Biopiracy dan Ancamannya terhadap Kedaulatan
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem
Administrasi Negara Indonesia

Disusun oleh :
Felix Ezekiel Sinaga (170110130073)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS IILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2014
Biopiracy adalah praktek eksploitasi secara
komersial sumber daya alam berupa materi biokimia atau genetik khususnya dengan
mendapatkan paten yang membatasi penggunaannya di masa depan, sementara tidak
ada kompensasi yang adil kepada komunitas tempat materi itu berasal. Tak hanya
berupa materi, tetapi juga pengetahuan warga setempat atas kegunaannya. Masih
ingatkah Anda mengenai peristiwa penolakan Indonesia, yang diwakili dengan
gagah berani oleh Menteri Kesehatan Indonesia tahun 2004-2009 Siti Fadhillah
Supari, atas penyerahan sampel virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI)
strain Indonesia kepada WHO tahun 2007? Atau masih terkenang berita
mengenai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang kecolongan publikasi terkait
penemuan spesies tawon Megalara garuda saat melakukan riset bersama
peneliti dari University of California tahun 2012? Kasus tersebut adalah
biopiracy yang mengancam kedaulatan negara atas keanekaragaman hayati.
Sejarah Biopiracy
Sejarah mencatat banyak sekali kasus biopiracy dilakukan pada tataran
internasional, terutama dari negara maju (penjajah) terhadap negara berkembang
(daerah jajahan). Henry Wickham, petualang botani dari Kerajaan Inggris Raya
pada akhir abad ke 19 dengan terang-terangan mengaku mencuri bibit Hevea
brasiliensis yakni pohon karet dari hutan Amazon untuk diproduksi secara
massal di Kew Royal Botanical Garden, padahal saat itu karet merupakan
komoditas alam paling berharga karena sangat dibutuhkan dalam kelistrikan,
transportasi, dan mesin perang. Kasus lain adalah Richard Spruce, dari Inggris
Raya sukses mengumpulkan bibit pohon cinchona, yang mengakhiri monopoli
masyarakat Andes atas obat quinine.
Isu ini sangatlah emosional bagi negara berkembang. Setelah
diterbitkannya paten oleh US patent office akan kunyit yang ditujukan
pada peneliti dari University of Mississippi Medical Center pada 2005,
Pemerintah India harus berjuang demi membuktikan bahwa masyarakat India telah
lama mengetahui manfaat medis dari kunyit. Mereka berhasil setelah pertarungan
legal yang panjang.
Harta
Karun Sumber Daya Genetik
Indonesia merupakan megadiversity country. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang luas wilayahnya setara dengan 1,3% luas bumi.
Tingkat keanekaragaman dan sumber daya genetik makhluk hidup di Indonesia
sangat tinggi, sebanyak 17% mahkluk hidup memiliki habitat disini. Indonesia
juga merupakan salah satu dari 12 Pusat Keanekaragaman Hayati di dunia dengan
lebihh kurang (±) 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan 400 jenis buah-buahan yang
dapat dimakan, menyimpan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Terdapat
lebih dari 6000 spesies tanaman bunga, baik yang liar maupun dipelihara dan
telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan, pakaian dan obat-obatan. Indonesia
memiliki 7500 jenis tumbuhan obat-obatan yang menyusun 10% total tumbuhan obat
di dunia. Temulawak yang berkhasiat sebagai pelindung sel hati dan purwoceng
merupakan tumbuhan asli Indonesia.
Sumber daya genetik
menjadi krusial karena letak keanekaragaman fenotipe yang diperlihatkan oleh
masing-masing spesies. Keanekaragaman ini sangat esensial karena banyak orang
bergantung hidup padanya sebagai bahan baku pangan, industri, obat-obatan dan
yang lain. Pada tahun 2000, nilai perdagangan tanaman obat dan produk yang
berasal dari tumbuhan mencapai 43 milyar USD sedangkan pada tahun 2002,
meningkat menjadi 60 milyar USD. Tahun 2050 diprediksi menjadi 5 trilyun.
Menurut WHO, 80% penduduk dunia bergantung pada tumbuhan
herbal, bahkan 25% dari obat-obatan modern berasal dari tumbuhan. Sekitar 74%
dari 121 bahan aktif yang merupakan komponen utama obat seperti digoksin,
ephedrin, tubocucorin, dan lain-lain berasal dari tumbuhan tropis.
Perang
terhadap Biopiracy
Indonesia masih belum memiliki hukum nasional yang komprehensif
meregulasi isu keanekaragaman hayati, hanya UUD 1945 Pasal 18 dan 33 yang masih
perlu dijabarkan. Satu-satunya payung hukum yang dimiliki Indonesia terkait
permasalahan ini adalah UU no. 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Namun pada tahun 2013 Indonesia mulai
berupaya untuk membuat hukum yang secara komprehensif meregulasi isu-isu ini.
Pada tanggal 8 Mei 2013, Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya tentang
Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang
yang Timbul dari Pemanfaatannya melalui UU no. 11 tahun 2013.
Protokol Nagoya merupakan persetujuan pelengkap Konvensi
Keanekaragaman Hayati (CBD). Protokol ini menyediakan kerangka kerja yang legal
dan transparan bagi implementasi pembagian keuntungan yang adil dan setara yang
muncul akibat penggunaan sumber daya genetik. Protokol Nagoya ini diadopsi pada
29 Oktober 2009 dan akan berlaku pada seluruh negara di dunia 90 hari setelah
ratifikasi ke 50. Sampai saat ini baru 29 negara yang meratifikasi protokol
ini.
Secara umum, maksud dan tujuan Protokol Nagoya adalah:
1.
memberikan
akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik;
2.
akses
terhadap sumber daya genetik tersebut tetap mengedepankan kedaulatan negara dan
disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan prinsip persetujuan atas
dasar informasi awal; dan
3.
mencegah
pencurian sumber daya genetik (biopiracy).
Sedangkan manfaat yang akan diperoleh dari keangotaan pada
Protokol Nagoya adalah:
1.
menegaskan
penguasaan negara atas sumber daya alam dan menguatkan kedaulatan negara atas
pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan tradisional dari masyarakat
hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 18 dan Pasal 33 UUD 1945;
2.
mencegah
pencurian dan pemanfaatan yang tidak sah atas keanekaragaman hayati;
3.
menjamin
pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang
atas pemanfaatan sumber daya genetik; dan
4.
menciptakan
peluang untuk akses teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia menyusun instrumen berupa strategi nasional
implementasi Protokol Nagoya, pedoman tentang Prosedur Akses, Persetujuan atas
Dasar Informasi Awal, dan Kesepakatan Bersama. Instrumen yang tersebut akan
menjadi materi dalam RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik yang masih
dalam proses pembentukan.
Menjaga
Kedaulatan Hayati Indonesia
Pemerintah Indonesia harus aktif melakukan sosialisasi
terkait betapa berharganya sumber daya genetik yang dimiliki Indonesia. Hal ini
disebabkan masih banyaknya masyarakat yang belum mengerti mengenai urgensi
dalam perlindungan sumber daya hayati. Perlu diadakannya penyeleksian dan
pengawasan secara ketat terhadap organisasi asing yang masuk ke Indonesia untuk
melakukan kerjasama penelitian agar kasus LIPI tidak terulang kembali.
Pemerintah sebaiknya melakukan berbagai insentif terhadap konservasi sumber
daya genetik dan kearifan lokal masyarakat terkait penggunaannya agar
pengetahuan mengenai manfaat dan potensi yang besar dari sumber daya genetik
bangsa ini tidak lenyap. Serta pada kelompok masyarakat mencari nafkah melalui
pemanfaatan sumber daya genetik dengan cara sosialisasi, pelatihan, pemberian
modal, keringanan kredit dan lain-lain.
Institusi pendidikan juga turut berperan serta dalam menjaga
kedaulatan hayati negara melalui banyak hal, mulai dari pemberian insentif dan
motivasi pada pelajar dan mahasiswa untuk melakukan penelitian terkait
keanekaragaman mahkluk hidup. Selain itu, mereka dapat membuat koleksi yang
lebih luas terkait dengan berbagai spesimen sumber daya genetik
Indonesia, mengirimkan ekspedisi untuk menemukan berbagai spesies baru dan
langka, menyebarkan pengetahuan terbaru terkait pemanfaatan keanekaragaman
hayati Indonesia, dan masih banyak lagi.
Kepolisian dan intelijen perlu diturunkan untuk mengamankan
keanekaragaman hayati. Melakukan setiap prevensi agar aset kekayaan negara
dalam bentuk keanekaragaman hayati tidak tercuri. Pengamanan ini tidak hanya
terbatas pada sumber daya genetik itu berasal, tetapi juga terhadap institusi
penelitian dalam negeri yang bergerak dalam isu ini. Senantiasa waspada adalah
kunci utama memerangi biopiracy.
Perusahaan multinasional yang masuk ke Indonesia harus
memastikan dan melindungi ekosistem mulai dari pembukaan, operasi bahkan sampai
berpuluh tahun setelah ditutup. Selanjutnya perusahaan tersebut dapat
memberikan insentif terhadap usaha kolektif masyarakat dalam konservasi,
mahasiswa yang melakukan penelitian dan masyarakat pada umumnya agar
sosialisasi terkait dengan biopiracy yang mengancam kedaulatan negara
dapat tersampaikan substansinya.
Terakhir, masyarakat dapat melaksanakan berbagai upaya untuk
melindungi keanekaragaman hayati seperti melaksanakan konservasi, melakukan
usaha bisnis kreatif dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati yang
sangat besar, ikut serta sosialisasi terhadap isu biopiracy yang
mengancam kedaulatan negara, melakukan propaganda, melayangkan protes dan
petisi terhadap peristiwa Biopiracy.
Harta terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia adalah
keanekaragaman hayati yang mesti dilindungi dan dipelihara. Substansi dari
peranan segala stakeholder dalam hal iniadalah dengan sebanyak mungkin
mengeksplorasi manfaat yang dapat diambil dari keanekaragaman hayati Indonesia
lalu dipatenkan agar rakyat Indonesia lebih sejahtera dan berdaulat, sejajar
dengan negara lain. Percuma memiliki harta yang banyak namun tak bisa
mengelola, bahkan memberikannya secara gratis kepada pihak asing.
Referensi
1.
Utomo YW. (2012).
LIPI akan selidiki praktik “biopiracy”. Jakarta: PT. Kompas Cyber Media.
Tersedia di:
2.
Smallman S. (2013). Biopiracy
and vaccines: Indonesia and the world health organization’s new pandemic
influenza plan. Journal of International & Global Studies. Portland:
PDXScholar.
3.
Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2013). Peluncuran UU no. 10 dan 11
tahun 2013 tentang pengesahan konvensi Rotterdam dan Nagoya sambut hari KEHATI
2013. Jakarta. Tersedia di: http://www.menlh.go.id/peluncuran-uu-no-10-dan-11-tahun-2013-tentang-pengesahan-konvensi-roterdam-dan-nagoya-sambut-hari-kehati-2013/
4.
Nugraha F. (2013). RI
ratifikasi protokol Nagoya dan konvensi Rotterdam. Okezone.com. Tersedia
di: http://international.okezone.com/read/2013/09/25/411/871483/ri-ratifikasi-protokol-nagoya-dan-konvensi-rotterdam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus