para pengkhinat negara yang berkamuflase menjadi pejabat tinggi negara. Setiap tahunnya, koruptor muncul dipermukaan bangsa ini karena melihat sistem hukum Indonesia terlalu memberikan keleluasaan dan memanjakan para koruptor di bangsa ini. Hal itu terbukti dengan angka korupsi di Indonesia kian hari terus meningkat.  
            Hal ini tentu dapat mengancam sekaligus merusak kedaulatan rakyat karena kepercayaan masyarakat kepada para pejabat negara akan semakin berkurang dengan kasus-kasus korupsi yang terjadi pada elit politik. Rakyat akan semakin apatis terhadap penyelenggaran negara yang diselenggerakan oleh mereka-mereka yang duduk di kursi pemerintahan. Tentu kasus koruptor yang sedemikian banyaknya mencoreng nama baik pejabat pemerintah yang harusnya memberikan cerminan yang baik terhadap rakyat dan melakukan misi pemerintah. Sehingga faktanya, dalam pemilihan umum baik presiden maupun daerah akhir-akhir ini banyak sekali yang memilih untuk golput atau tidak memilih. Hal ini tentu membuktikan tidak ada lagi kedaulatan rakyat yang sepenuhnya oleh rakyat. Kepala-kepala daerah hanya mewakili setengah dari suara rakyat. Kursi pemerintahan hanya sebagai ajang pamer sesame partai. Mereka hanya mementingkan kepentingan sendiri atau partu tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat lagi. Maka dari itu koruptor dan hukumannya sangatlah mengancam kedaulatan rakyat.


Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/09/25/ncfxw98-anas-dihukum-8-tahun-penjara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar