Minggu, 05 Oktober 2014

Biopiracy dan Ancamannya terhadap Kedaulatan

Biopiracy dan Ancamannya terhadap Kedaulatan


Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Administrasi Negara Indonesia

Description: C:\Users\farhan\Desktop\logo-unpad1.jpg


Disusun oleh :
Felix Ezekiel Sinaga (170110130073)


JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS IILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2014
Biopiracy adalah praktek eksploitasi secara komersial sumber daya alam berupa materi biokimia atau genetik khususnya dengan mendapatkan paten yang membatasi penggunaannya di masa depan, sementara tidak ada kompensasi yang adil kepada komunitas tempat materi itu berasal. Tak hanya berupa materi, tetapi juga pengetahuan warga setempat atas kegunaannya. Masih ingatkah Anda mengenai peristiwa penolakan Indonesia, yang diwakili dengan gagah berani oleh Menteri Kesehatan Indonesia tahun 2004-2009 Siti Fadhillah Supari, atas penyerahan sampel virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) strain Indonesia kepada WHO tahun 2007? Atau masih terkenang berita mengenai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang kecolongan publikasi terkait penemuan spesies tawon Megalara garuda saat melakukan riset bersama peneliti dari University of California tahun 2012? Kasus tersebut adalah biopiracy yang mengancam kedaulatan negara atas keanekaragaman hayati.

Sejarah Biopiracy
       Sejarah mencatat banyak sekali kasus biopiracy dilakukan pada tataran internasional, terutama dari negara maju (penjajah) terhadap negara berkembang (daerah jajahan). Henry Wickham, petualang botani dari Kerajaan Inggris Raya pada akhir abad ke 19 dengan terang-terangan mengaku mencuri bibit Hevea brasiliensis yakni pohon karet dari hutan Amazon untuk diproduksi secara massal di Kew Royal Botanical Garden, padahal saat itu karet merupakan komoditas alam paling berharga karena sangat dibutuhkan dalam kelistrikan, transportasi, dan mesin perang. Kasus lain adalah Richard Spruce, dari Inggris Raya sukses mengumpulkan bibit pohon cinchona, yang mengakhiri monopoli masyarakat Andes atas obat quinine.

Isu ini sangatlah emosional bagi negara berkembang. Setelah diterbitkannya paten oleh US patent office akan kunyit yang ditujukan pada peneliti dari University of Mississippi Medical Center pada 2005, Pemerintah India harus berjuang demi membuktikan bahwa masyarakat India telah lama mengetahui manfaat medis dari kunyit. Mereka berhasil setelah pertarungan legal yang panjang.

Harta Karun Sumber Daya Genetik
Indonesia merupakan megadiversity country. Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas wilayahnya setara dengan 1,3% luas bumi. Tingkat keanekaragaman dan sumber daya genetik makhluk hidup di Indonesia sangat tinggi, sebanyak 17% mahkluk hidup memiliki habitat disini. Indonesia juga merupakan salah satu dari 12 Pusat Keanekaragaman Hayati di dunia dengan lebihh kurang (±) 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan, menyimpan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Terdapat lebih dari 6000 spesies tanaman bunga, baik yang liar maupun dipelihara dan telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan, pakaian dan obat-obatan.  Indonesia memiliki 7500 jenis tumbuhan obat-obatan yang menyusun 10% total tumbuhan obat di dunia. Temulawak yang berkhasiat sebagai pelindung sel hati dan purwoceng merupakan tumbuhan asli Indonesia.
 Sumber daya genetik menjadi krusial karena letak keanekaragaman fenotipe yang diperlihatkan oleh masing-masing spesies. Keanekaragaman ini sangat esensial karena banyak orang bergantung hidup padanya sebagai bahan baku pangan, industri, obat-obatan dan yang lain. Pada tahun 2000, nilai perdagangan tanaman obat dan produk yang berasal dari tumbuhan mencapai 43 milyar USD sedangkan pada tahun 2002, meningkat menjadi 60 milyar USD. Tahun 2050 diprediksi menjadi 5 trilyun.
Menurut WHO, 80% penduduk dunia bergantung pada tumbuhan herbal, bahkan 25% dari obat-obatan modern berasal dari tumbuhan. Sekitar 74% dari 121 bahan aktif yang merupakan komponen utama obat seperti digoksin, ephedrin, tubocucorin, dan lain-lain berasal dari tumbuhan tropis.

Perang terhadap Biopiracy
Indonesia masih belum memiliki hukum nasional yang komprehensif meregulasi isu keanekaragaman hayati, hanya UUD 1945 Pasal 18 dan 33 yang masih perlu dijabarkan. Satu-satunya payung hukum yang dimiliki Indonesia terkait permasalahan ini adalah  UU no. 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Namun pada tahun 2013 Indonesia mulai berupaya untuk membuat hukum yang secara komprehensif meregulasi isu-isu ini. Pada tanggal 8 Mei 2013, Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya melalui UU no. 11 tahun 2013.
Protokol Nagoya merupakan persetujuan pelengkap Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Protokol ini menyediakan kerangka kerja yang legal dan transparan bagi implementasi pembagian keuntungan yang adil dan setara yang muncul akibat penggunaan sumber daya genetik. Protokol Nagoya ini diadopsi pada 29 Oktober 2009 dan akan berlaku pada seluruh negara di dunia 90 hari setelah ratifikasi ke 50. Sampai saat ini baru 29 negara yang meratifikasi protokol ini.
Secara umum, maksud dan tujuan Protokol Nagoya adalah:
1.      memberikan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik;
2.      akses terhadap sumber daya genetik tersebut tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal; dan
3.      mencegah pencurian sumber daya genetik (biopiracy).
Sedangkan manfaat yang akan diperoleh dari keangotaan pada Protokol Nagoya adalah:
1.      menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan menguatkan kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 18 dan Pasal 33 UUD 1945;
2.      mencegah pencurian dan pemanfaatan yang tidak sah atas keanekaragaman hayati;
3.      menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik; dan
4.      menciptakan peluang untuk akses teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
            Sementara itu, Pemerintah Indonesia menyusun instrumen berupa strategi nasional implementasi Protokol Nagoya, pedoman tentang Prosedur Akses, Persetujuan atas Dasar Informasi Awal, dan Kesepakatan Bersama. Instrumen yang tersebut akan menjadi materi dalam RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik yang masih dalam proses pembentukan.

Menjaga Kedaulatan Hayati Indonesia
Pemerintah Indonesia harus aktif melakukan sosialisasi terkait betapa berharganya sumber daya genetik yang dimiliki Indonesia. Hal ini disebabkan masih banyaknya masyarakat yang belum mengerti mengenai urgensi dalam perlindungan sumber daya hayati. Perlu diadakannya penyeleksian dan pengawasan secara ketat terhadap organisasi asing yang masuk ke Indonesia untuk melakukan kerjasama penelitian agar kasus LIPI tidak terulang kembali. Pemerintah sebaiknya melakukan berbagai insentif terhadap konservasi sumber daya genetik dan kearifan lokal masyarakat terkait penggunaannya agar pengetahuan mengenai manfaat dan potensi yang besar dari sumber daya genetik bangsa ini tidak lenyap. Serta pada kelompok masyarakat mencari nafkah melalui pemanfaatan sumber daya genetik dengan cara sosialisasi, pelatihan, pemberian modal, keringanan kredit dan lain-lain.
Institusi pendidikan juga turut berperan serta dalam menjaga kedaulatan hayati negara melalui banyak hal, mulai dari pemberian insentif dan motivasi pada pelajar dan mahasiswa untuk melakukan penelitian terkait keanekaragaman mahkluk hidup. Selain itu, mereka dapat membuat koleksi yang lebih luas terkait dengan berbagai spesimen  sumber daya genetik Indonesia, mengirimkan ekspedisi untuk menemukan berbagai spesies baru dan langka, menyebarkan pengetahuan terbaru terkait pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia, dan masih banyak lagi.
Kepolisian dan intelijen perlu diturunkan untuk mengamankan keanekaragaman hayati. Melakukan setiap prevensi agar aset kekayaan negara dalam bentuk keanekaragaman hayati tidak tercuri. Pengamanan ini tidak hanya terbatas pada sumber daya genetik itu berasal, tetapi juga terhadap institusi penelitian dalam negeri yang bergerak dalam isu ini. Senantiasa waspada adalah kunci utama memerangi biopiracy.
Perusahaan multinasional yang masuk ke Indonesia harus memastikan dan melindungi ekosistem mulai dari pembukaan, operasi bahkan sampai berpuluh tahun setelah ditutup. Selanjutnya perusahaan tersebut dapat memberikan insentif terhadap usaha kolektif masyarakat dalam konservasi, mahasiswa yang melakukan penelitian dan masyarakat pada umumnya agar sosialisasi terkait dengan biopiracy yang mengancam kedaulatan negara dapat tersampaikan substansinya.
Terakhir, masyarakat dapat melaksanakan berbagai upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati seperti melaksanakan konservasi, melakukan usaha bisnis kreatif dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati yang sangat besar, ikut serta sosialisasi terhadap isu biopiracy yang mengancam kedaulatan negara, melakukan propaganda, melayangkan protes dan petisi terhadap peristiwa Biopiracy.
Harta terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia adalah keanekaragaman hayati yang mesti dilindungi dan dipelihara. Substansi dari peranan segala stakeholder dalam hal iniadalah dengan sebanyak mungkin mengeksplorasi manfaat yang dapat diambil dari keanekaragaman hayati Indonesia lalu dipatenkan agar rakyat Indonesia lebih sejahtera dan berdaulat, sejajar dengan negara lain. Percuma memiliki harta yang banyak namun tak bisa mengelola, bahkan memberikannya secara gratis kepada pihak asing.

Referensi
1.      Utomo YW. (2012). LIPI akan selidiki praktik “biopiracy”. Jakarta: PT. Kompas Cyber Media. Tersedia di:

2.      Smallman S. (2013). Biopiracy and vaccines: Indonesia and the world health organization’s new pandemic influenza plan. Journal of International & Global Studies. Portland: PDXScholar.

3.      Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2013). Peluncuran UU no. 10 dan 11 tahun 2013 tentang pengesahan konvensi Rotterdam dan Nagoya sambut hari KEHATI 2013. Jakarta. Tersedia di: http://www.menlh.go.id/peluncuran-uu-no-10-dan-11-tahun-2013-tentang-pengesahan-konvensi-roterdam-dan-nagoya-sambut-hari-kehati-2013/


4.      Nugraha F. (2013). RI ratifikasi protokol Nagoya dan konvensi Rotterdam. Okezone.com. Tersedia di: http://international.okezone.com/read/2013/09/25/411/871483/ri-ratifikasi-protokol-nagoya-dan-konvensi-rotterdam

2 komentar: