Nama : Hani
Apriani Nurjannah
NPM :
170110130039
Pada umumnya, suatu bangsa akan mengalami
suatu ancaman kedaulatan jika terjadi perpecahan di dalam bangsa itu sendiri.
Banyak faktor yang mengancam kedaulatan, di antaranya adalah:
§ Ketidakmampuan memahami demokrasi dan HAM, di
mana warga negaranya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang arti
demokrasi dan HAM itu sendiri sehingga sering kali terjadi penyalahgunaan
terhadap makna kata-kata tersebut.
§ Invasi militer dan politik dari negara lain,
terutama negara yang berbatasan langsung
§ Tindakan terorisme, kelompok separatis, krisis
moneter
§ Perubahan iklim yang drastis, isu lingkungan
hidup dan perdagangan bebas (hutan, tambang, perikanan). Isu lingkungan hidup
dapat mengancam kedaulatan karena adanya pembuangan limbah sembarangan atau
perubahan lingkungan hidup yang drastis akan mempengaruhi ekosistem yang bisa
saja menyebabkan kerusakan lingkungan.
Jika masalah-masalah tersebut tidak cepat
diatasi dengan tepat, maka akan berujung kepada krisis legitimasi terhadap
pemerintah. Mengapa? Masalah-masalah di atas bisa saja mengakibatkan sebuah
perpecahan. Mungkin ada yang menganggap salah satu masalah di atas adalah hal
sepele, namun jika tidak diatasi dengan tepat akan menyerap perhatian pemerintah
yang lebih. Oleh karena itu, bukannya tidak mungkin jika pihak penguasa mulai
mengabaikan masalah-masalah lain yang bermunculan. Hal ini mengakibatkan
timbulnya kekecewaan dari rakyat dan pudarnya kepercayaan terhadap pemerintah.
Dari pemaparan di
atas, salah satu contoh isu atau kasus yang mengancam kedaulatan rakyat yang
sedang ramai diperbincangkan adalah duel antara dua koalisi perwakilan rakyat
di bangku pemerintahan.
DUEL DUA KOALISI

Ilustrasi RUU Pilkada
Liputan6.com, Jakarta - Sah sudah komposisi pimpinan DPR
periode 2014-2019. Untuk kedua kalinya setelah Paripurna Rancangan
Undang-Undang Pilkada (RUU
Pilkada), Koalisi Merah Putih kembali
mendominasi ruang sidang, sehingga membuat koalisi Indonesia Hebat yang
dimotori PDI Perjuangan tak berdaya.
Di bawah dukungan Partai Gerindra, PAN, PPP, Demokrat dan
PKS, Setya Novanto didapuk sebagai ketua DPR. Untuk kursi wakil, masing-masing
diisi fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto, fraksi PAN Taufik Kurniawan, fraksi
Partai Gerindra Fadli Zon dan dari fraksi PKS Fahri Hamzah. Tak seorang pun
dari koalisi Indonesia Hebat.
Kemenangan Setya Novanto cs ini jelas mengukuhkan kemenangan
Koalisi Merah Putih atas koalisi poros PDI Perjuangan yang menggandeng Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Upaya mengajak Demokrat bekerja sama, gagal total. Dalam Paripurnayang
diwarnai hujan interupsi dan aksi balas keluar sidang, boleh dibilang skor 2-0l
untuk Koalisi Merah Putih.
Lebih dari sekadar contoh buruk, karena ricuh saat Paripurna
DPR terpilihnya Bendahara Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto sebagai pucuk
pimpinan mendulang kegelisahan banyak pihak.
Suatu ketika Setya Novanto pernah disebut mantan Bendahara
Umum Partai Demokrat M Nazaruddin terlibat dalam proyek pengadaan e-KTP. Nama
Setya juga disebut dalam perkara korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON
Riau 2012 yang melibatkan rusli Zainal, mantan Gubernur Riau.
Kini tinggal menunggu roda politik berjalan. Duel 2 koalisi
besar di DPRboleh
saja terus berlanjut. Tapi sejatinya ketika langkah mereka sebagai wakil
bertentangan dengan kehendak banyak orang, mereka tak akan pernah bisa
mendominasi rakyat.
Pandangan
saya mengenai kasus ini jika dilihat dari sudut pandang masalah yang sedang
dihadapi yaitu undang-undang nomor
22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPRD adalah
hal yang sangat vital, karena jika dilihat dari Indonesia yang terkenal dengan
Negara Demokrasi undang-undang tersebut sangat bertentangan sekali.
Tak heran jika banyak sekali masa yang
menentang tentang pengesahan undang-undang ini, karena mereka tidak bisa
memilih pemimpin sesuai dengan apa yang diinginkannya dan itu melanggar hak
mereka dalam mengajukan aspirasinya di Negara Demokrasi ini.
Namun, jika kita mengutip dari Ideologi kita
Pancasila yaitu sila ke-4 atau dalam
undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “..kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”
sangat jelas sekali Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk secara sadar oleh
masyarakat mempunyai hak dalam menentukan Kepala daerah, baik itu Gubernur,
Bupati, ataupun Walikota.
Kemudian, berbicara mengenai Demokrasi jika
kita membuka sejarah dimana Demokrasi lahir yaitu sekitar awal abad XVII,
JJ.Russeu sebagai pencetus lahirnya Demokrasi berkata “..Demokrasi tidak bisa
diterapkan di Negara besar atau berpulau tapi digunakan oleh Negara
kecil”. Lalu pertanyaan besarnya, apakah
sebenarnya Indonesia layak menjadi Negara Demokrasi?
Selanjutnya Pandangan saya jika dilihat dari
sudut lainnya yaitu sikap wakil-wakil rakyat yang duduk di bangku pemerintahan
yang terbelah menjadi beberapa kubu itu sangat tidak patut untuk menjadi wakil
rakyat, jika mereka sebagai penguasa yang telah diberi amanat oleh rakyat terbelah menjadi beberapa kubu, bagaimana
mereka bekerjasama dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Saran saya dalam menanggapi kasus ini adalah
perbedaan adalah hal yang sangat wajar, begitu juga dengan perbedaan dalam
kasus ini. Para wakil rakyat wajar memiliki pandangan yang berbeda menanggapi
undang-undang pemilihan kepala daerah ini, namun seharunya para wakil rakyat
tidak menjadikan ini sebagai alas an untuk memcah DPR itu sendiri menjadi
beberapa kubu. Jika hubungan internal mereka saja kurang berkoordinasi dengan
baik, bagaimana dengan kinerja mereka yang harus dituntut untukbekerjasama
sebagai wakil-wakil rakyat yang telah dipilih dengan sah oleh rakyat di seluruh
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar