Nama : Wahyu Ivandra
NPM : 170110130101
Kelas : A
Pilkada
Tidak Langsung
Pada sidang paripurna DPR pada
tanggal 26 September 2014, DPR telah menetapkan bahwa pemilihan kepala daerah
dipilih oleh DPRD. Sidang ini menggunakan sistem voting untuk pengambilan
keputusannya, dengan jumlah 132 suara yang mendukung pilkada langsung dan 226
suara yang mendukung pilkada tidak langsung atau pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
Pilkada tidak langsung bukanlah sesuatu
yang baru di Indonesia. Pada tanggal 7 Mei 1999 telah dikeluarkan UU No. 22
tahun 1999 tentang otonomi daerah, menurut undang-undang tersebut DPRD
berfungsi sebagai badan legislatif yang mengawasi jalannya pemerintahan daerah,
dan undang-undang ini telah mengisyaratkan bahwa pemilihan kepala daerah
dipilih oleh anggota DPRD. Namun, undang-undang ini banyak dikritik karena
kurang mewakili suara rakyat, maka ditetapkanlah UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemilihan kepala daerah, pada undang-undang ini pada pasal 24 ayat 5
berisi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan”, dan pada pasal 56 ayat 1 tercantum “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Pada draft RUU Pilkada tetulis bahwa
penyelenggara pilkada adalah KPU dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. KPU bertugas
dalam pencalonan Gubernur/Bupati/Walikota, sedangkan DPRD bertugas dalam
pemungutan suara dan penetapan pemilihan. Bedanya dengan pilkada langsung
dengan pilkada tidak langsung adalah pada pilkada langsung calon
gubernur/bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan pilkada tidak
langsung calon gubernur/bupati/walikota dipilih oleh DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota. RUU pilkada dibuat dengan tujuan mengurangi APBD.
Pada sidang paripurna, terjadi
perdebatan antara pro pilkada langsung dengan pro pilkada tidak langsung,
tetapi ujung-ujungnya perdebatan dapat dianggap sia-sia karena efeknya sangat
kecil dalam voting pengambilan keputusan, karena dalam voting anggota DPR
mendahulukan kepentingan partai politik daripada kepentingan rakyat, dan
anggota DPR pada sidang paripurna tersebut mengatasnamakan wakil partai politik
bukan wakil rakyat, hal tersebut dapat kita lihat diberita yang dilansir
news.liputan6.com Aburizal Bakrie mengatakan bahwa 11 kader partai golongan
karya yang mendukung pilkada langsung dalam voting akan mendapatkan sanksi,
diantaranya beberapa dipecat, dan yang belum akan diberhentikan dari jabatan
resmi struktural.
Solusi dalam isu publik yang
mengancam kedaulatan rakyat ini adalah keluarnya Perpu Pilkada Langsung oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan UU Pilkada yang disahkan
dalam sidang paripurna DPR. Seandainya UU Pilkada ini tidak bisa dibatalkan,
kita sebagai Rakyat Indonesia haruslah sadar akan politik di negeri ini, dan
mengawasi pemerintahan serta mengawasi pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini,
karena tidak menutup kemungkinan Pilkada via DPRD ini diajukan untuk
kepentingan-kepentingan partai politik, bukan untuk kepentingan rakyat dan juga
tidak menutup kemungkinan adanya money politik dari calon kepala daerah kepada
anggota DPRD untuk memenangkan Pilkada.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar