Minggu, 05 Oktober 2014

Isu-Isu yang Mengancam Kedaulatan Rakyat

Nama               : Hani Apriani Nurjannah
NPM               : 170110130039
Pada umumnya, suatu bangsa akan mengalami suatu ancaman kedaulatan jika terjadi perpecahan di dalam bangsa itu sendiri. Banyak faktor yang mengancam kedaulatan, di antaranya adalah:
§  Ketidakmampuan memahami demokrasi dan HAM, di mana warga negaranya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang arti demokrasi dan HAM itu sendiri sehingga sering kali terjadi penyalahgunaan terhadap makna kata-kata tersebut.
§  Invasi militer dan politik dari negara lain, terutama negara yang berbatasan langsung
§  Tindakan terorisme, kelompok separatis, krisis moneter
§  Perubahan iklim yang drastis, isu lingkungan hidup dan perdagangan bebas (hutan, tambang, perikanan). Isu lingkungan hidup dapat mengancam kedaulatan karena adanya pembuangan limbah sembarangan atau perubahan lingkungan hidup yang drastis akan mempengaruhi ekosistem yang bisa saja menyebabkan kerusakan lingkungan.
Jika masalah-masalah tersebut tidak cepat diatasi dengan tepat, maka akan berujung kepada krisis legitimasi terhadap pemerintah. Mengapa? Masalah-masalah di atas bisa saja mengakibatkan sebuah perpecahan. Mungkin ada yang menganggap salah satu masalah di atas adalah hal sepele, namun jika tidak diatasi dengan tepat akan menyerap perhatian pemerintah yang lebih. Oleh karena itu, bukannya tidak mungkin jika pihak penguasa mulai mengabaikan masalah-masalah lain yang bermunculan. Hal ini mengakibatkan timbulnya kekecewaan dari rakyat dan pudarnya kepercayaan terhadap pemerintah.

Dari pemaparan di atas, salah satu contoh isu atau kasus yang mengancam kedaulatan rakyat yang sedang ramai diperbincangkan adalah duel antara dua koalisi perwakilan rakyat di bangku pemerintahan.
DUEL DUA KOALISI

Description: Ilustrasi RUU Pilkada
Ilustrasi RUU Pilkada
Liputan6.com, Jakarta -       Sah sudah komposisi pimpinan DPR periode 2014-2019. Untuk kedua kalinya setelah Paripurna Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada), Koalisi Merah Putih kembali mendominasi ruang sidang, sehingga membuat koalisi Indonesia Hebat yang dimotori PDI Perjuangan tak berdaya.
Di bawah dukungan Partai Gerindra, PAN, PPP, Demokrat dan PKS, Setya Novanto didapuk sebagai ketua DPR. Untuk kursi wakil, masing-masing diisi fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto, fraksi PAN Taufik Kurniawan, fraksi Partai Gerindra Fadli Zon dan dari fraksi PKS Fahri Hamzah. Tak seorang pun dari koalisi Indonesia Hebat.
Kemenangan Setya Novanto cs ini jelas mengukuhkan kemenangan Koalisi Merah Putih atas koalisi poros PDI Perjuangan yang menggandeng Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Upaya mengajak Demokrat bekerja sama, gagal total. Dalam Paripurnayang diwarnai hujan interupsi dan aksi balas keluar sidang, boleh dibilang skor 2-0l untuk Koalisi Merah Putih.
Lebih dari sekadar contoh buruk, karena ricuh saat Paripurna DPR terpilihnya Bendahara Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto sebagai pucuk pimpinan mendulang kegelisahan banyak pihak.
Suatu ketika Setya Novanto pernah disebut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin terlibat dalam proyek pengadaan e-KTP. Nama Setya juga disebut dalam perkara korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON Riau 2012 yang melibatkan rusli Zainal, mantan Gubernur Riau.
Kini tinggal menunggu roda politik berjalan. Duel 2 koalisi besar di DPRboleh saja terus berlanjut. Tapi sejatinya ketika langkah mereka sebagai wakil bertentangan dengan kehendak banyak orang, mereka tak akan pernah bisa mendominasi rakyat.
Pandangan saya mengenai kasus ini jika dilihat dari sudut pandang masalah yang sedang dihadapi yaitu undang-undang nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPRD adalah hal yang sangat vital, karena jika dilihat dari Indonesia yang terkenal dengan Negara Demokrasi undang-undang tersebut sangat bertentangan sekali.
Tak heran jika banyak sekali masa yang menentang tentang pengesahan undang-undang ini, karena mereka tidak bisa memilih pemimpin sesuai dengan apa yang diinginkannya dan itu melanggar hak mereka dalam mengajukan aspirasinya di Negara Demokrasi ini.
Namun, jika kita mengutip dari Ideologi kita Pancasila yaitu  sila ke-4 atau dalam undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “..kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” sangat jelas sekali Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk secara sadar oleh masyarakat mempunyai hak dalam menentukan Kepala daerah, baik itu Gubernur, Bupati, ataupun Walikota.
Kemudian, berbicara mengenai Demokrasi jika kita membuka sejarah dimana Demokrasi lahir yaitu sekitar awal abad XVII, JJ.Russeu sebagai pencetus lahirnya Demokrasi berkata “..Demokrasi tidak bisa diterapkan di Negara besar atau berpulau tapi digunakan oleh Negara kecil”.  Lalu pertanyaan besarnya, apakah sebenarnya Indonesia layak menjadi Negara Demokrasi?
Selanjutnya Pandangan saya jika dilihat dari sudut lainnya yaitu sikap wakil-wakil rakyat yang duduk di bangku pemerintahan yang terbelah menjadi beberapa kubu itu sangat tidak patut untuk menjadi wakil rakyat, jika mereka sebagai penguasa yang telah diberi amanat oleh rakyat  terbelah menjadi beberapa kubu, bagaimana mereka bekerjasama dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Saran saya dalam menanggapi kasus ini adalah perbedaan adalah hal yang sangat wajar, begitu juga dengan perbedaan dalam kasus ini. Para wakil rakyat wajar memiliki pandangan yang berbeda menanggapi undang-undang pemilihan kepala daerah ini, namun seharunya para wakil rakyat tidak menjadikan ini sebagai alas an untuk memcah DPR itu sendiri menjadi beberapa kubu. Jika hubungan internal mereka saja kurang berkoordinasi dengan baik, bagaimana dengan kinerja mereka yang harus dituntut untukbekerjasama sebagai wakil-wakil rakyat yang telah dipilih dengan sah oleh rakyat di seluruh Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar