Nama : Fajri Saputra
NPM : 170110130049
Konflik Aceh
Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat
ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh adalah wilayah yang paling
bersemangat untuk berdiridalam kerangka negara kesatuan republik indonesia. Tahun
1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat.
Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda,
serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai
air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan
dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia. Bahkan, dua bulan setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi
berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno. Maklumat ini diantaranya
ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis
pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya
lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916,
Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam
formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah
di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif
tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan
konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi
eksistensi negara Republik Indonesia.
Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh
Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur
Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah
Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk
pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas
PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak
memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam
konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari
provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan
tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya
pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh
terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah
diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang
dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik
nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah
Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan
pendidikan.
Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974
pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh.
Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh
sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama. Untuk menjamin
penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai
perpanjangan tangan dari elit pusat.
Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan
eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu
pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun
dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar
selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di
Aceh mampu digunakan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara.
Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit
ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun
rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar
rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki
desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.
Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam
berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para
pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional.
Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh
atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam
Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai
menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir
dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah.
Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di
Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti
Jawa. Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor
pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang
direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih
tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke
dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM,
justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat
terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka.
Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang
state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi
konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak
menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat.
Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang
mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah
mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali
membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya adalah
penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik
Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili
Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan
Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai
fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki,
Finlandia.
Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur
semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan
beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Selain
itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku
sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna
menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak
menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar